Prabowo-Gibran Sah: 3 Dampak Terburuk Saat Dinasti Politik Berkuasa
Dari pupus kesempatan pemimpin baru yang lebih segar, hingga potensi korupsi. Rezim baru Prabowo-Gibran layak kita awasi.
Sejumlah pihak masygul menyaksikan kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Kemenangan tersebut membawa pertanyaan mendalam tentang dampaknya terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan.
Berdasarkan temuan Daniel M. Smith, Assistant Professor Ilmu Politik dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), demokrasi sering kali dianggap sebagai kebalikan dari pemerintahan herediter (dijalankan oleh dinasti keluarga).
Namun, realitas menunjukkan, “dinasti demokratis” kini eksis di berbagai negara demokrasi di seluruh dunia, termasuk di Jepang yang lebih dari sepertiga legislatornya dan dua pertiga menteri kabinetnya berasal dari keluarga dengan sejarah kekuasaan di parlemen.
Smith juga mengemukakan, anggota dinasti menikmati “keuntungan warisan kekuasaan” di semua tahapan karier politik mulai dari seleksi, pemilihan, dan promosi.
Di Indonesia, era baru dinasti politik mungkin akan dimulai ketika Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpilih sebagai presiden dan wakil presiden untuk periode 2024-2029. Gibran adalah putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang pencalonannya menuai kontroversi. Jokowi diduga kuat melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah substansi UU Pemilu.
Jokowi pun diyakini telah menanamkan bibit-bibit dinasti politiknya. Putra bungsunya, Kaesang Pangarep, kini menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) padahal jam terbang politiknya baru beberapa hari. Menantunya, Bobby Nasution, saat ini menjabat sebagai Walikota Medan ikut dan dikukuhkan sebagai Tokoh Nasional Padang Sidempuan bersama sang istri, Kahiyang Ayu. Belakangan, istri dari Kaesang, Erina Gudono, digadang-gadang akan menjadi bakal calon Bupati Sleman.
Di sejumlah negara demokrasi yang terjebak dinasti politik, integritas institusi demokrasi, keadilan sosial, dan pembangunan ekonominya terdampak negatif cukup signifikan. Dalam konteks Indonesia, deretan penelitian juga telah mengindikasikan bagaimana dinasti politik akan membawa sejumlah implikasi penting terhadap struktur dan fungsi demokrasi.
Baca juga: KPU Tetapkan Prabowo-Gibran Menang Pilpres 2024
1. Memengaruhi Pembangunan Kebijakan
Dari perspektif domestik, pengaruh dinasti politik dalam pemerintahan bisa berdampak pada dinamika kekuasaan dan pembangunan kebijakan.
Riset menemukan bagaimana dinasti politik di Indonesia, khususnya di daerah, telah membentuk jaringan kekuatan yang kuat. Ini membuat dinasti dan jaringannya tersebut mampu menanamkan pengaruh dan kekuasaanya dalam tubuh partai politik.
Sebagai konsekuensi sekaligus berita buruknya, kebijakan dan inisiatif pemerintah akan lebih melayani kepentingan dinasti tersebut daripada publik secara luas. Hal ini dapat mengancam prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi yang merupakan inti dari pemerintahan demokratis.
Sejumlah negara telah mengalami situasi serupa, dengan dampak terhadap sistem politik dan tata kelola negara yang bervariasi.
Di Filipina, Contohnya, lebih dari 70 persen anggota kongresnya berasal dari dinasti politik. Penelitian tahun 2016 menunjukkan bahwa keberadaan dinasti politik di Filipina berdampak negatif terhadap kondisi sosioekonomi masyarakatnya, seperti meningkatnya tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi di luar Luzon-pulau terbesar dan ekonomi terpusat di Filipina.
Hal itu terjadi karena sejumlah provinsi di luar Luzon, cenderung memiliki akses yang lebih terbatas ke infrastruktur dasar dan sumber daya ekonomi dibandingkan dengan Luzon. Ini membuktikan bagaimana konsentrasi kekuasaan politik dapat menghambat pembangunan yang inklusif dan merata.
Di AS, walaupun sistem politik dan konteks sosialnya berbeda, kehadiran dinasti politik juga mencerminkan dinamika kekuasaan yang serupa. Keluarga Bush dan Clinton, misalnya, telah menghasilkan beberapa presiden, gubernur, dan anggota kongres, yang kemudian menimbulkan debat tentang meritokrasi (berdasarkan kemampuan dan prestasi individu) versus “politik warisan”.
Menurut riset, kekuasaan politik di AS cenderung menjadi self-perpetuating, yakni ketika legislator yang menjabat lebih lama cenderung memiliki kerabat yang memasuki kongres di masa depan. Ini membuktikan bahwa dalam politik, kekuasaan menghasilkan kekuasaan.
Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan tentang seberapa besar sistem politik di berbagai negara memfasilitasi atau membatasi regenerasi kepemimpinan politik dan apakah hal ini memengaruhi prinsip-prinsip demokrasi.
Baca Juga: Setelah Prabowo Menang, Kita Harus Ngapain?
2. Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Sejarah telah mencatat beberapa dampak negatif terburuk dari dominasi dinasti politik dalam pemerintahan. Kekuatan terkonsentrasi dalam tangan segelintir keluarga telah mengarah pada korupsi sistemik, penyalahgunaan kekuasaan, dan erosi kepercayaan publik.
Salah satu contoh paling mencolok adalah apa yang terjadi di India. Dinasti Nehru-Gandhi telah memainkan peran penting dalam politik nasional selama beberapa dekade. Walaupun keluarga ini telah menghasilkan beberapa pemimpin yang dihormati, kritikus berargumen bahwa penguasaan politik yang berkepanjangan oleh satu keluarga telah menghambat pluralisme politik dan memperkuat praktik nepotisme dan kronisme yang merugikan demokrasi dan pembangunan ekonomi.
Artinya, keberlanjutan dinasti Nehru-Gandhi dalam politik India telah menciptakan kondisi di mana kekuatan dan pengaruh politik cenderung terkonsentrasi dalam lingkaran keluarga tersebut. Hal ini berpotensi mengurangi kesempatan bagi aktor politik lain, terutama dari luar keluarga atau jaringan politik mereka, untuk berpartisipasi secara signifikan dalam proses demokratis. Sebagai akibatnya, pluralisme politik—keragaman suara dan perspektif—dapat terhambat.
Nepotisme, atau praktik memfavoritkan kerabat dalam pemberian posisi atau keuntungan politik, bersama dengan kronisme, yang merujuk pada favoritisme terhadap teman atau sekutu tanpa mempertimbangkan kompetensi atau kelayakan mereka, menjadi lebih mudah terjadi dalam kondisi seperti ini. Praktik-praktik tersebut tidak hanya mengurangi efisiensi dan efektivitas pemerintahan dengan menempatkan individu yang kurang kompeten dalam posisi kunci, tetapi juga memperdalam ketidaksetaraan politik dan sosial dengan membatasi akses ke kekuasaan dan sumber daya kepada sebuah elite kecil.
Di Filipina, dinasti politik Marcos yang berkuasa dari 1965 hingga 1986 di bawah Ferdinand Marcos, menyajikan rangkaian penyalahgunaan kekuasaan, korupsi yang luas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan penumpukan utang negara yang masif.
Penelitian tentang efek dinasti politik di Filipina menunjukkan, prevalensinya berhubungan dengan indikator kemiskinan dan underdevelopment, menunjukkan bagaimana dinasti politik berdampak negatif terhadap distribusi sumber daya dan prioritas pembangunan.
Di beberapa negara di Afrika, perubahan sistem politik menjadi dinasti atau kerajaan sering kali berkaitan dengan pemerintahan otoriter yang mengurangi efektivitas lembaga-lembaga demokratis dan menghalangi kemajuan pembangunan ekonomi. Kekuasaan yang terpusat dalam dinasti politik kerap memudahkan penyalahgunaan sumber daya negara dan mengurangi akuntabilitas publik, menciptakan pemerintahan yang kurang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Misalnya saja yang terjadi di Uganda. Di Uganda, pemilihan umum telah menjadi alat bagi pemerintah otoriter untuk mempertahankan kekuasaan sambil membatasi ruang politik bagi oposisi. Meskipun Uganda secara resmi menganut sistem demokrasi multiparti, praktik pemerintahan di negara ini sering kali mencerminkan karakteristik pemerintahan otoriter dengan adanya penekanan terhadap kebebasan sipil dan media, serta penyalahgunaan kekuasaan oleh elit politik yang berkuasa.
Dalam skenario terburuk, jika dinasti politik mengendalikan lembaga-lembaga pemerintahan secara luas, mekanisme pengawasan dan keseimbangan kekuasaan (checks and balances) dapat terkikis. Kemampuan lembaga pengawas dan media untuk menyelidiki dan melaporkan praktik-praktik pemerintahan yang tidak bertanggung jawab atau korup akan jadi sangat terbatas. Konsekuensinya, potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian terhadap HAM akan meningkat, merugikan tatanan demokrasi dan keadilan sosial.
Baca Juga: Dari Hilirisasi hingga Bansos, 3 Isu Penting yang Harus Diperhatikan Prabowo-Gibran
3. Hambat Munculnya Pemimpin Baru dengan Ide Segar
Penelitian lainnya menyoroti bagaimana keberadaan dinasti politik yang merentang dari tingkat regional hingga nasional membuat konsep demokrasi itu sendiri sulit untuk diwujudkan. Dinasti politik, khususnya di daerah, tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi pemilu.
Oligarki dalam tubuh partai politik menyebabkan mekanisme pencalonan, nominasi dan kaderisasi calon pemimpin tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kandidat pemimpin politik akan dinominasikan oleh partai politik berdasarkan keinginan elite partai, bukan melalui mekanisme demokratis yang memperhitungkan kemampuan dan integritas individu.
Meluasnya kekuasaan dinasti politik juga dapat menciptakan konsentrasi kekuasaan yang lebih besar dalam tangan segelintir keluarga elite. Ini akan mengurangi kesempatan bagi pemimpin baru dengan ide segar untuk memasuki arena politik. Sehingga, muncul stagnasi dalam inovasi kebijakan dan pembaharuan pemerintahan, karena posisi kepemimpinan didominasi oleh individu-individu dari latar belakang yang sama—tidak membawa perspektif baru atau solusi kreatif untuk masalah negara.
Bayangkan ketika posisi penting dalam pemerintahan dan BUMN hanya diisi oleh kerabat atau anggota dekat keluarga dinasti, tanpa mempertimbangkan merit atau kualifikasi profesional. Ini akan mengurangi efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sekaligus mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Dan yang pasti, memperdalam praktik korupsi dan nepotisme.
Baca Juga: Betulkah Makan Siang Gratis Tingkatkan Ekonomi Hingga 2 Persen?
Pentingnya Pengawasan
Berbagai contoh di atas menjadi peringatan penting bagi Indonesia, serta semua negara yang tengah mengalami atau berpotensi mengalami fenomena serupa, untuk memastikan bagaimana praktik demokrasi tetap kuat dan inklusif, guna menghindari jebakan negatif yang mungkin ditimbulkan oleh pemerintahan dinasti.
Kesinambungan dinasti politik di Indonesia—sebagaimana di negara-negara lain—menghadirkan dilema yang kompleks bagi demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang adil.
Publik harus terus mendorong dan memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif, melalui mekanisme pengawasan yang kuat, transparan, dan partisipasi publik yang aktif.
Melalui keterlibatan dan pengawasan publik yang aktif, kita dapat membantu mengarahkan agar nominasi kepemimpinan berdasarkan merit dan kepentingan publik menjadi prioritas utama, alih-alih warisan atau afiliasi keluarga.
Baca Juga: Apa Jadinya Jika Pasangan Beda Pilihan Politik?
Langkah-langkah ini tidak hanya penting untuk menghindari dampak negatif dinasti politik tetapi juga untuk memastikan bahwa Indonesia terus berkembang sebagai negara demokrasi yang semestinya.
Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh Karina Tungari