Environment Issues

#AllEyesonPapua: Bukan Tanah yang Dirampas Negara, tapi Seluruh Hidup Kami

Jika negara membiarkan perampasan hutan Papua oleh perusahaan sawit, tak cuma kerusakan lingkungan yang terjadi tapi juga pemiskinan perempuan.

Avatar
  • June 6, 2024
  • 7 min read
  • 1835 Views
#AllEyesonPapua: Bukan Tanah yang Dirampas Negara, tapi Seluruh Hidup Kami

Tak cuma #AllEyesonRafah, tagar #AllEyesonPapua juga tengah viral di media sosial. Tagar tersebut muncul sebagai respons dukungan terhadap masyarakat adat Suku Awyu dan Moi yang mendatangi gedung Mahkamah Agung (MA) di Jakarta Pusat, (27/5) lalu. 

Dilansir dari CNN Indonesia, kedatangan mereka ke MA dalam rangka memprotes perampasan hutan oleh perusahaan sawit. Masyarakat Suku Awyu dan Moi merasa, negara dalam hal ini telah ikut mensponsori perampasan tanah ini. Karena itulah, usai menempuh jarak ribuan kilometer dan ongkos mahal, mereka menggelar doa dan ritual sembari menyuarakan tuntutan. 

 

 

“Kami datang menempuh jarak jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang tengah kami lawan ini,” ujar Hendrikus Woro, pembela lingkungan hidup dari Suku Awyu dikutip dari siaran pers Greenpeace Indonesia. 

Dalam kesempatan itu, turut hadir pula sejumlah mahasiswa Papua dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua. Koalisi yang terdiri dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Yayasan Pusaka, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dan Perkumpulan HuMa. 

Baca Juga: ‘Saya dan Keadilan’: Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia 

Pembabatan Hutan Masyarakat Adat Aywu dan Moi 

Masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya memang sedang sama-sama terlibat gugatan hukum dengan pemerintah dan perusahaan sawit. Hendrikus menggugat Pemerintah Papua lantaran mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Dalam laporan Greenpeace Indonesia, itu mencakup hutan adat marga Woro–bagian dari Suku Awyu seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta. 

Sayang, gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Selama tujuh bulan persidangan, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya telah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga saksi ahli yang menurut Greenpeace Indonesia menunjukkan ada kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL. 

Walhi Papua mencatat jika deforestasi itu terjadi, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Angka ini setidaknya akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia pada 2030. 

Dalam penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), didapati fakta proses penting tersebut tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat. Keberadaan marga Woro tidak diakui keberadaannya dalam peta versi perusahaan hingga mereka yang menolak mendapatkan intimidasi.   

Namun dengan bukti itu, hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan Amdal. Hakim menganggap ini bukan bagian dari objek sengketa dalam perkara SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. Padahal Amdal merupakan lampiran dan dasar penerbitan objek sengketa. 

Penolakan gugatan masyarakat adat Awyu menggarisbawahi ketidakpedulian pemerintah pada potensi dampak iklim yang bakal terjadi, jika PT IAL membuka kebun sawit dan melakukan deforestasi di hutan adat suku Awyu. 

Walhi Papua mencatat jika deforestasi itu terjadi, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Angka ini setidaknya akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia pada 2030. 

Majelis hakim pun dinilai gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. 

Tak berhenti di perkara hukum dengan PT IAL, menurut Harian Kompas, hutan masyarakat adat Awyu juga akan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah. Proyek ini akan dioperasikan tujuh perusahaan, yaitu PT MJR, PT KCP, PT GKM, PT ESK, PT TKU, PT MSM, dan PT NUM. Hasil kajian dan investigasi Gecko Project menunjukkan, operasi Proyek Tanah Merah berpotensi menghancurkan hutan Papua karena mempunyai banyak permasalahan. 

Proyek ini tercatat tidak memiliki dokumen Amdal, adanya pemalsuan tanda tangan pejabat, hingga tidak ada negosiasi dan persetujuan dari masyarakat adat. Inilah mengapa selain kasasi perkara PT IAL, sejumlah masyarakat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT KCP dan PT MJR. 

Adapun Suku Moi Sigin menggugat PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan menguasai 18.160 hektar hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. Sebelumnya dalam laporan Mongabay, (4/6) lalu, SAS tercatat telah memegang konsesi seluas 40.000 hektar di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat sempat mencabut izin pelepasan kawasan hutan SAS, disusul pencabutan izin usaha. Namun tidak terima dengan keputusan itu, SAS kemudian balas menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta. 

Pada 2021, Bupati Sorong juga mencabut izin lokasi, izin lingkungan, dan izin usaha SAS. Tindakan Bupati ini disambut baik masyarakat Suku Moi, tetapi perusahaan menggugat dan membatalkan keputusan bupati. Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin memutuskan, melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke MA pada (3/5). 

Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin bilang, keberadaan SAS merugikan mereka. SAS bakal merusak hutan adat yang jadi telah turun temurun menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Moi. Hutan adat itu pula merupakan habitat bagi flora dan fauna endemik Papua seperti burung cendrawasih dan lain-lain, serta penyimpan cadangan karbon. 

Baca Juga: Energi Terbarukan Muncul di Desa, Pemerintah Harus Dukung 

Perampasan Ruang Hidup Perempuan Adat 

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mencatat, setidaknya Papua telah kehilangan 413 hektar hutan adat hanya dalam dua bulan saja, Januari hingga Februari 2023. Mengutip dari Suara Papua.com, lembaga nirlaba yang fokus pada studi, advokasi & dokumentasi persoalan menyangkut hak-hak masyarakat, mereka menduga hilangnya hutan adatakibat kepentingan bisnis komersial hasil hutan kayu dan lahan usaha perkebunan, terutama oleh perusahaan kelapa sawit. 

Praktik pembangunan dengan pemanfaatan hasil hutan sebagai komoditas komersial, nyatanya berdampak pada banyak hal. Dengan menghancurkan dan menghilangkan hutan dalam skala luas tanpa ada pertimbangan ekologi, ini hanya akan menimbulkan bencana ekologi, perubahan iklim, serta menyingkirkan masyarakat adat yang selama ini hidupnya bergantung pada hutan adat. 

“Kehancuran hutan itu kehancuran hidup perempuan. Penghancuran itu kemudian menyebabkan kemiskinan,” katanya lagi. 

Mama Ida Klasim, aktivis dan pembela hak perempuan Papua dalam liputan khusus Betahita.id mengungkapkan, hutan merupakan kehidupan itu sendiri bagi masyarakat adat Papua. Selain makna filosofis dan menjadi identitas, hutan menyediakan berbagai macam kebutuhan seperti makanan, obat-obatan, hingga bahan kayu untuk membangun rumah. Secara natural pula, perempuan membutuhkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka seperti saat persalinan atau menstruasi. 

“Kalau bicara hutan itu (berarti) bicara jati diri perempuan. Mereka adalah satu kesatuan yang utuh,” kata Mama Frida. 

Bagi Mama Frida dan banyak perempuan adat, hutan adalah ibu yang memberikan hidup karena menyimpan seluruh kebutuhan hidup bagi perempuan adat Papua. Hutan tak lain adalah ruang hidup perempuan adat. Sehingga, ketika hutan dirusak, kata Mama Frida, itu sama saja dengan menghancurkan hidup perempuan. 

“Kehancuran hutan itu kehancuran hidup perempuan. Penghancuran itu kemudian menyebabkan kemiskinan,” katanya lagi. 

Dalam perkara hukum terkait masyarakat adat Awyu, Antonia Noyagi, perempuan Awyu yang berasal dari Kampung Yare mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keberadaan perkebunan sawit. Dalam laporan Greenpeace Indonesia, Antonia yang selama ini mengelola wilayah adat milik marga Mukri dan Woro bilang, perempuan adat Awyu sangat bergantung pada hutan dan sungai untuk memenuhi kebutuhan mendasar sehari-hari. 

Baca juga:Problem Perempuan Penjaga Hutan: Akses Minim hingga Kesenjangan Upah 

Hampir setiap hari para perempuan pergi ke hutan dan sungai guna mengambil sagu, mencari bahan obat-obatan, berburu dan memancing, mencari kayu bakar hingga kayu gaharu. Antonia sendiri sempat bilang berkat hutan ia bisa menghidupi sembilan anak sendirian sejak suaminya telah meninggal di 2004. 

“Hingga sekarang anak-anak sudah ada yang menjadi prajurit TNI, ada yang berkuliah di Jawa, ada yang sekarang masih bersekolah. Itu karena hasil hutan. Kami hanya berharap dari alam. Kami tidak bisa melakukan apa pun tanpa alam yang lestari,” jelas Antonia. 

Lebih dari itu, hutan juga punya peran penting dalam membentuk relasi sosial budaya masyarakat adat. Di masyarakat adat Awyu misalnya, ada kebiasaan perempuan-perempuan Yare pergi bersama ke hutan demi mempererat persaudaraan antarsesama perempuan. 

Tak ayal, keberadaan perkebunan sawit bisa menimbulkan berbagai masalah multidimensi dari sosial budaya, ekonomi, hingga lingkungan. Kedatangan perusahaan perkebunan kelapa sawit bisa mengubah drastis corak produksi dan relasi sosial budaya di masyarakat adat yang sudah ada sejak puluhan atau ratusan tahun lamanya hingga mampu membuat posisi perempuan adat semakin terpinggirkan. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *