Auto Bahagia ala Kampanye Nikah Muda (dan Bagaimana Melawannya)
Kampanye nikah muda yang sedang didengungkan di Indonesia mendorong orang untuk menikah cepat-cepat, kalau perlu sebelum sekolah selesai, sebagai upaya mengurangi maksiat, namun mengabaikan fakta-fakta penting yang perlu diketahui.
Pernah mendengar tentang kampanye gerakan nikah muda? Kampanye yang viral di Instagram ini, @gerakanmenikahmuda, punya followers ratusan ribu dan didominasi oleh anak-anak muda berusia 15 sampai 21 tahun. Di akun tersebut kita bisa melihat berbagai hal, mulai dari video persiapan acara ijab kabul dan resepsi pernikahan, sampai meme sindiran kapan menikah.
Hampir di setiap post-nya mereka mendapatkan 1000 hingga 7000 “likes”, menandakan bahwa kampanye ini sangat efektif menyasar pada anak muda tanggung yang masih bingung menentukan masa depan mereka. Komentar-komentar dalam setiap post-nya pun beragam, namun banyak yang mengatakan mereka ingin sekali menyegerakan pernikahan indah seperti itu, tapi terkendala pasangan yang belum ada; atau mereka menyatakan bahwa memang sudah ada pasangan dan bermaksud segera menikah.
Koordinator komunikasi dan advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Frenia Nababan menuturkan bahwa kampanye seperti ini merupakan salah satu bentuk dari tekanan kelompok sebaya, dan tidak pernah ada pertimbangan bahwa tidak semua anak muda memiliki kesiapan yang sama untuk menikah muda.
“Tidak semua bisa disamakan, ada yang memang di umur segitu sudah siap secara fisik mental dan materi, tapi kan setiap orang berbeda,” kata Frenia.
Menurut Psikolog, Kristi Poerwandari kampanye ini sangat efektif karena mereka menggabungkan ajaran agama dengan kebutuhan seksual, sehingga dilihat di satu sisi memenuhi kebutuhan seksual tanpa harus “berzinah”, di sisi lain memenuhi ajaran agama yang mereka pahami. Dan pesan-pesan seperti ini digemari karena masyarakat kebanyakan memandang suatu masalah itu secara sederhana sekali.
“Mereka memandang pernikahan muda itu sebagai cara untuk menghindari zinah, tapi tanpa melihat efeknya untuk laki-laki dan perempuannya. Nggak se-simple apa yang mereka omongin,” kata Kristi.
Dari konten post-post di akun menikah muda dan komentar-komentar yang masuk, terlihat sasaran dari gerakan ini adalah perempuan muda. Satu gambar kartun memperlihatkan seorang laki-laki muda berpakaian rapi dengan jas dan celana putih dan peci sedang menarik seorang perempuan berjilbab putih ke arah KUA (Kantor Urusan Agama).
“Tunggu wisuda kelamaan,” karakter laki-laki tersebut mengatakan, mengindahkan tokoh perempuannya yang terlihat menangis sambil mengatakan, “Aku mau kuliah dulu!”
Ironisnya, salah satu post di akun tersebut mengutip data Komnas Perempuan bahwa 24 persen kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal terjadi dalam hubungan pacaran. Namun tidak pernah disinggung di akun tersebut tentang tingginya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada pasangan yang menikah muda.
Melawan Kampanye Nikah Muda
Memang belum ada cara efektif untuk melawan kampanye nikah muda, namun bukan berarti kampanye ini tidak bisa “dipatahkan”. Salah satu caranya adalah mengolah fakta-fakta yang terjadi ketika memutuskan untuk menikah muda.
“Salah satu caranya adalah mempelajari cara-cara mereka kampanye. Mereka kasih yang indah-indah? Kita kasih fakta. Kita kasih: ini loh, orang-orang survivor menikah muda, atau yang pendidikannya terputus, meskipun orang yang sudah terbuai dengan keindahan-keindahan tersebut susah untuk disadarkan, tapi setidaknya kita dapat menjangkau orang-orang yang masih galau,” ujar Mia.
Jika kampanye itu menggunakan argumen “daripada melakukan zinah mending nikah aja sekalian,” kita juga bisa berargumen lain agar anak-anak muda tidak melakukan hal yang mereka sebut zinah tadi, dengan memaparkan fakta ilmiah mengapa kita tidak boleh melakukan seks di usia muda atau apa saja konsekuensinya ketika belum siap, tambahnya.
Menurut Kristi Poerwandari cara lainnya adalah dengan melakukan penyuluhan pada orang tua dan anak agar tidak memandang dunia itu dalam kacamata yang sederhana, karena dunia itu lebih kompleks dari yang kita bisa bayangkan.
Yang tidak kalah penting adalah mengajak anak muda untuk melakukan hal yang produktif di usia mereka, tidak galau memikirkan pernikahan saja.
Frenia Nababan mengatakan: “Zaman dulu remaja kita membuat sumpah pemuda, membuat proklamasi. Bung Hatta saja belum akan menikah sebelum Indonesia merdeka, kok kita turun banget? Pembangunan diri kita semata mata cuma hanya untuk memenuhi hasrat kita. Banyak hal yang bisa dilakukan. Indonesia itu butuh anak-anak muda yang mampu berdaya untuk negara dan dirinya sendiri.”
Mia dari Komnas Perempuan juga menambahkan, “Kita ini kan generasi millennial yang memiliki fasilitas serba ada seperti internet dan lain sebagainya. Kita bisa membangun dunia ini menjadi lebih baik, setidaknya lingkungan di sekitar kita. Kenapa kita harus mikirin kapan nikah terus sih, apalagi ketika umur kita masih muda?”
Baca tulisan Elma tentang perayaan Kamisan ke 500.