Ayah Mau Terlibat Pengasuhan tapi Negara Tak Mendukungnya
Pemerintah menyoroti pentingnya keterlibatan ayah di negara 'fatherless'. Namun, UU yang mereka hasilkan justru kontraproduktif.
Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) disahkan pada 4 Juni 2024 lalu. UU ini digadang-gadang bisa mendorong lebih banyak keterlibatan ayah dalam kerja pengasuhan anak. Bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati bilang, UU itu juga mendesak ayah agar ibu dan anak mendapat pelayanan kesehatan dan gizi memadai, termasuk meringankan beban ibu.
Sayangnya, klaim Menteri menjadi kontradiktif dengan fakta bahwa UU tersebut mengatur durasi cuti ayah hanya selama dua hari—bisa diperpanjang tiga hari berikutnya untuk keperluan pendampingan ibu saat setelah melahirkan. Sebelum UU KIA disahkan, cuti ayah diberikan sebanyak dua hari saja dalam UU Ketenagakerjaan.
Adapun angka tersebut jauh dari durasi 40 hari sebagaimana diatur dalam draf RUU KIA sebelumnya. Angka ini dianggap sangat progresif dibandingkan dengan pengaturan sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan. Terlebih, analisis ilmiah menunjukkan, cuti ayah yang maksimal dapat memberikan beragam manfaat, termasuk bagi perekonomian dan tumbuh kembang bayi.
Saya melakukan riset terhadap 163 ayah yang bekerja di sektor formal untuk melihat pandangan mereka tentang cuti ayah. Hasilnya, mayoritas dari mereka meyakini, cuti ayah sangat penting. Kebanyakan ayah justru mengharapkan cuti bisa mencapai 60 hari. Ini menunjukkan peningkatan kesadaran para ayah dalam mendampingi pasangannya dalam mengasuh anak yang baru lahir.
Baca juga: Kenapa Ayah Jarang di Rumah, ‘Fatherless’ dan Memori Masa Kecilku
Ayah Ingin Cuti Lebih Panjang
Seluruh 163 responden dalam riset saya adalah ayah pekerja dengan kriteria sudah menikah, bekerja di sektor formal, dan berusia antara 20-49 tahun. Pemilihan kriteria sektor formal menjadi penting karena pengaturan terkait hak cuti sejauh ini hanya berlaku pada sektor formal.
Data Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) pada Februari 2023 menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia memang telah didominasi oleh sektor informal, yaitu sebesar 60,12 persen. Sementara itu, jumlah pekerja di sektor formal tercatat sebanyak 55,29 juta orang atau 39,88 persen. Namun, penting bahwa responden yang mengisi adalah para suami/ayah yang relevan untuk memberikan perspektifnya terkait dengan cuti ayah.
Sebanyak 58,9 persen dari total responden memiliki istri yang bekerja dengan penghasilan yang hampir seluruhnya di atas Upah Minimum Regional (UMR). Mayoritas pasangannya (83 persen) bekerja di sektor formal. Artinya, kebanyakan dari suami-istri dalam konteks ini sama-sama pencari nafkah dalam keluarga.
Saya membuka tautan survei selama kurang lebih dua pekan dalam rentang waktu 18-29 April 2024. Responden berasal dari 22 provinsi di Indonesia, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Bali, Batam, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Maluku Utara.
Dari total 163 responden yang mengisi survei, sekitar 93,3 persen merupakan seorang ayah (telah memiliki anak). Hampir seluruh responden (96 persen) mengatakan bahwa cuti ayah penting untuk diatur dalam kebijakan nasional. Bahkan, sekitar 86,5 persen mengatakan bahwa aturan tersebut perlu diwajibkan bagi pegawai laki-laki.
Sebanyak 96,3 persen dari total responden berpendapat bahwa cuti ayah bermanfaat bagi pekerja laki-laki. Sebagian besar alasannya adalah, mereka merasa perlu mendampingi dan memberikan dukungan terhadap istri.
Baca juga: 5 Cara Dobrak Stereotip Peran Gender dalam Keluarga
Alasan kedua terbanyak lainnya adalah pemenuhan keadilan peran ayah dan ibu, pemberian kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama anak, dan penambah kedekatan (bonding) dengan keluarga.
Hanya 3,7 persen responden yang menjawab bahwa tidak perlu ada aturan mengenai cuti ayah. Alasannya, antara lain, menurut mereka istri sudah memiliki support system, peran pengasuhan adalah kodrat perempuan, lebih baik jika seorang suami produktif mencari penghasilan, serta alasan kekhawatiran terhadap stigma masyarakat jika seorang laki-laki menghabiskan banyak waktu di rumah.
Terhadap pertanyaan berapa durasi cuti ayah seharusnya diatur, 26,4 persen menjawab 60 hari kerja, 22,7 persen menjawab satu bulan atau 30 hari kerja. Ada juga 14,7 persen di antara responden yang menjawab 14 hari, dan 14,1 persen menginginkan 40 hari kerja. Hal ini memperlihatkan bahwa hampir keseluruhan responden menyepakati cuti ayah yang saat ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang hanya dua hari sudah tidak relevan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Lebih dari setengah responden mengakui bahwa mereka memiliki support system, yakni 49,5 persen memiliki asisten rumah tangga (ART) ataupun babysitter dan 41,9 persen bergantung pada bantuan tenaga dari keluarga besar. Angka ini menunjukkan bahwa para responden tersebut berpenghasilan dan sanggup mempekerjakan tenaga untuk membantu mengurus anak dan rumah tangga. Mereka juga bisa saja kembali fokus bekerja setelah pasangannya melahirkan.
Artinya, kebutuhan cuti ayah datang dari responden karena kesadaran bahwa mereka juga harus menjadi salah satu support system dan peran orang tua tidak bisa digantikan.
Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan
Ayah juga Ingin Terlibat
Sebagai orang tua, banyak ayah yang sebenarnya ingin terlibat dalam pengasuhan dan membangun kedekatan pada hari-hari pertama kehidupan anak mereka. Sayangnya, kebutuhan ini tidak diakomodasi dalam aturan negara, termasuk UU KIA.
Besar kemungkinan ini disebabkan masih kentalnya budaya patriarki yang menitikberatkan fokus pengasuhan hanya pada ibu. Mayoritas regulasi kita berfokus pada peran ibu pada awal-awal kehamilan dan kelahiran. Pemberian selamat juga kebanyakan hanya kepada ibu, edukasi kepada ibu, sampai pengaturan kebijakan untuk ibu. Padahal, orang tua bukan hanya ibu. Ayah juga membutuhkan persiapan menjadi orang tua melalui peran mereka secara seimbang sejak hari-hari awal kehidupan anak.
Sebagai sebuah kebijakan legislatif, UU KIA seharusnya memerhatikan dua tolok ukur terpenting. Pertama, gagasan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh UU ini, yakni berupa cita-cita yang ingin diterapkan dalam masyarakat. Gagasan ini dapat tercermin misalnya dalam pekerjaan persiapan, diskusi parlemen, atau mukadimah UU.
Kedua, perubahan sosial apa yang ingin dicapai melalui pembentukan UU tersebut. Jika yang ingin dicapai adalah kesetaraan gender serta pembentukan generasi unggul menuju Indonesia Emas 2045, maka hal tersebut tidak akan dapat dicapai dengan memangkas keterlibatan ayah dalam pengasuhan di hari-hari awal kehidupan.
Kebutuhan terhadap cuti ayah sangat rentan dengan subjektivitas dan bervariasi dalam beragam konteks: Negara maupun keluarga. Misalnya, sebagai negara yang memiliki budaya timur, keluarga besar di Indonesia masih memainkan peran vital dalam pengasuhan anak. Tradisi dan nilai kekeluargaan yang kuat membuat anggota keluarga besar, seperti kakek, nenek, paman, dan bibi, terlibat aktif dalam merawat dan mendidik anak-anak. Hal ini berbeda dengan keluarga di banyak negara Barat yang cenderung menjunjung nilai-nilai individualistis dan berfokus pada keluarga inti (nuclear family).
Namun, hal ini tidak mengubah fakta sebagian besar ayah pekerja yang menjadi responden tetap menginginkan kebijakan cuti ayah yang lebih akomodatif bagi mereka. Durasi cuti mungkin tidak langsung 40 hari seperti yang tercantum dalam RUU KIA yang lama, atau berbulan-bulan seperti di negara-negara Skandinavia. Namun, yang jelas durasi cuti semestinya tidak hanya dua hari.
Situasi ini harus menjadi sebuah bahan refleksi bersama, baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Ayah berhak untuk bisa terlibat seutuhnya sebagai orang tua pada hari-hari awal kehidupan anak-anaknya.
Yvonne Kezia Dhianingtyas Nafi, Lecturer/Doctoral Candidate, Universitas Indonesia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.