Ayah Saya Ternyata Feminis
Konsep superioritas laki-laki yang terbentuk dalam diri saya betul-betul runtuh ketika mendalami sosok Ayah yang menjunjung kesetaraan gender.
Saya seorang anak laki-laki asal daerah pulau yang terlahir di dalam lingkungan yang patriakal. Di tempat saya tinggal, laki-laki sangat mendominasi dan cenderung mendikte apa pun yang harus dan yang tak harus dilakukan perempuan. Contoh sederhana yang saya perhatikan adalah banyaknya perempuan yang sebelumnya bekerja di luar rumah dan mandiri dicabut haknya oleh laki-laki ketika ia menikah, dengan alasan “perempuan itu tempatnya di rumah dan di dapur”.
Sifat maskulin itulah yang akhirnya membentuk pola pikir saya selama bertahun-tahun. Saya menganggap perempuan hanya objek seksual, dan harus menuruti apa pun perintah laki-laki bagaimana pun bentuknya. Konsep perempuan sebagai second sex ini juga kerap kali membuat saya cenderung memandang rendah kaum perempuan, terlebih perempuan yang tidak memenuhi standar dalam pandangan saya.
Setelah saya mendapat beberapa bacaan dari internet, lalu membaca The Second Sex karya Simone de Beauvoir, serta pidato Chimamanda Ngozi Adichie yang berjudul “We Should All Be Feminist”, pikiran saya mulai terbuka. Namun konsep superioritas laki-laki yang telah saya bangun betul-betul runtuh ketika saya mendalami sosok ayah saya.
Ayah, seperti juga Ibu, bekerja sebagai guru. Sebagai seorang Jawa yang menikah dengan Ibu yang bersuku Minang, Ayah tidak menggunakan sifat superioritasnya sebagai laki-laki di dalam rumah, terlebih kepada ibu saya. Dengan ringan hati ayah saya mengerjakan pekerjaan rumah seperti membersihkan rumah, mengurus anak, mencuci baju, belanja ke pasar dan memasak.
Awalnya saya merasa sangat aneh ketika Ayah melakukan hal yang saya pikir adalah kewajiban perempuan. Saya dulu juga sempat mengira kalau ayah saya adalah tipe suami yang takut istri, tapi saya salah. Ternyata apa yang selama ini Ayah lakukan adalah sebuah bukti bahwa ia adalah seorang laki-laki yang sangat menghargai perempuan. Dua kali ayah saya menolak tawaran untuk dipromosikan menjadi kepala sekolah di luar daerah dengan alasan kasihan Ibu jika harus mengurus rumah dan anak seorang diri.
Bagi saya, apa yang dicontohkan Ayah adalah sesuatu yang sangat berharga dan mengubah persepsi saya tentang kesetaraan dalam rumah tangga. Pekerjaan-pekerjan rumah yang dianggap hanya menjadi tanggung jawab perempuan tak sepenuhnya harus dikerjakan oleh perempuan. Dalam pernikahan atau kehidupan sehari-hari sangat tidak pantas jika kita melihat perempuan hanya sebagai pemuas nafsu belaka.
Laki-laki memang sepantasnya mencari nafkah dan bekerja, tetapi hal ini tak harus membuat kita seenaknya memerintah atau merasa berkuasa terhadap perempuan. Dan itulah yang telah dipraktikkan oleh ayah saya. Dan dalam hal ini saya sangat ingin menjadi muridnya.