Feminism A to Z Issues

Bagaimana Feminisme Diterapkan di Negara-negara Asia

Meskipun punya semangat melawan ketidaksetaraan gender yang sama, ada perbedaan agenda dan lini masa antara gerakan feminisme di Barat dan di Asia.

Avatar
  • February 9, 2021
  • 8 min read
  • 1937 Views
Bagaimana Feminisme Diterapkan di Negara-negara Asia

Sebagian dari kita mungkin sudah familier dengan gelombang-gelombang feminisme. Awalnya, feminisme itu sendiri merupakan gagasan yang berasal dari dunia Barat. Jadi, bagaimana gagasan tersebut dapat diterapkan di dunia Timur, dunia yang kita tinggali? Ini adalah studi perbandingan tentang munculnya gelombang-gelombang feminisme di Asia (dunia Timur), Eropa, dan Amerika Serikat (dunia Barat).

Gelombang Pertama Feminisme

Dalam Feminism and History: Oxford Readings in Feminism, John Wallach Scott mendefinisikan feminisme sebagai gerakan untuk menyetarakan hak-hak perempuan dan laki-laki. Paham tersebut pertama kali muncul sekitar tahun 1800-an hingga 1920-an di Eropa dan Amerika Serikat. Ketika itu, gerakan feminisme berfokus pada kesetaraan hukum dan politik dan kemudian hal tersebut dikenal sebagai feminisme gerakan pertama.

 

 

Menurut Catherine Gardner dalam bukunya, Historical Dictionary of Feminist Philosophy, pada rentang tahun-tahun tersebut perempuan masih dianggap sebagai warga kelas kedua yang tidak mempunyai hak untuk memilik dalam pemilihan politik, mempunyai properti, dan bekerja seperti laki-laki. Semuanya dianggap milik laki-laki, bahkan perempuan dan anak-anak dipandang sebagai bagian dari properti mereka. Inilah alasan mengapa nama akhir dipakai dalam budaya Eropa dan Amerika.

Di Asia sendiri, gelombang pertama feminisme tidak begitu terlihat karena sebagian besar Asia masih dijajah. Isu mengenai hak asasi manusia (HAM) belum begitu menonjol karena kolonialisme di Asia tidak serta merta membawa dampak pendidikan skala besar pada negara-negara yang terjajah. Dalam buku Women’s Movements in Asia: Feminism and transnational activism, disebutkan beberapa kesamaan dalam bagaimana negara-negara di Asia mengalami transisi dari gelombang pertama feminisme, di mana orang-orang tertentu berkesempatan untuk membuat anak  mencicipi pendidikan yang sama antara perempuan dan laki-laki.

Di Indonesia sendiri, hal ini bisa ditemukan dari pengalaman Kartini. Ia diperbolehkan untuk duduk di bangku sekolah karena dirinya merupakan anak bupati Jepara. Akan tetapi, saat itu perempuan belum diperbolehkan mengenyam pendidikan setinggi laki-laki, dan mereka masih harus lebih memprioritaskan menikah dibanding melanjutkan pendidikan.

Selama gelombang pertama feminisme di Asia, gerakan ini hanya memperbolehkan para aristokrat atau kaum borjuis mengenyam pendidikan dan itu pun masih sangat terbatas. Walau begitu, kesempatan aristokrat untuk bersekolah itulah yang akhirnya menumbuhkan kepedulian mereka terhadap perempuan-perempuan lainnya. Mereka semakin sadar bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk dimiliki tiap orang dan itulah alasan kuat untuk meneruskan gerakan feminisme di Asia.

Gelombang Kedua Feminisme

Gelombang kedua feminisme hadir sekitar tahun 1960-1970 di Eropa dan di Amerika Serikat. Kala itu, muncul salah satu karya legendaris feminis Betty Friedan mengenai oposisi media terhadap gambaran tradisional perempuan. Friedan mengemukakan bahwa memenjarakan perempuan di dalam rumah dan membatasi kesempatan mereka untuk bekerja merupakan bentuk menyia-nyiakan bakat dan potensi mereka.

Feminisme di era ini berangkat dari pengalaman-pengalaman buruk para perempuan dari Perang Dunia II yang menghadapi ledakan ekonomi pada akhir tahun 1940-an, disusul oleh ledakan kelahiran dan keberhasilan kapitalisme. Hal-hal inilah yang membuat model keluarga patriarkal semakin subur di mana perempuan hanya diperbolehkan bekerja di rumah dan tidak mendapatkan kesempatan yang sama di dunia kerja profesional.

Di Asia sendiri, gerakan feminisme dipengaruhi oleh stabilitas negara yang ditandai dan menghadapi banyak pertentangan. Terdapat perbedaan situasi antara di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia di tahun 1940-an terkait situasi politik dan stabilitas nasional yang merupakan hasil dari perang pada 1941.

Negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat fokus pada menetralisasi negara mereka dan berlanjut pada era Perang Dingin. Karenanya, bisa dikatakan bahwa situasi di Eropa dan Amerika Serikat ketika itu cenderung lebih stabil. Sementara, negara-negara di Asia merupakan negara-negara yang baru saja merdeka dan masih berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan mereka tanpa bergabung dengan blok mana pun.

Baca juga: 10 Pemahaman Keliru tentang Feminisme

Ketidakstabilan politik dan keamanan negara di negara-negara Asia juga menghambat gerakan feminisme di Asia. Perempuan pada era ini fokus menolong laki-laki dalam perjuangan mereka mempertahankan kestabilan negara. Hal ini bisa diliat dari bukti bagaimana seorang pemimpin nasional seperti Soekarno (yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia) memberikan peringatan keras terhadap perempuan bahwa prioritas pertama mereka harus selalu kemerdekaan negara.

Kendati sejak kemerdekaan kebebasan berpendapat semakin meningkat di Indonesia, masih ada beberapa kelompok yang menentang dan mencoba mengadang gerakan feminisme. Dalam tulisan Susan Blackburn yang berjudul Feminism and The Women’s Movement in the World’s Largest Islamic Nation, Saparinah Sadli mengatakan, “Istilah ‘feminisme’, ‘feminis’, bahkan ‘gender’ masih dipertanyakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa istilah-istilah ini merupakan konsep non-pribumi yang tidak relevan dengan nilai-nilai Indonesia. Ada sejumlah asumsi umum: Feminisme adalah konsep Barat atau Utara, anti-laki-laki, menganggap laki-laki sebagai sumber dari semua ketidakadilan gender, mempromosikan penerimaan lesbianisme, dan sebagainya.”

Di Singapura, perjuangan feminisme gelombang kedua berkisar soal pernikahan seperti penolakan praktik poligami. Perkembangan feminisme telah melahirkan banyak perempuan terpelajar yang enggan menikah dan memiliki anak. Oleh karena itu, penolakan pun datang dari berbagai kelompok, termasuk Perdana Menteri Lee Kuan Yew.

Dalam pidatonya pada National Day Rally, Agustus 1983, dirinya mengkhawatirkan di negara dengan manusia sebagai sumber daya satu-satunya, penurunan angka kelahiran di kalangan terpelajar akan mengakibatkan penurunan populasi sehingga mengantarkan negara itu pada bencana ekonomi nasional.

“Kita harus lebih mengubah kebijakan publik kita, dan mencoba untuk membentuk kembali konfigurasi demografis kita sehingga perempuan-perempuan kita yang berpendidikan lebih baik akan memiliki lebih banyak anak sebagai generasi penerus… Kesempatan kerja yang sama, ya itu perlu, tapi kita tidak membiarkan para perempuan kita bekerja di mana pada saat yang sama mereka tidak bisa menjadi ibu…. Kamu tidak dapat mengambil pekerjaan  penuh waktu yang sulit seperti dokter atau insinyur dan pada saat bersamaan menjalankan rumah dan membesarkan anak,” ujar Lee  seperti dikutip dari The Straits Times tahun 1983.

Gelombang Feminisme Ketiga

Hak dan program yang diperoleh feminis di Amerika Serikat dan Eropa dari gelombang kedua mendorong munculnya feminisme gelombang ketiga. Beberapa kesempatan yang didapatkan perempuan ketika itu di antaranya meliputi  akses yang sama ke pendidikan, diskusi publik tentang pelecehan dan pemerkosaan terhadap perempuan, akses ke kontrasepsi dan layanan reproduksi lainnya (termasuk legalisasi aborsi),  pembuatan dan penegakan kebijakan mengenai pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja, pembuatan rumah aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga, layanan penitipan anak, dana pendidikan untuk perempuan muda, dan program Kajian Perempuan.

Baca juga: Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-Dasar Feminisme

Feminisme di gelombang ini lebih beragam dan plural di Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini akibat adanya perluasan filosofi feminisme ke dalam bidang-bidang baru seperti epistemologi, ontologi, metafisika, dan filsafat ilmu pengetahuan. Berkat pluralisme gerakannya, selama gelombang ketiga ini, bermunculan banyak teori feminisme kulit hitam.

Feminisme kulit hitam datang di gelombang ketiga karena sudah lama perempuan kulit hitam menghadapi opresi dan suaranya dibungkam, tetapi belum banyak yang menyoroti isu ini.

Dalam tulisan bertajuk “Women’s Movements in Asia: Feminism and Transnational Activism”, Lenore Lyons menjelaskan bahwa pada gelombang ketiga ini, situasi perempuan di Singapura dan Indonesia kacau balau. Mulai dari adanya pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa di Indonesia pada tahun 1998 sampai pembunuhan buruh migran perempuan Indonesia di Singapura.

Hal ini mendesak gerakan feminisme yang ada untuk menyesuaikan diri dalam situasi tersebut, yaitu menyuarakan suara perempuan yang sangat teropresi. Jika di Eropa dan Amerika Serikat gerakan feminisme telah memasuki level ilmu pengetahuan, di Asia gerakan ini masih pada level menolak penindasan perempuan di ranah dunia kerja, keluarga, dan kekerasan. Belum ada kesempatan bagi para aktivis untuk memasukkan feminisme ke dalam ilmu pengetahuan. Hal ini semakin terhambat karena kesadaran akan kesetaraan gender belum dapat ditanamkan dalam komunitas Asia, serta dirasa masih banyak masalah ketimpangan gender yang lebih penting untuk diselesaikan terlebih dahulu.

Gelombang Feminisme Keempat

Ini adalah gelombang feminisme terakhir yang muncul pada tahun 2012-2013 dan berjalan sampai sekarang. Kehadiran gelombang keempat ini ditandai oleh meluasnya penggunaan internet sebagai sarana penyebaran gerakan feminis.  Dengan adanya internet, jarak dan waktu tidak lagi menjadi kendala dalam menjalankan gerakan ini. Selain itu, aksesnya yang terbilang murah membuat banyak orang bisa mengaksesnya. Beberapa poin yang diusung gerakan feminisme gelombang keempat adalah cancel culture terhadap pemerkosaan, feminisme online, humor, serta  interseksionalitas dan inklusi komunitas.

Dalam gelombang ini, feminisme di Asia tidak jauh berbeda dengan keadaan feminisme pada gelombang sebelumnya, khususnya feminisme di Asia Tenggara. Gerakan feminisme masih terkendala oleh hal-hal yang berkaitan dengan keluarga. Misalnya, perempuan seharusnya tidak lebih tinggi derajatnya dalam keluarga daripada laki-laki, dan laki-laki harus menjadi pemimpin. Asumsi ini ada karena kondisi budaya, sosial, dan agama di negara-negara Asia.

Kendati memiliki tujuan sama, yaitu mengentaskan ketidaksetaraan gender, gerakan feminisme Barat dan Timur, khususnya di Asia, memiliki penerapan berbeda pada setiap gelombang.  Beberapa perbedaan karakter dan lini masa antara feminisme Barat dan Timur yang ada tidak menunjukkan mana yang lebih benar. Sebaliknya, ini menunjukkan fakta bahwa setiap negara memiliki keadaan sosial-politik dan budaya masing-masing dalam menerapkan dan menyebarkan feminisme.

Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.



#waveforequality


Avatar
About Author

Intan T. Ilaiha

Intan Tawaddada Ilaiha adalah mahasiswa tahun terakhir Ilmu Komunikasi Fakultas Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret. Penelitiannya berfokus pada Kesetaraan Gender dan Feminisme.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *