Bagaimana Perempuan Lokal Maknai Hari Perempuan Internasional
Kelompok-kelompok perempuan di Bengkulu berbagi pengalaman menghadapi konflik tanah dan pertambangan, serta kekerasan.
Maret adalah momentum bagi kaum perempuan di seluruh dunia untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. Di Indonesia, peringatannya cukup meriah, lewat berbagai acara mulai dari diskusi dan parade sampai pertunjukan seni, dengan tema-tema seperti penghapusan kekerasan seksual, kesetaraan gender, penolakan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), dan perlindungan untuk kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual, Interseks, dan Queer (LGBTIQ).
Jika diperhatikan secara saksama, aksi-aksi peringatan Hari Perempuan tersebut lebih banyak didominasi oleh beberapa kelompok kepentingan seperti organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), partai politik, perusahaan, dan industri padat karya. Merek-merek pasar serta industri kecantikan menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk menjajakan produk-produk kecantikan dengan potongan harga spesial. Hal ini menunjukkan bahwa Hari Perempuan Internasional tersebut bahkan tidak bisa lepas dari jerat kapitalisme yang mendorong aksi-aksi perempuan menjadi komoditas yang diproduksi dan di konsumsi oleh perempuan itu sendiri.
Tuntutan beberapa kelompok perempuan ini juga terlihat digeneralisasikan menjadi tema-tema yang dianggap mewakili tuntutan semua perempuan di semua kalangan, yakni keadilan dan kesetaraan gender. Padahal, jika kita lihat kondisi-kondisi yang dihadapi oleh perempuan lokal, isunya sangat variatif dan tidak bisa dilihat secara parsial. Bahkan mungkin perempuan lokal tidak mengenal konsep gender dan feminisme seperti yang disuarakan oleh aktivis-aktivis perempuan atau feminis.
Lalu bagaimana perempuan lokal memaknai Hari Perempuan Internasional?
Pada 9 Maret lalu, beberapa kelompok perempuan lintas komunitas di beberapa daerah di Bengkulu berkumpul merayakan perjuangan yang sudah dan sedang mereka lakukan untuk mempertahankan tanahnya. Acara yang diinisiasi oleh Lingkar Studi Feminis dengan mengusung isu interseksionalitas ini bertujuan untuk mendokumentasikan narasi-narasi perjuangan perempuan dalam mempertahankan ruang hidupnya.
Beberapa kelompok perempuan yang hadir dalam acara “Temu Perempuan, Perempuan Bertutur” ini berasal dari Organisasi Rakyat (ORA), Forum Petani Bersatu (FPB), Komunitas Masyarakat Hukum Adat, ibu kepala desa, akademisi dan mahasiswa, ormas/LSM, serta komunitas dan wartawan perempuan dari beberapa media di provinsi ini.
Perempuan yang hadir dari lintas komunitas tersebut sebagian besar memiliki pengalaman berhadapan dengan konflik tanah, dan beberapa orang lainnya berhadapan dengan kasus kekerasan seksual. Konflik tanah yang dihadapi oleh perempuan tersebut adalah perampasan tanah rakyat (land grabbing) yang dilakukan oleh perkebunan monokultur, industri ekstraktif dan atau pengklaiman sepihak oleh negara terhadap kawasan hutan masyarakat. Sedangkan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh beberapa perempuan yang hadir dalam acara tersebut adalah catcalling, pelecehan seksual di jalanan, pernikahan anak dan kekerasan dalam rumah tangga.
Berbeda dengan konsep dialog publik pada umumnya, acara “Temu Perempuan, Perempuan Bertutur” ini menggunakan metode diorama dan tutur. Diorama adalah sebuah presentasi yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk menggambarkan sebuah kejadian atau sebuah proses terjadinya sesuatu. Para peserta memakai diorama untuk menggambarkan pergulatan mereka lewat dramatisasi pengalaman perjuangan mereka dalam menghadapi konflik. Peserta yang hadir diminta untuk menuliskan sebuah cerita dan memerankan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita tersebut.
Sementara itu, metode bertutur merupakan sesi eksplorasi naratif perjuangan 15 perempuan dari komunitas, yang tidak hanya bercerita soal pengalaman berjuang, namun juga pengetahuan berbasis kearifan lokal, mulai dari pengetahuan dalam mengelola lahan hingga pengetahuan dalam menghadapi konflik.
Aksi-aksi dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di Indonesia kurang mewakili isu-isu yang dihadapi perempuan lokal.
Beberapa perempuan dari desa-desa yang mungkin tidak pernah kita ketahui tersebut, datang ke acara itu bukan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. Mungkin tidak ada yang tahu adanya hari itu, dan tidak ada satu orang pun yang mengucapkan Hari Perempuan Internasional selama acara berlangsung. Mereka datang secara sukarela untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dalam menghadapi konflik yang mereka hadapi.
Dalam metode diorama, para perempuan perdesaan ini menggambarkan bagaimana mereka berhadapan dengan aktor-aktor dalam konflik dan apa strategi bertahan hidup di tengah-tengah konflik. Seorang ibu kepala desa (Kades) B, menjadi jantung yang menggerakkan masyarakat delapan desa untuk melawan tindakan represif aparat negara yang mengusir masyarakat dari ruang kelola yang diklaim sebagai kawasan hutan negara. Ibu Kades B juga menjadi negosiator yang andal ketika dihadapkan dengan para pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
Sementara itu, Ibu K, seorang istri dari tokoh adat melakukan aksi penolakan terhadap aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Ia juga menolak mengonsumsi bahan pangan yang tercemar oleh pupuk kimia dengan membuat demonstration plot (demplot) tanaman pangan dan obat secara tradisional dan tanpa bahan kimia berbahaya di halaman depan dan belakang rumahnya.
Selain konflik hutan, juga terdapat konflik perkebunan dan pertambangan, seperti yang digambarkan oleh perempuan dari desa Penago Baru dalam diorama “Menangkap Burung”. Diorama ini memperlihatkan pengalaman mereka berhadapan dengan aparat negara yang membentengi aksi demonstrasi untuk menolak kehadiran perusahaan tambang pasir besi. Pada awalnya, kelompok laki-lakilah yang menjadi pagar barisan dalam aksi, namun hal tersebut malah memicu tindakan represif, sehingga berjatuhan korban, dan beberapa laki-laki ditangkap oleh aparat.
Supaya aksi terus berlanjut tanpa tindakan represif dari aparat, maka kelompok perempuan kemudian menjadi pagar barisan dalam aksi dan “menangkap burung” polisi laki-laki, alias meraih penis mereka agar menjauh dari barisan demonstran. Kemudian, para perempuan ini juga melakukan aksi memeluk masjid dengan melingkari masjid dengan tubuh mereka. Hal ini dilakukan untuk menyembunyikan laki-laki dari target operasi aparat karena dianggap melakukan aksi provokatif dan subversif.
Dalam acara ini juga muncul kisah pernikahan di bawah umur, perdagangan anak, dan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh seorang anak perempuan. Ia dipaksa menikah oleh orang tuanya demi membayar utang keluarga. Setelah menikah, ia mengalami keguguran dua kali dan menjadi obyek kekerasan oleh suami. Selain kisah anak ini, beberapa orang berbagi cerita mengenai kasus pelecehan seksual yang dialami sejumlah dosen perempuan dan mahasiswi yang terjadi di lingkungan kampus.
Baginilah cara perempuan lokal memaknai perayaan Hari Perempuan Internasional tersebut. Pertemuan dengan perempuan yang memiliki pengalaman berbeda serta ruang untuk saling berbagi adalah puncak kemewahannya. Mereka yang bahkan tidak mengenal konsep gender dan feminisme saling menginspirasi untuk tetap berjuang menghadapi konflik. Pemahaman mereka soal gender dan feminisme yang kita pelajari dari buku-buku, teraktualisasi dalam laku dan tindakan keseharian mereka dalam kehidupannya sehari-hari di desa. ‘Temu Perempuan, Perempuan Bertutur” adalah sebuah kemewahan yang dihadiahkan dari perempuan yang sudah dan sedang berjuang kepada perempuan lainnya yang tengah menghadapi konflik atau kasus yang serupa.