Di Balik Banjir Bali, Ada Kerentanan Perempuan yang Jarang Dibicarakan
Hujan deras yang mengguyur Bali selama dua hari berturut-turut memicu banjir bandang pada (10/9). Air meluap hingga ke jalan-jalan, merendam pemukiman di Denpasar, Badung, Gianyar, sampai Jembrana. Pemerintah menetapkan status darurat bencana selama sepekan.
Melansir Detik, korban jiwa tercatat di beberapa titik. Nita Kumalasari, 23, yang tengah mengandung dua bulan, ditemukan tewas setelah terseret arus di Jembrana. Di Badung, Endang Cafyaning Ayu, 42 hanyut setelah mobil yang ia tumpangi terjebak arus deras di sekitar Pasar Pengosari. Sementara itu, di Denpasar, tubuh perempuan tanpa identitas ditemukan mengapung di Sungai Taman Pancing.
Hingga kini, enam orang masih dinyatakan hilang, lima di antaranya perempuan. Mereka adalah Made Suwitri, 43; Tasnim, 54; Maimunah, Ni Ketut Merta, dan Ni Nyoman Sari. Seorang laki-laki bernama Farwa Husein, 32 juga belum ditemukan.
Pola ini, sebagaimana dicatat Care Indonesia, selaras dengan temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Mereka bilang, perempuan memiliki risiko empat belas kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibanding laki-laki dewasa. Kerentanan itu kerap muncul karena peran sosial yang melekat, di mana perempuan lebih sering mendahulukan keselamatan anak dan keluarga dibanding dirinya sendiri.
Hal ini membuktikan, kerentanan dalam bencana tidak berdiri tunggal. Ia dibentuk oleh berbagai faktor sosial, seperti jenis kelamin, orientasi seksual, hingga latar sosial ekonomi yang melekat pada seseorang. Seluruhnya memengaruhi seberapa besar paparan bahaya dan dampak yang ditanggung ketika bencana datang.
Baca Juga: Di Balik Omon-Omon IKN, Ada Ruang Hidup Rakyat Sepaku yang Direbut Paksa
Ketika Patriarki Tentukan Siapa Paling Rentan
Banjir di Bali bukan sekadar soal curah hujan tinggi atau meluapnya sungai. Di baliknya, ada lapisan persoalan sosial yang memperparah dampak bencana bernama patriarki.
Nazrina Zuryani, Dosen Sosiologi Pariwisata Universitas Udayana, menilai struktur patriarki yang kental di Bali membuat perempuan berada dalam posisi paling rentan ketika banjir melanda.
“Perempuan Bali itu do-er, sementara pria itu organizer dan boss. Bisa kebayang kan sulitnya perempuan Bali?” ujar Nazrina kepada Magdalene (11/9).
Pola ini, sebagaimana dicatat Care Indonesia, selaras dengan temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Mereka bilang, perempuan memiliki risiko empat belas kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibanding laki-laki dewasa. Kerentanan itu kerap muncul karena peran sosial yang melekat, di mana perempuan lebih sering mendahulukan keselamatan anak dan keluarga dibanding dirinya sendiri.
Dalam keseharian, perempuan Bali kerap mengambil peran di lapangan. Mereka mengurus pekerjaan rumah tangga, memastikan kebutuhan keluarga, hingga menjaga keberlangsungan hidup sehari-hari.
Sebaliknya, laki-laki cenderung menempatkan diri sebagai pengatur atau pengambil keputusan. Mereka tak selalu terjun langsung mengurus detail pekerjaan.
Ketika bencana datang, pola itu kembali terulang. Perempuan berada di garis depan. Ini termasuk menyelamatkan anak, mengurus barang-barang, memasak di pengungsian, sampai mencari air bersih.
Laki-laki, di sisi lain, lebih sering berperan sebagai koordinator atau pemegang keputusan. Menurut Nazrina, beban ganda pun tak terelakkan sebab daya juang perempuan malah bertumpu pada sistem yang menekan mereka.
Kerentanan itu semakin nyata bila dikaitkan dengan status sosial ekonomi dan akses informasi. Banyak perempuan tidak memiliki akses langsung terhadap peringatan dini maupun informasi lokasi pengungsian yang aman.
Laporan World Bank Group (2021) bertajuk Gender Dimensions of Disaster Risk and Resilience menunjukkan, perempuan lebih sering bergantung pada informasi dari mulut ke mulut, tidak mengetahui secara pasti lokasi tempat perlindungan, serta minim kuasa untuk mengambil keputusan sendiri terkait evakuasi. Keputusan itu umumnya dipegang laki-laki.
Baca Juga: Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi
Luka Perempuan yang Tak Terlihat
Bencana tidak hanya merenggut rumah dan mata pencaharian, tetapi juga memperbesar risiko kekerasan terhadap perempuan. Di pengungsian yang sempit, tanpa privasi dan perlindungan memadai, perempuan dan anak perempuan rentan mengalami pelecehan fisik maupun seksual.
Ironisnya, bahaya tak selalu datang dari luar. Menurut laporan World Bank Group, kekerasan dalam rumah tangga kerap meningkat setelah bencana, menjadikannya salah satu bentuk kekerasan paling umum yang dialami perempuan di masa darurat.
Namun persoalan tidak berhenti di sana. Bencana juga meninggalkan jejak yang tak kasat mata, seperti gangguan kesehatan mental. Perasaan cemas, depresi, hingga trauma pascabencana lebih banyak menghantui perempuan dibanding laki-laki.
World Bank group mencatat, dari tsunami di Aceh, banjir besar di Tiongkok, sampai badai di Amerika, pola yang sama terus berulang. Luka emosional itu sering bertahan lebih lama, meski tak selalu terlihat di permukaan.
Di sisi lain, ada kerentanan yang jarang terungkap dalam cerita bencana, yakni kebutuhan kesehatan reproduksi dan kesehatan ibu. Saat fasilitas kesehatan rusak, jalur transportasi terputus, atau ekonomi keluarga runtuh, layanan dasar seperti kontrasepsi maupun perawatan ibu hamil ikut terganggu.
Pada akhirnya, perempuan kembali menanggung beban ganda. Tak hanya trauma batin yang menekan, tapi juga terbatasnya akses pada layanan kesehatan yang seharusnya melindungi.
Ketika bencana datang, pola itu kembali terulang. Perempuan berada di garis depan. Ini termasuk menyelamatkan anak, mengurus barang-barang, memasak di pengungsian, sampai mencari air bersih.
Baca Juga: Terobos Kerumunan Massa Aksi, Kendaraan Taktis Brimob Lindas Ojol
Melampaui Narasi Korban
Perempuan kerap ditempatkan hanya sebagai korban dalam narasi bencana. Gambaran itu seolah melekat, padahal kenyataan bisa berbeda jika mereka benar-benar diberi ruang dalam perencanaan dan pelatihan kebencanaan.
United Nation Women (UN Women) dalam Gender Equality and Women’s Empowerment in Disaster Recovery menyatakan, arah pemulihan sebaiknya bergeser. Tak lagi sekadar menyoroti perempuan sebagai kelompok rentan, tapi juga mengakui kapasitas dan agensi mereka sebagai penggerak utama dalam membangun ketahanan komunitas.
Hal ini didukung dengan data United Nations Office for Disaster Risk reduction (UNDRR) yang dikutip Care Indonesia menunjukkan, kehadiran perempuan dalam proses mitigasi mampu meningkatkan efektivitas respons hingga 30 persen.
Namun faktanya, di Indonesia jumlah perempuan yang dilibatkan masih sangat kecil. Data BNPB 2022 mencatat, hanya dua dari sepuluh relawan desa yang perempuan. Hal ini menjadi tantangan sendiri untuk Bali.
“Buat saya sulit perempuan Bali breaking the glass ceiling,” ujar Nazrina.
Padahal, jika angka itu bertambah, penanganan bencana tak mustahil berubah. Perempuan tak lagi hanya mengurus dapur umum atau menjaga anak di pos pengungsian. Namun juga terlibat dalam merancang sistem peringatan dini, melatih warga untuk evakuasi, hingga memimpin tim penyelamatan di kampungnya sendiri.
Care Indonesia juga mencatat, perempuan dengan usaha kecil atau tabungan sendiri lebih siap membuat keputusan di situasi darurat. Mereka bisa menggerakkan jejaring usaha mikro, mengelola dana darurat komunitas, bahkan menjadi pelatih bagi desa-desa sekitar.
Dengan kata lain, agensi perempuan dalam kebencanaan bukan sekadar soal kesetaraan. Ia adalah inti dari ketahanan kita bersama.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















