Banjir Bukan Urusan Azab, Tapi Adab Terhadap Alam
Banjir tidak seharusnya dikaitkan dengan azab, tapi tanggung jawab kita untuk menjaga lingkungan hidup.
Sesaat setelah banjir yang melanda Jabodetabek saat malam pergantian tahun baru pekan lalu, pesan-pesan berupa doa untuk meminta hujan berhenti mengalir deras di grup WhatsApp keluarga saya. Hal yang sama juga terjadi di media sosial, berikut unggahan yang mengatakan bahwa banjir dan hujan deras yang melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya adalah azab, karena banyak orang berbuat maksiat di malam Tahun Baru dan tanda-tanda kiamat semakin dekat. Jumlah akun yang membagikan unggahan tersebut menembus angka puluhan ribu.
Respons publik tersebut menunjukkan masyarakat masih lebih percaya dogma agama ketimbang berpikir secara logis tentang kerusakan alam, dan kesadaran masyarakat kita akan isu perubahan iklim masih minim. Hal ini juga selaras dengan hasil survei Yougov, sebuah lembaga penelitian di Inggris, yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan presentase tinggi terkait dengan penolakan terhadap perubahan iklim. Dalam hasil survei yang diumumkan pada September 2019 itu, terlihat bahwa hampir 18 persen masyarakat Indonesia tidak percaya akan perubahan iklim, dan 6 persen dari masyarakat menganggap perubahan iklim adalah hoaks.
Kecenderungan untuk mengaitkan bencana dengan kepercayaan agama mengindikasikan bahwa isu lingkungan hidup belum sepenuhnya masuk dalam narasi keagamaan. Padahal tokoh dan lembaga agama memiliki peran strategis dalam mendorong pelestarian lingkungan di tengah masyarakat Indonesia yang memiliki religiositas tinggi.
Sebetulnya diskusi tentang peran agama dalam menggalakkan kampanye tentang lingkungan hidup sudah ada sejak lama namun masih sporadis dan belum berdampak secara signifikan. Di tingkat global, The International Islamic Climate Change Symposium pada 2015 mengumpulkan para cendekiawan muslim di Istanbul, Turki, dan mendeklarasikan pentingnya merespons secara serius terhadap perubahan iklim.
Pada 10 Desember 2019 lalu, Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, berbicara dalam Konferensi Perubahan Iklim COP25 UNFCCC di Madrid, Spanyol. Seruannya cukup jelas, ia mengajak semua pemeluk agama untuk berhijrah melakukan tindakan terhadap perubahan iklim.
Di Indonesia sendiri, pada September 2015, para pemuka agama mendeklarasikan gerakan Siaga Bumi untuk melakukan aksi nyata dalam menghadapi isu lingkungan dan perubahan iklim. Anggota gerakan ini antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu, Majelis Tinggi Konghuchu Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Baca juga: ‘Saya dan Keadilan’: Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia
Beberapa lembaga nonprofit dalam sektor lingkungan hidup juga bekerja sama dengan lembaga agama. World Wildlife Fund (WWF) sejak 2017 berkolaborasi dengan MUI untuk meluncurkan buku tentang lingkungan dan pelestarian satwa langka yang berjudul Khotbah Jumat dan Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem dan juga Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem. Konten buku tersebut diharapkan oleh WWF dapat menjadi materi ceramah salat Jumat.
Elis Nurhayati, Direktur Komunikasi WWF Indonesia, mengatakan isu lingkungan hidup memang sudah seharusnya masuk ke dalam narasi agama agar lebih mudah diterima oleh masyarakat.
“Mayoritas publik di Indonesia menganggap agama sebagai panduan untuk norma sosial dan ritual kepercayaan. Kalau kita tidak manfaatkan agama untuk menyampaikan pesan-pesan pelestarian lingkungan, perlindungan alam, termasuk kesiapsiagaan bencana dan adaptasi atau mitigasi perubahan iklim, it’d be a missed opportunity,” ujarnya kepada Magdalene.
Ia menambahkan bahwa WWF telah mengadakan pelatihan bagi para pemuka agama tentang kesadaran lingkungan dan ekosistem, untuk meningkatan kapasitas pemuka agama di desa dalam menyebarkan pesan-pesan konservasi dan sosialisasi tentang lingkungan hidup.
“Kita berharap para pemuka agama, da’i dan da’iyah, serta pendeta, pastor, penginjil dan sebagainya, mulai lebih sering mengangkat isu lingkungan ke dalam materi ceramah mereka karena ternyata umat mendengar dan merespons. Isilah ceramah dengan ujaran yang menyejukkan dan mengilhami orang untuk berbuat lebih baik bagi lingkungan dan sesama. Tunjukkan ayat dan dalil yang mendukung supaya lebih meyakinkan,” kata Elis.
Romo Andang Binawan dari Keuskupan Agung mengatakan peran pemuka agama memang sangat krusial karena pemuka agama berkewajiban menanamkan nilai yang dapat memotivasi jemaat. Nilai tersebut bukan hanya supaya lingkungannya bersih, tetapi juga dikaitkan dengan iman agar motivasi orang lebih kuat, ujarnya.
“Hampir seluruh gereja di dunia (mengampanyekan isu lingkungan) meskipun caranya berbeda-beda, dengan tekanan yang berbeda-beda, karena masalahnya juga berbeda-beda. Nah, untuk di perkotaan seperti Jakarta itu kita lebih berfokus menghadapi polusi udara, polusi tanah, maka untuk gereja-gereja katolik di Jabodetabek kita konsentrasi pada sampah,” ujar Romo Andang yang juga seorang pengamat ekologi dan aktivis lingkungan hidup.
Ia terlibat dalam gerakan Siaga Bumi, yang diakuinya belum begitu masif pergerakannya.
Mementingkan hubungan dengan Tuhan tapi abai kepada Alam
Jika isu lingkungan ini sebenarnya telah lama masuk ke dalam pusaran ceramah keagamaan mengapa narasi tanda-tanda kiamat lebih laku dan dipercaya masyarakat?
Siti Barokah, aktivis lingkungan dan pendiri pesantren Amsykat Al-Anwar di Bogor, mengatakan sebagian besar masyarakat dan pemuka agama hanya fokus beribadah kepada kepentingan “langit”, atau hubungan dengan Tuhan, namun mengabaikan hubungan dengan sesama manusia dan alam.
Baca juga: Perempuan Bali Mimpi Terlibat Aktif dalam Gerakan Lingkungan Hidup
“Di Islam juga diajarkan kita sebagai khalifah, yaitu sebagai hamba Allah di bumi, sebagai wakil Tuhan di Bumi, yang seharusnya memiliki kewajiban untuk hablumminallah, hablumminannas, dan hablunminalam (menjaga hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam),” ujar Siti.
“Cuma sepengetahuan saya yang lebih banyak dibahas itu tentang habluminallahnya saja, atau paling mentoknya hablumminannas,” jelasnya.
Romo Andang menyuarakan hal yang sama, bahwa pengajaran agama sering kali terlalu difokuskan pada kehidupan yang akan datang, tidak berbuat dosa untuk nanti masuk surga.
“Saking terlalu terfokus ke sana sehingga malah kehidupan di sini, di bumi ini kurang diperhatikan,” ujarnya.
Elis dari WWF mengatakan permasalahan bencana yang sering diasosiasikan dengan azab adalah salah satu tantangan terbesar dalam mengedukasi masyarakat mengenai isu lingkungan hidup.
“Itu memang memerlukan proses edukasi yang terus menerus, supaya tidak mengaitkan azab dengan maksiat karena tidak ada korelasinya secara langsung. Itu menyesatkan, hanya mengajarkan agama sebatas dogma, tidak membuat umat menjadi kritis dan menggunakan akalnya untuk berpikir kausalitas,” ujarnya.
Narasi azab yang selalu disandingkan dengan maksiat juga mencerminkan masyarakat kita yang terlalu moralis terhadap permasalahan individu manusia, ujar Siti Barokah. Padahal jika narasi azab ini dikaitkan dengan konsep sebab-akibat yang benar, misalnya bahwa bencana merupakan azab karena manusia lalai dan tidak menjaga lingkungan, bukan tidak mungkin kampanye isu lingkungan jauh lebih berhasil, tambahnya.
Ia mencontohkan tetangganya sendiri yang menyebutkan bahwa banjir yang melanda Bogor adalah azab karena banyak dibangun vila yang dipakai untuk maksiat dan ia berusaha meresponsnya dengan logis.
“Bogor itu kan daerah resapan air, kalau banyak dibangun vila kemudian enggak dipikirkan saluran airnya bagaimana, sudah pasti fungsi resapan airnya itu akan hilang. Ditambah dengan kebiasaan kita yang sangat konsumtif, jadinya sampah itu berkali lipat banyaknya,” kata Siti.
“Belum lagi pembuangannya ke sungai yang tidak terkontrol. Ya akumulasi saja kalau menurut saya, kalau pun itu memang azab, ya itu azab dari kelakuan kita. Intinya bukan karena apa ya yang sifatnya moralis individualistis.”
Siti juga menegaskan bahwa isu perubahan iklim ini terkadang dipahami sebagai konsep yang rumit, padahal ini menyangkut hajat hidup orang banyak–manusia beribadah kepada Tuhan juga memerlukan tempat yang nyaman, kalau alam sudah rusak kita juga tidak bisa beribadah.
Seperti yang Romo Andang katakan, kita harus menciptakan surga di bumi terlebih dahulu baru surga yang lain.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin