Banjir Saat Pagerwesi dan Beban Adat Perempuan Bali
Peristiwa banjir bandang yang melanda Bali pada 9–10 September 2025 meninggalkan lebih dari sekadar kerusakan fisik. Di tengah derasnya hujan dan air yang meluap, tampak pula wajah lelah para perempuan Bali yang tetap menjalankan kewajiban adat pada Hari Raya Pagerwesi—sebuah ironi yang menggambarkan beratnya beban yang terus mereka pikul, bahkan di tengah bencana.
Banjir hebat saat itu melumpuhkan sebagian besar wilayah Bali, terutama Kota Denpasar. Sedikitnya 18 orang dilaporkan meninggal dunia. Intensitas hujan yang tinggi sejak Selasa malam membuat beberapa sungai meluap. Bencana ini diperparah oleh masifnya pembangunan yang mengorbankan ruang hijau dan area resapan, serta persoalan sampah yang belum serius ditangani. Banyak warga mengalami kerugian materi: rumah dan tempat usaha rusak, kendaraan terendam, dan akses lalu lintas terputus.
Namun yang membuat kejadian ini makin rumit adalah waktunya yang bersamaan dengan Hari Raya Pagerwesi—hari besar umat Hindu Bali yang dirayakan sebagai momen penguatan iman dan keteguhan menjalani dharma. Bagi banyak perempuan Bali, perayaan ini berarti serangkaian pekerjaan adat yang tak bisa ditunda: menyiapkan, membawa, dan menghaturkan banten (sesajen) sebagai bentuk persembahan spiritual.
Media sosial ramai memperlihatkan bagaimana para perempuan, khususnya para ibu, tetap menjalankan ritual mebanten di tengah banjir. Ada yang menyusuri genangan air dengan banten di tangan, ada yang memakai jas hujan dan payung besar agar dupa tak padam, bahkan ada unggahan yang menunjukkan banten hanyut terbawa arus.
Di balik gambar-gambar itu, muncul pertanyaan yang tak banyak dibahas: mengapa mereka tetap harus menjalankan kewajiban adat di tengah kondisi yang mengancam keselamatan? Apakah ini murni bentuk ketaatan spiritual, atau cermin dari konstruksi sosial yang membuat perempuan seolah tak punya pilihan?
Baca juga: Di Balik Banjir Bali, Ada Kerentanan Perempuan yang Jarang Dibicarakan
Banjir yang menguak ketimpangan struktural
Perempuan merupakan salah satu pilar utama dalam pelestarian budaya, adat, dan ritual masyarakat Hindu Bali. Mereka bertanggung jawab atas hampir seluruh aspek logistik spiritual, mulai dari menyiapkan banten hingga memastikan kelengkapan upacara. Peran ini kerap dianggap sebagai bagian dari keimanan, padahal juga merupakan hasil penanaman nilai-nilai sosial yang membebankan tanggung jawab adat kepada Perempuan, dan hanya kepada perempuan.
Di saat yang sama, kerja mereka tak banyak mendapat pengakuan di ruang publik—ia tersembunyi di ranah domestik dan spiritual. Yang terlihat justru kerja-kerja pemulihan pascabencana yang dilakukan laki-laki—gotong royong, membersihkan puing, memperbaiki infrastruktur. Perempuan nyaris tak tampak dalam narasi pascabencana, meski mereka juga bekerja keras di dapur umum, membersihkan rumah yang terendam, sekaligus tetap memastikan ritual adat berjalan.
Inilah yang disebut sebagai triple burden: beban publik, domestik, dan adat. Dalam banyak kasus, perempuan Bali harus tetap hadir di altar persembahan meski tubuhnya kelelahan dan rumahnya tak lagi layak huni. Ini bukan hanya tentang spiritualitas, tapi tentang bagaimana sistem sosial menuntut mereka untuk selalu ada, tanpa jeda.
Bencana lingkungan seperti banjir selalu disebut sebagai “musibah alami,” padahal dampaknya sangat ditentukan oleh ketimpangan sosial yang ada. Ketika negara dan sistem adat sama-sama menuntut, perempuan sering kali jadi pihak yang paling terdampak, namun paling tak terlihat.
Alih-alih mendapatkan ruang untuk beristirahat atau mengutamakan keselamatan diri dan keluarga, mereka tetap harus memenuhi ekspektasi budaya. Karena dalam banyak komunitas adat, tidak hadir dalam ritual bisa dianggap mencoreng nama keluarga atau melanggar nilai-nilai spiritual.
Masalahnya bukan pada ritualnya, tapi pada ketimpangan dalam distribusi tanggung jawab. Mengapa beban spiritual, logistik, dan representasi adat selalu ditaruh di pundak perempuan? Di tengah banjir, bukan hanya rumah yang roboh—rasa aman dan kelayakan hidup perempuan pun ikut tergerus.
Banjir bisa surut dalam hitungan hari, tapi beban perempuan Bali terus berlangsung dari satu upacara ke upacara berikutnya. Ketika bencana datang bersamaan dengan kewajiban adat, mereka dipaksa memilih untuk tetap hadir di altar meski tubuh dan rumah tak dalam keadaan baik-baik saja. Inilah mengapa banjir bandang kemarin bukan sekadar bencana lingkungan—ia juga mencerminkan bencana sosial yang terus menimpa perempuan, tanpa banyak yang menoleh. Dan seperti banyak beban lainnya, ia berlalu tanpa benar-benar dianggap sebagai sesuatu yang darurat.
Baca juga: Perempuan dan Krisis Iklim: Beban Ganda di Tengah Banjir
I Gusti Agung Ayu Brenda Yanti adalah edukator social studies di sebuah sekolah inklusi di Yogyakarta. Ia menyelesaikan Pendidikan pascasarjana di bidang Sosiologi di Universitas Gadjah Mada. Sebelumnya aktif di organisasi yang berkutat pada isu gender, seksualitas, dan hak asasi manusia. Di waktu luangnya, Brenda suka mengait teori sosiologi dengan anime-anime yang sedang ditontonnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















