Politics & Society

Basis Data Geospasial Politik Indonesia Berupaya Tingkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen

Affirmative action belum berjalan dan belum semua perempuan pembuat kebijakan melek isu gender.

Avatar
  • October 8, 2018
  • 4 min read
  • 309 Views
Basis Data Geospasial Politik Indonesia Berupaya Tingkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen

Untuk membantu meningkatkan keterpilihan perempuan di parlemen, lembaga riset Cakra Wikara Indonesia, yang berfokus pada isu sosial politik yang berspektif gender, meluncurkan basis data geospasial politik Indonesia pekan lalu (2/10). Lewat basis data tersebut, yang bisa diakses lewat dataspasial.id, partai-partai politik dapat melihat daerah-daerah mana saja yang memiliki tingkat keterpilihan calon anggota legislatif (caleg) perempuannya tinggi.

“Lewat database dan buku ini, bisa dilihat apakah betul calon legislatif perempuan sudah ditempatkan pada daerah pemilihan yang ramah terhadap caleg perempuan? Apakah betul partai politik sudah menempatkan perempuan di daerah dengan proyeksi untuk menang, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan administratif,” ujar Anna Margret dari tim penulis buku Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah, pada acara peluncuran basis data dan buku tersebut di Jakarta.

 

 

Basis data ini melihat bagaimana implementasi affirmative action berupa kuota 30 persen untuk perempuan dalam daftar caleg dan di partai politik, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dari basis data ini terlihat bahwa  ternyata affirmative action tersebut belum membantu meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan.

Eva Kusuma Sundari, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), mengatakan bahwa affirmative action belum dapat membantu perempuan dalam ranah politik karena wilayah ini masih sangat maskulin dan didominasi laki-laki. Terkadang perempuan pun terbawa dengan budaya maskulinitas tersebut, sehingga mereka pun belum dapat membantu menciptakan kebijakan yang menyejahterakan perempuan, ujar Eva.

“Pengarusutamaan gender dalam kepengurusan partai perlu ditingkatkan karena walaupun sudah ada kuota 30 persen, hal tersebut masih kurang membantu mewujudkan semangat kesetaraan gender dalam politik,” ujarnya.

Hetifah Sjaifudin, anggota DPR dari Fraksi Golkar, mengatakan masih saja ada anggota legislatif perempuan yang tidak mendukung kebijakan yang mendukung kesetaraan gender.

“Saya dengar sendiri beberapa perempuan yang dengan sangat konyolnya, ketika sedang membahas tentang Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga, mereka bilang, ‘Waduh gimana ya kalau pembantu dikasih jaminan, waduh nanti kita tambah repot, dong.’ Coba apakah pantas anggota legislatif perempuan seperti itu,” ujar Hetifah.

Rahayu Saraswati dari Fraksi Gerindra juga menuturkan pengalaman yang sama ketika membahas mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

“Itu RUU sampai saat ini mandek, ini mohon maaf karena saat ini yang betul-betul memikirkan  undang-undang ini yang sangat mendukung Undang-undang ini jadi, hanya koalisi PDI Perjuangan dan Koalisi Gerindra. yang Kelompok Fraksinya (Kapoksi) sama-sama perempuan, saya dan Mbak Diah Pitaloka,” ujarnya.
Ahli ilmu politik dan gender dari Universitas Indonesia, Ani Soetjipto mengatakan, identitas berlapis yang dimiliki perempuan – perempuan sebagai politisi, anggota DPR, istri, dan ibu –merupakan salah satu faktor mengapa perempuan masih mengalami kesulitan dalam mendukung perjuangan perempuan di ranah legislatif.

“Pada awal kuota ini diberlakukan, kita hanya melihat dari segi keterpilihan secara fisik, ‘ayo kita dukung perempuan, pilih perempuan’, tapi saat terpilih malah mereka tidak menghasilkan suatu kebijakan yang adil terhadap perempuan. Akhirnya setelah itu kita belajar bahwa kita tidak hanya melihat dari identitas perempuannya saja, tetapi kemampuan dia dan pandangan dia terhadap perempuan juga perlu dilihat,” ujar Ani.

Anna Margret mengatakan ada hambatan berupa ‘langit-langit kaca’ terhadap perempuan dengan menekankan peran domestik perempuan.
 
“Begitu PNS perempuan mau naik jabatan, malah dipertanyakan ‘sudah punya anak belum?’, lalu harus memikirkan keluarganya dululah, jadi selalu dihantam oleh mau pilih peran publik atau privat domestik. Padahal seharusnya tanggung jawab  domestik itu perlu dibawa ke ranah publik,” ujar Anna.
 
“Inilah tugas sistem dan kebijakan pemerintah untuk mengakui bahwa perempuan harus difasilitasi, karena kepentingannya khas. Agar mereka juga bisa menjalankan tugas publik maupun domestiknya dengan baik,” tambahnya.
 
Ia mengatakan bahwa perjuangan mengenai representasi perempuan dalam ranah politik maupun birokrasi tidak hanya berfokus pada peningkatan secara jumlah, namun juga peningkatan secara kapasitas dan kualitas perempuan tersebut, agar perempuan juga turut hadir dan tidak melupakan perjuangan perempuan lainnya.
 
Eva mengatakan perubahan sistem secara struktural yang dilakukan di negara-negara Amerika Latin seperti Chile bisa diikuti oleh Indonesia.

“Kita memang ada kuota 30 persen, tapi jatuhnya hanya kultural. Memang ada perubahan tapi hanya pada 2004, setelah itu datanya stagnan. Di Chile, mereka memberlakukan kuota 50 persen, lalu melakukan ‘pemaksaan’ dalam hal regulasi, struktural,” ujar Eva.

“Kalau masih tetap kultural, ya bisa. Tapi terwujudnya 80 tahun lagi.”

Kelompok rentan dan minoritas masih kesulitan mendapatkan identitas hukum.


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *