Belajar dari Kasus Lesti: Masyarakat yang Suportif, Kunci Lain Penanganan KDRT
Dari penyintas KDRT buat masyarakat kita: mari berhenti menumpukan semua beban pada korban KDRT. Kita bisa lebih baik.
Ingar-bingar kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa penyanyi Lesti Kejora menyita perhatian masyarakat selama beberapa minggu belakangan. Gelontoran dukungan datang untuknya sebagai pribadi yang dianggap berani melaporkan kasus kekerasan fisik dan psikis yang sampai bikin ia dilarikan ke RS akibat luka-luka oleh suaminya, Rizki Billar, yang juga seorang selebritis.
Bukan hanya masyarakat, stasiun TV tempat Lesti bekerja juga mendukungnya secara terang-terangan. Bahkan cenderung berlebihan, dengan langsung memecat Billar—yang adalah host di acara tersebut.
Namun, setelah Lesti akhirnya memutuskan untuk mencabut laporannya dari kepolisian dan berusaha berdamai dengan situasinya, stasiun TV yang sama dikabarkan memecat Lesti sebagai juri. Belakangan, ada rumor bahwa Lesti akan diboikot dari stasiun TV karena dianggap melakukan ‘prank’ pada masyarakat.
Baca juga: Rehabilitasi Psikis Pelaku, Kunci Lain Penanganan KDRT
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat tidak memahami betul KDRT dan bagaimana ia berlangsung. Masyarakat hanya ‘senang’ dengan kehebohan yang terjadi dan berlomba-lomba untuk berkomentar sesuai dengan aras mayoritas. Stasiun televisi bahkan melakukan hal yang lebih parah. Mereka membungkus eksploitasi habis-habisan kasus Lesti dengan gimik peduli. Padahal mereka sama sekali tidak memahami kerumitan kasus KDRT yang membutuhkan sensitivitas dan dukungan.
Baik untuk Lesti sebagai korban, agar dikuatkan jiwanya. Dan juga untuk pelaku, agar memahami kesalahannya dan agar memiliki perspektif baru untuk memutus mata rantai kekerasan.
Boikot dan rencana pemecatan Lesti adalah bukti bahwa orang-orang sekitarnya, termasuk TV tempatnya bekerja justru mematikan sumber pemasukan si penyanyi dangdut. Dan itu bukanlah tindakan berpihak, melainkan perilaku tidak sensitif stasiun TV yang sudah mengeksploitasi kasus KDRT ini secara berlebihan.
Keberpihakan kepada penyintas nyatanya memang belum menjadi titik sentuh oleh semua pihak. Keberpihakan hanya datang saat penyintas melaporkan kasusnya, bukan saat penyintas memilih sebaliknya. Seharusnya, apa pun yang dipilih penyintas, dianggap sebagai pilihan sadarnya karena dialah yang paling memahami apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Tentu, pilihan dia untuk melaporkan kasusnya harus diapresiasi karena menunjukkan bahwa negara ini punya hukum yang tegas untuk kasus KDRT tetapi, ia pun juga punya pilihan untuk menyelesaikan kasusnya dengan cara lain. Meski dalam hukum kasus akan terus berjalan karena merupakan delik biasa bukan delik aduan.
Baca juga: Kekerasan dalam Relasi Romantis, di Mana Jalan Keluar?
Menyelesaikan kasus dengan cara lain ini yang kurang dipahami oleh masyarakat sebagai bentuk lain untuk menyelesaikan kasus KDRT, sampai Lesti dan Billar sedang membohongi publik, padahal tidak ada satupun yang berbohong di sini. Kasusnya nyata, laporannya nyata, depresinya nyata, yang tidak nyata adalah cara pandang masyarakat, apalagi stasiun TV yang semata mengejar rating. Dikatakan juga bahwa apa yang dilakukan Lesti bisa membuat orang tidak akan percaya lagi terhadap kasus KDRT, padahal tidak ada kebohongan dari apa yang dilaporkan Lesti.
Penggunaan istilah prank sendiri saja tidak tepat. Keadaan Lesti yang sampai dilarikan ke rumah sakit, dan polisi yang bergerak cepat menangkap Billar jadi bukti betapa seriusnya masalah yang dihadapi sang penyanyi dalam KDRT yang diterimanya. Jelas berbeda dengan aksi prank yang sempat dilakukan Baim Wong dan Paula.
Justru yang dilakukan masyarakat akan menambah ketakutan penyintas KDRT untuk maju, untuk melaporkan kasusnya. Sebab, kemungkinan berubah pikiran di tengah jalan akan dianggap sebagai pembohong dengan risiko dicabut semua sumber kehidupannya dan dikucilkan oleh komunitas.
Baca juga: Teknologi Bisa Bantu Ciptakan Ruang Aman Korban KDRT
Kenyataannya, lepas dari hubungan penuh kekerasan memang tak mudah. Seorang penyintas bisa berkali-kali kembali dalam relasi yang buruk.
Bukan karena ingin mempermainkan institusi atau mempermainkan kasus, tetapi ada ikatan emosional yang terjalin dalam sebuah relasi. Sehingga ada beberapa penyintas yang memang kesulitan melepaskan diri. Belum lagi karena ada ikatan ekonomi, dan ribuan alasan lain. Sebagai masyarakat, kita perlu ingat bahwa semua relasi—semirip apa pun ia—punya situasi unik yang tak sama.
Sehingga, keputusan paling bijaksana bagi siapa pun yang memiliki kedekatan dengan penyintas adalah dengan menghormati segala bentuk pilihannya, serta mendukung apa pun yang terjadi dan terus menerus memberikan pemahaman kepada penyintas untuk melihat value dirinya. Sehingga suatu waktu ia siap melepaskan diri dari relasi tersebut dengan pertimbangan risiko lebih baik.
Mengkritik terus-menerus, menghina, menganggapnya sedang mempermainkan masyarakat, dan bahkan memutus mata pencariannya tidak akan membuat mereka jadi kuat dan berdaya. Melainkan akan menjadi semakin menutup diri dan merasa dirinya memang tidak berharga.
Tidak sedikit juga beberapa pihak yang sudah berhasil keluar dari relasi KDRT atau kekerasan di ranah privat lain, merasa berhak untuk menghina penyintas karena tidak sekuat diri mereka. Ini suatu tindakan yang sangat tidak bijaksana dan tidak mencerminkan keberpihakan. Bahkan kritik terhadap Lesti juga datang dari pendamping korban yang sudah melihat sekian ratus ribu bahkan ratus kasus KDRT.
Stasiun-stasiun TV harus diintervensi terkait eksploitasi berlebihan kasus Lesti dan kasus-kasus yang menimpa perempuan lain. Terutama stasiun TV tempat Lesti bekerja dan semua yang terlibat di dalamnya.
Gelombang pengabaian hak-hak penyintas harus segera dihentikan. Jangan lagi semua keputusan ditumpukan pada korban saja. Kita—sebagai masyarakat yang ingin lingkaran kekerasan ini berhenti—harus membantu para korban agar tidak berjuang keluar sendiri. Kita bisa jadi masyarakat yang lebih baik.