Issues Lifestyle

Stop Ageisme, Usia Tua Tak Halangi Kamu Belajar Hal Baru

Masyarakat cenderung menyebut banyak belajar selagi muda. Padahal, tak ada kata terlambat untuk belajar.

Avatar
  • April 28, 2023
  • 7 min read
  • 1958 Views
Stop Ageisme, Usia Tua Tak Halangi Kamu Belajar Hal Baru

Nila (48) memutuskan belajar baking di usia kepala-4. Keinginan itu terdorong ketika teman Nila mengirimkan roti buatannya. Nila pun mengikuti kelas memasak daring, bikin berbagai jenis kue, hingga buka pesanan lewat Instagram. Untuk sementara waktu, baking menggantikan kesibukan Nila sebagai dokter gigi, yang tak bisa praktik karena pandemi beberapa waktu lalu.

Bagi Nila, belajar merupakan hal menyenangkan. Itu membuatnya sadar ada banyak hal yang belum diketahui, menemukan Nila dengan orang-orang baru, dan melibatkan diri dalam komunitas dengan ketertarikan yang sama.

 

 

Karena itu, baking bukan satu-satunya yang ia pelajari. Nila beberapa kali menempuh pendidikan S2 di jurusan Manajemen, Spesialis Kedokteran Gigi Anak, dan Psikologi—yang saat ini sedang dijalani.

“Seneng belajar itu kayaknya karakter dalam diriku. Dari kecil punya rasa ingin tahu yang tinggi, dan orang tuaku memfasilitasinya,” cerita Nila. “Misalnya selalu menjawab pertanyaan-pertanyaanku, dan menyekolahkan SD (Sekolah Dasar) waktu umurku 4,5 tahun.”

Kendati demikian, rekan-rekan Nila sering bertanya-tanya dengan keinginan belajarnya yang tinggi. Mereka lelah melihat Nila yang punya banyak aktivitas. Pasalnya, Nila bisa melayani 16 pasien setiap praktik selama sembilan jam. Ditambah ia masih harus kuliah empat hari seminggu.

“Memang (aktivitas) teman-teman seumuranku enggak ada yang sepadat itu. Pas lihat aku yang lebih lincah, mereka bilang capek duluan,” tutur Nila.

Pandangan itu tak luput dari stereotip di masyarakat, proses belajar hanya berlaku bagi anak-anak dan remaja, bukan dewasa yang memasuki dunia profesional. Mungkin kamu pernah mendengar ucapan, sebaiknya belajar banyak hal selagi muda. Seolah ada batasan waktu, dan terlambat jika melakukannya ketika dewasa.

Hasil penelitian Emily G. Liquin dan Alison Gopnik juga mengesahkan stereotip tersebut. Namun, yang dimaksud keduanya dalam Children are more exploratory and learn more than adults in an approach-avoid task (2022) adalah, anak-anak punya motivasi lebih besar ketika mengeksplorasi suatu hal. Karena itu, anak-anak cenderung belajar lebih baik, terutama di situasi kompleks dan berisiko. 

Dengan kata lain, tentu usia bukan penghenti untuk belajar. Perbedaannya terletak pada motivasi. Sayangnya, anggapan bahwa proses belajar sebaiknya dilakukan di usia belia menciptakan ageisme, atau diskriminasi usia, terhadap golongan tertentu.

Baca Juga: Hubungan Ageism Bagi Perempuan Pekerja dengan Seksisme

Belajar Hanya untuk Usia Muda, Contoh Ageisme di Masyarakat

Kenyataannya, ageisme yang mengakar di masyarakat menjadi prasangka, tentang bagaimana orang yang lebih tua seharusnya berperilaku.  Seperti Nila yang mengalami perlakuan diskriminatif dari instrukturnya, ketika mengikuti kelas memasak.

Sewaktu dilaksanakan hybrid, Nila salah satu peserta yang datang ke lokasi. Menurutnya, sang instruktur cenderung mengatur posisi peserta berdasarkan rentang usia, agar proses memasak lebih cepat dan selesai bersamaan.

“Padahal pengalaman yang menentukan kecepatan dan kemampuan baking,” ujar perempuan domisili Jakarta tersebut.

Serupa diucapkan Nila, setiap orang melalui proses belajar yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kepribadian, latar belakang pendidikan, dan kesejahteraan individu. Termasuk juga tingkat kepercayaan diri dan motivasi belajar.

Namun, ageisme justru berdampak pada orang yang lebih tua lantaran menginternalisasi stigma yang ada. Mereka terhalang untuk terus belajar dan berpartisipasi di masyarakat—yang disebut self-ageism oleh peneliti Emma van Kampen, dkk. dalam Never too old to learn – Third age adults experience little (self-) ageism or barriers to learning (2023).

Seperti dialami financial planner dan komedian Ligwina Hananto. Perempuan yang akrab disapa Wina ini mengaku, pernah menginternalisasi ucapan netizen yang meremehkan kemampuan stand up-nya. Salah satunya belakangan ini, saat mempromosikan tiket stand up comedy show tunggalnya, bertajuk “Ligwina Hananto: Social Justice Wina”. 

“Netizen bilang, ‘Ngapain sih ibu-ibu bikin acara stand up comedy? Memangnya lucu? Perempuan bisa?” ungkapnya.

Padahal, Wina mulai tertarik pada stand up comedy sejak 2003. Saat itu, ia melihat orang-orang takut membicarakan keuangan. Karenanya, Wina menambahkan lelucon ketika mengajar keuangan, dan pernah tampil beberapa kali sebagai komedian di konferensi perempuan.

Baca Juga: Waduh, Kakak Perempuan Saya Sudah Pensiun!

Komentar netizen terhadap Wina merupakan bentuk seksisme dan ageisme berdasarkan gender, yang terjadi pada perempuan. Diskriminasi tersebut bagian dari konstruksi sosial dalam budaya patriarki, mengingat industri stand up comedy masih didominasi laki-laki. Selain lelucon seksis yang disampaikan, sejumlah komika laki-laki juga bersikap misoginis terhadap perempuan di industrinya.

Contohnya Adam Corolla. Ketika diwawancara New York Post, Corolla mengatakan komedian laki-laki lebih terkenal lantaran laki-laki lebih lucu dibandingkan perempuan. Atau Jerry Lewis yang mengaku tidak menyukai komedian perempuan, ketika menghadiri U.S. Comedy Arts Festival pada 1998. Menurutnya, perempuan hanyalah mesin reproduksi.

Tak dimungkiri, ageisme berdasarkan gender berkaitan dengan peran gender di masyarakat—sebagaimana Lewis memandang perempuan. Karena itu, kewajiban perempuan lekat dengan pekerjaan domestik. Bahkan, ketika perempuan pekerja tidak lagi di usia reproduktif, mereka disarankan fokus mengurus rumah tangga. 

Begitu pula dengan perempuan yang menikah dan punya anak. Performanya dianggap tidak seoptimal laki-laki, sehingga memengaruhi proses rekrutmen dan promosi jabatan. Atau dianggap tidak menarik karena usia tak lagi muda.

Padahal secara umum, ageisme berdampak pada kesejahteraan psikologi seseorang. Bahkan itu mengarah pada isu kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Hal ini disampaikan peneliti Hyun Kang dan Hansol Kim dalam Ageism and Psychological Well-Being Among Older Adults: A Systematic Review (2022).

Namun, menurut Kang dan Kim, orang-orang yang bangga dengan kelompok usianya cenderung tidak terpengaruh oleh ageisme. Mereka memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi, optimis akan masa depannya, dan percaya diri dengan tubuhnya.

Sebagai masyarakat, kita memiliki peran untuk mendobrak ageisme yang mengakar. Lalu, apa yang perlu dilakukan?

Upaya Atasi Ageisme

Wina tak memungkiri, komentar netizen sempat menjatuhkannya. Namun, jumlah tiket pertunjukannya yang terjual membuktikan hal lain. Pencapaian mengalahkan kritik terhadap kemampuan stand up comedy Wina.

“Bersyukur dengan kepercayaan yang diberikan orang-orang di sekitarku. Aku juga menerima kalau orang bilang enggak lucu. Boleh, dong mereka bilang begitu?” kata Wina.

Selain komentar netizen, Wina sendiri pernah memandang usia 40 seperti akhir dari berbagai kesempatan. Kemudian, ia belajar menerima bahwa usianya tidak lagi muda seperti orang-orang yang berumur 20 atau 30 tahun—walaupun bertambahnya usia tidak mengubah semangatnya.

“Masuk 40 tahun, aku merasa enggak punya banyak waktu. Jadi terpacu, harus lebih banyak hal yang dilakukan, dan berani mempelajari hal baru,” cerita Wina.

Menginjak usia 40 tahun pada 2017, ia berhasil menyelesaikan Tokyo Marathon. Lalu serius menekuni stand up comedy, yang juga membuka jalan ke industri film—bidang yang jauh berbeda dengan yang ditekuni. Sampai saat ini, Wina telah membintangi sejumlah film, seperti Kulari ke Pantai (2018), Dua Garis Biru (2019), dan Toko Barang Mantan (2020).

Kini ia tengah membangun karier di stand up comedy, dan berupaya membuat pertunjukan skala internasional. Salah satunya menggunakan bahasa Inggris, agar bisa tampil di berbagai negara.

Baca Juga: Hadapi ‘Ageism’, Ini Cara Idola Perempuan Bertahan dalam Industri K-Pop

Sementara sebagai ibu, Wina belajar melepas anaknya yang akan merantau untuk kuliah—sebuah fase berbeda yang belum pernah ia lalui.

Seperti Wina, Nila dikelilingi support system yang mendukung kesenangannya untuk belajar. Salah satunya sang suami, yang memfasilitasi ide-ide dan membebaskan keinginan Nila untuk kuliah. Sementara jika orang lain mempertanyakan, Nila berusaha mengomunikasikan kebutuhan dan perasaannya. Ia meyakini komunikasi adalah salah satu cara menciptakan lingkungan yang tepat untuk berkembang.

“Semua berangkat dari kita, untuk mengatur ekspektasi dan mengakui apa yang dibutuhkan,” ucap Nila. 

Secara general, World Health Organization (WHO) menyarankan mengatasi ageisme lewat kegiatan pendidikan, intervensi antargenerasi, serta kebijakan dan hukum. Ketiga cara tersebut sekaligus untuk meningkatkan empati, menghilangkan kesalahpahaman terhadap kelompok usia yang berbeda, dan mengurangi stereotip dengan memberikan informasi yang akurat.

Sementara untuk mencegah self-ageism, menurut Kampen generasi muda dapat menyediakan program pembelajaran bagi kelompok usia yang lebih tua. Dengan kemampuan belajar, harapannya harga diri dan keyakinan terhadap kemampuan mereka dapat meningkat.

Cara ini juga bermanfaat bagi generasi muda, untuk belajar mengenai pengalaman ageisme. Kampen meyakini, hal ini akan mengubah pandangan tentang penuaan di kalangan orang muda.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *