Bencana Ekologis Sumatera, Mungkinkah Korban Gugat Perusahaan dan Pejabat?
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menyodorkan temuan baru tentang penyebab kerusakan ekologis di kawasan Batang Toru—wilayah penting yang selama ini jadi benteng terakhir orangutan Tapanuli dan berbagai spesies dilindungi lain. Dalam rilis yang diterima Magdalene (28/11), mereka menyebut tujuh perusahaan yang diduga kuat berperan dalam pengrusakan ekosistem di sana.
Perusahaan-perusahaan itu beroperasi di area sensitif yang tak hanya vital bagi keberlangsungan flora dan fauna, tetapi juga bagi masyarakat adat dan warga desa di sekitar hutan. Tujuh perusahaan yang disebut Walhi adalah PT Agincourt Resources (Tambang Emas Martabe), PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), PT Pahae Julu Micro-Hydro Power (PLTMH Pahae Julu), PT SOL Geothermal Indonesia (Geothermal Taput), PTPN III Batang Toru Estate, PT Sago Nauli Plantation, dan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) – Unit PKR di Tapanuli Selatan.
Baca Juga: ‘Tiga Hari Tak Ada Kabar dari Anak Saya’: Kisah Korban Banjir Sumatera
“Ketujuhnya beroperasi di dan sekitar ekosistem Batang Toru, habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, dan spesies dilindungi lainnya,“ ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Riandi Purba (26/11). “Kami mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pemicu kerusakan ekologis.”
Temuan tersebut mencuat di tengah bencana banjir dan longsor yang melanda tiga provinsi besar di Sumatera—Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Bencana ini membuka kembali perdebatan lama soal tata kelola lingkungan yang buruk, lemahnya pengawasan terhadap perusahaan, serta dampaknya bagi keselamatan warga.
Di Aceh, data Posko Komando Bencana Aceh per 1 Desember mencatat 1.419.872 jiwa terdampak. Sebanyak 173 orang meninggal dunia, 443.001 orang mengungsi, dan 204 orang masih hilang.
Di Sumatera Utara, BPBD mencatat 1.669.996 jiwa terdampak, dengan 290 orang meninggal dan 538.792 mengungsi. Sebanyak 154 orang masih hilang per 2 Desember.
Sementara di Sumatera Barat, data BNPB menyebut 141.324 warga terdampak, 193 meninggal dunia, 136.673 mengungsi, dan 119 orang masih hilang (2/12).
Deretan angka ini menggambarkan skala bencana yang bukan hanya ekstrem, tetapi juga sistemik. Sejumlah kajian ekologi menunjukkan. banjir besar kerap merupakan akumulasi dari pengerusakan hutan, alih fungsi lahan, dan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Batang Toru hanya satu dari banyak contoh kawasan rawan yang dibebani proyek besar tanpa mitigasi memadai.
Baca Juga: Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Lingkungan yang Tak Terpisahkan
Peluang Menggugat Perusahaan dan Pejabat
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai bahwa jalur hukum bagi masyarakat yang ingin menuntut keadilan kini semakin terbuka. Ia menyebut bahwa bencana dalam skala besar seperti yang terjadi di Sumatera bukan hanya akibat fenomena alam, tetapi akibat langsung dari kebijakan yang memberi ruang berlebih bagi industri ekstraktif.
“Tentu masyarakat bisa membawa ini ke pengadilan. Pertama bagi perusahaan-perusahan yang merusak lingkungan itu bisa dikenakan pasal berlapis, pidana lingkungan karena dia merusak. Kemudian, juga pidana karena menyebabkan kematian orang,” ujarnya lewat pesan singkat kepada Magdalene (2/12).
Menurutnya, kerugian korban harus dihitung secara menyeluruh: kehilangan nyawa, kerusakan rumah, hilangnya akses ekonomi, dan trauma psikologis. Semua ini dapat menjadi dasar gugatan. “Perusahaan-perusahaan ini harus dibawa ke denda, para korban bisa menuntut perusahaan secara administrasi,” katanya.
Isnur menegaskan bahwa beban tanggung jawab tidak boleh berhenti pada perusahaan. Pemerintah dan pejabat yang menerbitkan izin tanpa pengawasan ketat juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, terutama jika diketahui membiarkan atau mendukung praktik yang berpotensi menimbulkan bencana.
Baca Juga: ‘Update’ Banjir Sumut: Warga Bantu Warga Saat Negara Tak Ada
“Para pejabat ini kan yang memberikan izin, dan penyimpangan kewajiban pengawasan, kalau dia mengetahui, kemudian dia membiarkan, dia mendukung dan diketahui akan menyebabkan bencana, maka dia harus dibawa ke penjara juga, dipidana juga, jadi jangan sampai mereka ini semua lolos,” ucapnya.
Dalam konteks bencana Sumatera, tuntutan ini bukan hanya tentang mencari siapa yang bersalah, tetapi tentang memastikan negara tidak terus berulang dalam siklus yang sama: Pengabaian lingkungan, konsesi yang longgar, dan warga yang selalu menjadi korban terakhir. Pertanyaannya kini bukan hanya apakah penggugatan mungkin dilakukan, tetapi apakah para korban akan mendapatkan keadilan yang selama ini absen.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















