‘Warga Sudah Peringatkan tapi Tak Didengar’: Banjir Sumatera Kini Telan Ratusan Korban
Sebelum rentetan bencana ekologis terjadi di Sumatera Utara, sebetulnya warga sudah memperingatkan pemerintah setempat, (10/11). Mengutip laporan Kompas Medan, masyarakat, mahasiswa, dan sejumlah tokoh adat menggelar protes di Kantor Gubernur Sumatera Utara. Massa aksi menuntut pencabutan izin PT (Perusahaan Terbatas) Toba Pulp Lestari (TPL). Mereka menilai aktivitas industri perusahaan berdampak pada kerusakan hutan dan ruang hidup masyarakat adat.
Baca Juga: Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Lingkungan yang Tak Terpisahkan
TPL beroperasi sebagai bagian dari grup TBS Energy Utama Tbk, dengan nama lama PT Toba Bara Sejahtera Tbk. Struktur kepemilikan perusahaan berhubungan dengan PT Toba Sejahtra, perusahaan milik Luhut Binsar Pandjaitan, yang menjadi pemegang saham mayoritas TBS Energy Utama. Meski Luhut tidak lagi terlibat dalam operasional harian perusahaan, hubungan kepemilikan tersebut tetap menjadi sorotan publik dalam konteks konsesi kehutanan di kawasan Danau Toba.
Dalam laporan Kompas Medan, massa menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap kondisi hutan adat yang semakin menyempit. Di sisi lain, pihak perusahaan menyampaikan operasional mereka mengikuti ketentuan lingkungan dan menyatakan komitmen untuk menaati regulasi yang berlaku.
Dalam aksi tersebut, Partor Waden, Ketua Sekretariat Bersama Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis bilang, Pemprov Sumut belum memberi perlindungan memadai terhadap lingkungan.
Hal senada disampaikan Rokki Pasaribu, pimpinan aksi, dikutip dari Mimbaronline, (10/11). Kata dia, tindakan serampangan pemerintah telah berdampak pada kerusakan hutan dan merugikan masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak. “Perdamaian sejati tidak akan lahir di atas reruntuhan hutan dan air mata rakyat,” ucapnya.
Gubernur Bobby Nasution menanggapi desakan penutupan TPL dengan menyebut sekitar 11.000 tenaga kerja yang menggantungkan hidup pada perusahaan, seperti disampaikan kepada Kompas (12/11). Ia menambahkan pemerintah akan mencari solusi lain dan mengimbau masyarakat tidak menghalangi aktivitas industri.
Baca Juga: ‘Tiga Hari Tak Ada Kabar dari Anak Saya’: Kisah Korban Banjir Sumatera
Ketika Peringatan Menjadi Kenyataan
Beberapa hari setelah aksi, banjir dan longsor besar melanda Sumatera Utara. Arus air menghancurkan rumah, jalan, dan fasilitas publik. Material kayu terbawa banjir hingga ke permukiman, mengindikasikan kondisi hulu yang tidak stabil.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per (1/12) mencatat, total keseluruhan di Sumatera sebanyak 604 orang meninggal, 464 orang hilang, lebih dari 570.000 warga mengungsi, serta sekitar 1,5 juta orang terdampak. Korban luka mencapai 2.600 orang. Di Sumatera Utara, tercatat 283 meninggal, 169 hilang, dan lebih dari 600 luka-luka.
Dalam konferensi pers (29/11), Ronald Silalahi dari Perempuan Pembaharu (Pesada) menilai bencana ini berhubungan erat dengan kondisi kerusakan hutan yang telah lama dilaporkan masyarakat. Ia menyoroti luas konsesi TPL sekitar 150 ribu hektare dan penggunaan tanaman eukaliptus yang mendominasi area produksi. Menurutnya, kayu eukaliptus yang terseret banjir memperlihatkan perubahan tutupan lahan di kawasan hulu.
Baca Juga: ‘Update’ Banjir Sumut: Warga Bantu Warga Saat Negara Tak Ada
“Banjir bandang itu membawa banyak kayu eukaliptus, bukan kayu-kayu hutan yang alami,” ujarnya.
Ronald menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan industri kehutanan dan tata kelola kawasan hulu agar risiko serupa tidak terulang.
















