‘Bercanda Kok Seksis?’: Ketika Ruang Publik Jadi Panggung Rendahkan Perempuan
Lelucon seksis dan seksisme di ruang publik tak lagi bisa dianggap sekadar candaan karena itu bentuk pelecehan seksual.
Miftah Maulana Habiburrohman seperti penyumbang masalah tanpa henti dengan tak habisnya melontarkan lelucon seksis dan tak pantas di publik.
Usai diprotes karena menghina penjual es teh saat yang berjualan saat dia ceramah, pemimpin Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman, Yogyakarta, itu kemudian melontarkan kata-kata seksis dalam pentas wayang bersama seniman senior Yati Pesek. Dalam video yang beredar secara luas, terlihat Miftah dengan mudahnya mengatakan:
“Kulo iku bersyukur Bude Yati elek, milih dadi sinden. Lak ayu dadi lonte…
Kulo iso keracunan, pun expired ini susune (Saya ini bersyukur Bude Yati jelek, memilih jadi sinden. Kalau cantik jadi pelacur…. (Tapi) Saya bisa keracunan, sudah kadaluwarsa susunya)”.
Omongan Miftah yang serampangan tersebut disambut gelak tawa oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Yang lebih menyebalkan lagi, meskipun Yati terlihat jelas menunjukkan wajah tidak suka dan tidak nyaman, Miftah tetap melanjutkan humor seksisnya tanpa rasa bersalah. Saya pribadi tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada diri saya sendiri. Apalagi dalam konteks ramai.
Belum juga keramaian karena candaan itu mereda, muncul lagi Miftah dan penceramah Zidan bin Yahya alias Habib Zidan dalam sebuah acara di Magelang. Ia lagi-lagi melontarkan komentar seksis pada seorang perempuan penanya yang memperkenalkan dirinya dengan nada seperti seorang penyiar. Miftah langsung menyela:
“Suarane enak koyok ngunu, opo maneh desahene” (Suaranya saja enak, apalagi desahannya). Perempuan itu menjawab, “Kulo polos, Gus” (Saya polos, Gus).
Miftah menimpali sambil tertawa keras:
“Cowok itu memang suka dengan cewek yang polos, baik polos dengan
pikirannya maupun polos busananya. Iyaaaaa modyarr”.
Tawa penonton pun meledak.
Baca juga: Anjuran Suswono Janda Kaya Nikahi Pengangguran: Sudah Seksis, Objektifikasi Pula
Humor Seksis = Pelecehan Seksual
Mengapa humor seksis di ruang publik acap kali dinormalisasi? Menurut saya, hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, kepercayaan publik kepada Miftah sebagai tokoh agama yang dianggap panutan. Kedua, kurangnya kepekaan dan kesadaran gender di tengah-tengah masyarakat. Jadi meskipun humor yang dibawa Miftah adalah humor seksis yang melanggengkan stereotip dan objektifikasi tubuh perempuan, penonton menganggap hal tersebut sebagai sesuatu hal yang wajar.
Ketiga, relasi kekuasaan dalam kelompok sosial. Dalam beberapa situasi, humor seksis digunakan untuk memperkuat kekuasaan kelompok mayoritas (biasanya laki-laki) atas kelompok minoritas (perempuan atau gender lain), sehingga hal ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang lebih besar. Keempat, pengaruh media dan representasi populer. Media sering kali memuat humor seksis sebagai bagian dari hiburan, sehingga masyarakat terbiasa melihatnya sebagai sesuatu yang normal. Film, acara TV, dan komedi stand-up sering kali menjadi wadah penyebaran humor yang mengobjektifikasi gender tertentu.
Padahal humor atau kalimat yang diucapkan Miftah berulang kali itu termasuk tindak kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai tindakan seksual yang dilakukan dengan sentuhan fisik atau non-fisik, yang menyasar organ seksual atau seksualitas korban. Hal itu termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, colekan, dan sentuhan di bagian tubuh yang mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
Baca juga: Sakdiyah Ma’ruf dan Bagaimana Melawan Candaan Seksis
Bahaya Seksisme di Ruang Digital
Dalam salah satu artikelnya di Jurnal Perempuan, aktivis dan akademisi feminis Dewi Candraningrum menyebutkan bahwa humor seksis adalah humor-humor yang melihat seseorang secara inferior, mengejek bentuk atau ukuran tubuh dan menjadikannya sebagai objektifikasi perempuan, laki-laki, maupun nonbiner. Bukan hanya bernada seksual, terkadang lelucon seksis dikemas dalam bentuk halus namun tetap bersifat merendahkan orang lain.
Dewi menjelaskan, seseorang yang melakukan seksisme beranggapan bahwa satu jenis kelamin lebih dominan daripada jenis kelamin lainnya. Dalam konteks ini laki-laki lebih dominan daripada perempuan, sesuai dengan budaya masyarakat patriarki. Seksisme hadir dalam beragam wajah seperti prasangka, subordinasi, objektifikasi hingga lelucon vulgar, yang masih kerap ditemui saat ini.
Ruang publik, baik secara fisik maupun digital, sudah seharusnya menjadi tempat di mana setiap individu memiliki kebebasan untuk berekspresi, berinteraksi, dan berpartisipasi secara setara. Media sosial, sudah seharusnya menjadi platform untuk berbagi ide dan memperluas jaringan, bukan malah menjadi tempat di mana perempuan menjadi sasaran pelecehan. Mulai dari komentar merendahkan hingga ancaman kekerasan, banyak perempuan yang harus menghadapi konsekuensi emosional yang berat hanya karena berani menyuarakan pendapat mereka. Dengan tidak melakukan seksisme di media, sesungguhnya kita sedang mengupayakan ruang publik inklusif bagi semua.
Bagi saya, seksisme di ruang publik bukanlah masalah individu, melainkan masalah sistemik yang membutuhkan perhatian kolektif. Dengan menciptakan ruang yang aman dan inklusif, kita tidak hanya memberdayakan perempuan, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Ruang publik adalah milik semua, dan setiap individu berhak untuk merasakan kebebasan dan keamanan di dalamnya.
Baca juga: Sisemok hingga Sipepek, Aroma Seksisme dalam Aplikasi Bikinan Pemerintah
Tips Hadapi Humor Seksis
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan ketika kita melihat ataupun menjadi obyek humor seksis, tanpa menciptakan konflik yang lebih besar dengan orang lain.
Pertama, jangan reaktif. Dengan tenang namun tegas, nyatakan bahwa kita merasa tidak nyaman dengan candaan tersebut.
Kedua, ajukan pertanyaan untuk menggugah kesadaran. Dengan kita memberi pertanyaan seperti “Apa maksud dari lelucon itu?” atau “Apakah menurutmu lelucon itu adil untuk perempuan?”. Saya pikir cara ini dapat membuat pelaku berpikir ulang tanpa merasa diserang.
Ketiga, kita bisa mengingatkan jika memungkinkan, bahwa lelucon seksis bisa menjurus pada pelecehan dan merugikan pihak lain. Kita bisa berbicara secara pribadi dengan orang yang bersangkutan mengenai candaan yang pantas dan tidak pantas.
Keempat, diam adalah pilihan. Kita bisa menghindari percakapan dengan tidak merespons pembicaraan yang merugikan. Diam atau meninggalkan percakapan bisa jadi pilihan yang terbaik. Tunjukkan ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang tegas, yang menandakan bahwa kita tidak suka dengan candaan tersebut.
Dengan bersikap tegas namun tetap bijaksana, kita bisa membantu mengurangi normalisasi seksisme dan mendorong terciptanya lingkungan yang lebih adil dan menghormati semua individu. Maka, penting bagi kita mengupayakan ruang aman untuk menyikapi humor seksis dan mengedukasi orang lain dengan bijaksana.
Uswah Sahal adalah mahasiswa pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga, Surabaya.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari