Issues Politics & Society

Lebih Satu Dekade Ojol di Indonesia, Riwayatmu Kini 

Bekerja belasan jam per hari, upah disunat sana-sini, situasi kerja driver ojol belum sepenuhnya ideal. Siapa bertanggung jawab?

  • April 30, 2025
  • 5 min read
  • 346 Views
Lebih Satu Dekade Ojol di Indonesia, Riwayatmu Kini 

“Itu mah bukan BHR, masuknya sumbangan alias sedekah ke ojol.” 

Begitu kata Riandi kepada Magdalene, driver Grab yang sudah tujuh tahun menjadi ojek online (ojol). Tahun ini, dia cuma menerima Bonus Hari Raya (BHR) sebesar Rp100 ribu. Jelas bukan jumlah yang memadai, apalagi jika dibandingkan dengan janji dan ekspektasi yang sempat beredar.  

Menjadi ojol bukan pilihan utama Riandi. Sejak kena PHK pada 2018, ditambah sulitnya cari kerja di tengah ekonomi yang lesu, menjadi driver ojol adalah opsi paling realistis. Namun menurutnya, sistem pemberian BHR dari aplikator sangat tidak adil. Padahal, bonus ini diberikan setelah pertemuan driver ojol dengan Presiden Prabowo Subianto saat Ramadan lalu. 

Bukan cuma Riandi yang kecewa. Malik, driver ojol lainnya, juga merasakan hal yang sama. Ia menyebut janji BHR Rp1 juta hanya jadi angin surga. 

“Saya mendengar mereka akan terima Rp1 juta setiap pekerja [ojol]. Tapi saya imbau pengusaha swasta kalau bisa ditambahlah ini. Mengimbau kan boleh enggak ada paksaan kan,” kata Prabowo, dikutip dari CNBC Indonesia. 

Realitas yang relatif timpang ini mencerminkan masalah lebih dalam di ekosistem ojol. Sejak muncul di Indonesia pada 2010, bisnis ojol menjelma jadi raksasa ekonomi digital. Laporan e-Conomy SEA 2024 oleh Google mencatat sektor transportasi online, e-commerce, perjalanan, dan kuliner tumbuh 13 persen, dengan nilai transaksi (GMV) mencapai US$90 miliar. 

Namun, di balik pertumbuhan pesat tersebut, nasib jutaan driver justru terjepit. Menurut data Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA), ada sekitar empat juta driver ojol yang bekerja untuk platform seperti Grab, Gojek, Uber, hingga Maxim. Sayangnya, dari setiap transaksi, perusahaan mengambil potongan 25–30 persen—menyisakan penghasilan minim bagi para pengemudi. 

Tak heran, perusahaan ojol pun panen cuan. Grab melaporkan pendapatan sebesar US$2,8 miliar (Rp45,7 triliun) di 2024, naik 19 persen dari tahun sebelumnya. Gojek (melalui GoTo) juga tak kalah besar, dengan pendapatan mencapai Rp15,9 triliun

Baca Juga : Basi-basi THR Ojol: Bukan Solusi, Cuma Basa-basi 

Ojol Dipecut bak Kuda 

Kesejahteraan para driver berbanding terbalik dengan keuntungan perusahaan. Pemberian BHR ditentukan oleh level keaktifan driver dalam aplikasi. Grab, misalnya, membagi mitra ke dalam empat level: Jawara, Ksatria, Pejuang, dan Anggota. Semakin tinggi levelnya, semakin besar bonus yang bisa didapatkan. 

Sebagai informasi, kategori Jawara untuk mitra roda empat berhak mendapatkan bonus antara Rp480 ribu hingga Rp1,6 juta. Ini pun tergantung pada konsistensi performa selama 12 bulan terakhir. Sementara kategori Ksatria dan Pejuang masing-masing mendapatkan Rp100 ribu, dan kategori Anggota memperoleh Rp50 ribu, dengan syarat menyelesaikan minimal 35–45 order di bulan tersebut. 

Adapun untuk mitra roda dua, kategori Jawara menerima bonus antara Rp255 ribu hingga Rp850 ribu, dan kategori Ksatria serta Pejuang mendapatkan Rp100 ribu, sedangkan Anggota memperoleh Rp50 ribu dengan persyaratan jumlah order yang sama. 

Gojek menerapkan sistem serupa, membagi mitra ke dalam lima kategori dari Juara Utama hingga mitra Harapan. Polanya tak jauh berbeda dari Grab. 

Namun, di balik pertumbuhan pesat tersebut, nasib jutaan driver justru terjepit. Menurut data Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA), ada sekitar empat juta driver ojol yang bekerja untuk platform seperti Grab, Gojek, Uber, hingga Maxim. Sayangnya, dari setiap transaksi, perusahaan mengambil potongan 25–30 persen—menyisakan penghasilan minim bagi para pengemudi.

Baca Juga : Driver Ojol, Riwayatmu Kini: Dilecehkan, Rentan Jadi Sasaran Kejahatan 

Polemik Fitur Hemat: Tekanan Tambahan bagi Ojol 

Masalah lain yang dikeluhkan driver adalah fitur Grab Hemat, program berlangganan untuk pelanggan yang ingin tarif lebih murah. Supaya orderan tetap masuk, driver harus ikut program ini juga, tapi potongannya tak main-main: 

– 1–2 trip: potongan Rp3.000   

– 3–4 trip: potongan Rp8.500   

– 5–6 trip: potongan Rp13.600   

– 7–9 trip: potongan Rp18.000   

– 10+ trip: potongan Rp20.000   

Sering kali, driver merasa dipaksa ikut tanpa persetujuan. 

“Tahu-tahu udah gabung program hemat, kayak pemaksaan. Harusnya kan ada persetujuan dulu,” kata Riandi kepada Magdalene. 

Dari sisi pelanggan, fitur ini jelas menguntungkan karena tarif murah. Namun bagi driver, beban makin berat. Malik membagikan pengalamannya, “Saya dari sore sampai malam cuma dapet empat orderan. Udah mah dapetnya ‘hemat’, dipotongnya dua kali lipat.” 

Orderan Rp19 ribu, yang masuk ke saya cuma Rp13.300. Kalau pakai fitur hemat, bisa lebih murah lagi jadi Rp11–16 ribu.” 

Tak sedikit driver yang akhirnya menolak orderan dari pelanggan yang menggunakan fitur hemat. 

Baca Juga : Nasib Ojol Selama Dua Tahun Pandemi: Tarif Ditekan, Pemerintah Membiarkan 

Ojol Bukan Mitra, tapi Pekerja 

Menurut Azas Tigor Nainggolan, analis kebijakan transportasi, kekacauan ini terjadi karena belum adanya regulasi hukum yang tegas. “Aplikator tidak mengakui diri mereka sebagai perusahaan angkutan umum. Bisnis aplikator semacam ini pun belum memiliki regulasi hukum yang jelas di Indonesia,” ujarnya dikutip dari Liputan6.com. 

Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) menyoroti hal yang sama. Lili, Ketua SPAI, mengatakan, potongan 30–50 persen dari pendapatan driver melanggar batas maksimal pemerintah sebesar 20 persen. 

Kini, pemerintah berencana memasukkan driver ojol ke dalam kategori UMKM dalam revisi UU Nomor 20 Tahun 2008. Namun, langkah ini ditolak mentah-mentah oleh SPAI. 

Menurut Lili, hubungan kerja antara platform dan driver sudah memenuhi tiga unsur pekerja tetap: Pekerjaan, upah, dan perintah. 

“Pekerjaan, upah, dan perintah semua ditentukan oleh platform melalui aplikasinya,” jelas Lili kepada Magdalene, (24/4). 

Karena itu, SPAI mendesak pemerintah segera mengakui driver ojol sebagai pekerja tetap sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ini akan menjamin hak-hak dasar mereka seperti UMP, THR, cuti, jam kerja manusiawi, jaminan sosial, dan perlindungan dari suspend sewenang-wenang. 

“Kawan-kawan ojol harus kompak dan berani menuntut hak-haknya. Kemenaker dan Komisi IX DPR sudah sepakat ojol masuk dalam revisi UU Ketenagakerjaan,” pungkas Lili. 



#waveforequality
About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.

Leave a Reply