Aku terbangun pukul delapan pagi, oleh suara-suara di dalam rumah yang berisik: Televisi menyiarkan ibadah Natal di Vatikan. Sodet yang beradu dengan wajan. Cipratan cairan pembersih kaca terdengar membasahi meja ruang tamu. Teriakan ibu memanggil kami—aku dan para sepupu—yang masih goler di kasur.
“Cepat mandi, keburu tamunya datang,” kata ibu.
Meski setengah hati, aku tetap melaksanakan perintah ibu. Sebenarnya, aku enggak sabar menyambut keluarga besar untuk Natal bersama. Momen ini adalah acara keluarga tahunan, selain Lebaran, yang kami rayakan.
Biasanya kami memasang pohon natal dan membuat kue kering, seminggu atau dua minggu sebelum hari raya. Kemudian menyanyikan Malam Kudus di gereja saat Malam Natal. Sementara di Hari Natal, kami menikmati makanan yang berlimpah, sambil bertukar kabar dan foto-foto untuk diunggah di media sosial.
Sayangnya, skenario perayaan Natal di atas—yang kukira akan dilakukan untuk waktu lebih panjang—berhenti tahun lalu, 2023. Pertengahan Desember 2024, bude, kakak dari ibuku, meninggal dunia. Selama satu bulan, kami bolak-balik ke rumah sakit untuk menemaninya, lalu mengurus pemakaman dan ibadat arwah.
Duka membuat perayaan Natal kemarin semakin jauh dari yang “ideal” ala film-film Hallmark: Tak ada kado dan pohon natal, kue jahe yang dipanggang—atau kaastengels dan nastar versi keluarga kami, serta nonton film bersama. Tak ada juga perayaan ulang tahun bude, yang bertepatan dengan Hari Natal. Aku pun mempertanyakan, apa makna dari perayaan Natal, jika orang-orang yang disayang tiada?
Baca Juga: Tak Bisa Rasakan Duka Saat Ditinggal Mati, Normal?
Merayakan Natal Seadanya
Perayaan Natal enggak sepenuhnya hilang di keluargaku. Saat Malam Natal, sebagian dari kami berkumpul dan menyantap ayam kodok sepulang gereja. Begitu pun saat malam pergantian tahun. Kami barbecue daging, menonton televisi, dan video call dengan anggota keluarga yang bekerja di luar negeri.
Di pertemuan-pertemuan itu, kami membicarakan Natal dan tahun baru sebelumnya, dan yang akan bude lakukan jika ia masih bersama kami. Misalnya meminta siap-siap lebih cepat untuk ke gereja, supaya mendapat bangku di dalam gedung karena jumlah umat membludak. Kemudian sesampainya di rumah, bude akan ganti pakaian sebelum menyiapkan makanan. Dan bangun paling pagi untuk misa di gereja, sebelum mengadakan open house pada 25 Desember.
Dari ketiga hal yang bude lakukan, yang paling terasa perbedaannya adalah urusan persiapan ke gereja. Kami enggak lagi pergi ke gereja berbarengan, tetapi menyesuaikan jadwal masing-masing dan bergantian untuk menjaga pakde yang terkena stroke.
Aku teringat dengan penjelasan peneliti dan psikoterapi asal AS, Tomorrow Arnold. Lewat tulisan di Psychology Today, Arnold bilang, melanjutkan tradisi lama bisa mempertahankan keseharian yang normal, di saat harus menghadapi perubahan.
Buatku, itulah yang kami lakukan akhir tahun kemarin, berkumpul untuk merayakan Natal dan tahun baru seperti biasanya. Cara-cara sederhana yang cukup untuk melanjutkan hidup, mengenang anggota keluarga yang meninggal, sekaligus meneruskan tradisi Natal keluarga.
Namun, di saat tertentu, aku justru merasa sangsi—seperti ketika anggota keluarga saling melontarkan lelucon dan cerita tentang bude. Di momen ini, situasi terlihat baik-baik saja, seolah kami gembira dan sedang tidak berduka. Tapi, aku juga merasa kosong dan kehilangan, mengingat bude tak lagi bersama kami. Ditambah penyesalan, karena belakangan tak banyak meluangkan waktu untuk bude saat ia masih sehat.
Aku sempat berpikir, apakah wajar merasakan dua emosi yang berbeda di saat bersamaan?
Dalam psikologi, kondisi itu disebut secondary mixed emotions—atau keadaan saat seseorang merasakan beberapa lapisan emosi. Emosi-emosi itu dibentuk oleh emosi utama yang sedang dirasakan. Lewat studi pada 2014, beberapa peneliti asal Polandia—Anna Braniecka, Ewa Trzebińska, dan Aneta Dowgiert—menuliskan, secondary mixed emotions menggabungkan afek emosi positif dan negatif. Karenanya, manusia bisa merasakan dua perasaan berlawanan secara bersamaan.
Contohnya dalam konteks berduka. Seorang anak yang kehilangan orang tua bernostalgia atas kenangan mereka. Ia senang mengingat momen yang pernah dilalui, sekaligus sedih karena kehilangan selamanya.
Itulah yang kurasakan selama Natal dan tahun baru, secondary mixed emotions karena sedih akibat kehilangan, senang dan bersyukur pernah dibesarkan oleh bude, dan menyesal karena sedikit berkomunikasi selama beberapa tahun terakhir.
Kelihatannya, aku bisa mengidentifikasi emosi. Namun, aku belum menemukan cara berduka, di tengah momen yang seharusnya penuh suka cita.
Baca Juga: Nasib Anak Rantau: Tidak Bisa Pulang Setiap Liburan Meski Punya Rumah
Berduka di Tengah Momen Suka Cita
Dua pekan sejak kepergian bude, aku merasakan kehadirannya di sekitar kami. Dibandingkan supernatural, kurasa ini lebih tepat disebut fase penyangkalan dalam berduka—seperti dipaparkan oleh psikiater asal Swiss, Elisabeth Kübler-Ross, lewat lima tahapan berduka.
Umumnya, seseorang yang berduka akan menyangkal kenyataan bahwa ia kehilangan dan mengaku baik-baik saja. Ada juga yang menghindari hal-hal yang mengingatkan dengan orang yang meninggal, atau bertindak seolah orang yang meninggal masih hidup dan akan kembali.
Beberapa perilaku itu yang secara enggak sadar kulakukan sejak bude berpulang. Kalau berkunjung ke rumahnya dan enggak melihat bude di ruang tamu—tempatnya biasa menonton televisi, berulang kali aku meyakinkan diri bahwa bude sedang di kamar mandi atau berbaring di kamar.
Namun, realitas kembali menghampiri saat berkunjung ke makamnya. Di sana, aku melihat nama bude tertulis di papan nisan. Saat itu, memori-memori bersama bude terlintas di pikiranku: Bude yang membantu mengerjakan tugas sekolah, membiarkanku menyandarkan kepala di pangkuannya jika mengantuk saat misa Minggu pagi, dan yang menandatangani ulangan biologiku kalau harus remedial.
Lagi-lagi, aku diingatkan untuk menghadapi duka di tengah suasana yang idealnya penuh kegembiraan. Selama menulis artikel ini, aku pun belum menemukan jawabannya. Namun, melansir Headspace—perusahaan pelayanan kesehatan mental berbasis di Inggris dan AS—ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk menghadapi duka saat liburan.
Baca Juga: Dampak Kematian Teman Ternyata Tak Lebih Remeh dari Kematian Keluarga
Pertama, tentukan batasan sejauh mana kamu mau berpartisipasi dalam suatu perayaan. Misalnya memilih tradisi apa yang ingin dilakukan dan tidak, karena kegiatan ini akan mengingatkanmu dengan orang yang disayangi. Atau menyediakan waktu untuk diri sendiri dan bersama orang lain.
Kedua, mengakui duka. Setiap orang mengalami kesedihan dan menghadapi duka dengan cara berbeda. Namun, memendam dan tidak membicarakannya justru sama dengan mengisolasi diri. Karena itu, kamu bisa mengungkapkan perasaan pada orang-orang yang dianggap aman dan nyaman untuk bercerita, maupun meminta dukungan mereka. Sementara jika ada di sekitarmu yang berduka, kamu bisa menanyakan kabarnya dan membicarakan kehilangan yang dialami.
Ketiga, menjaga koneksi tubuh dan pikiran. Kalau kamu bisa meluangkan waktu sebentar, Headspace menyarankan untuk melakukan meditasi pemindaian tubuh—atau body scan meditation. Tujuannya supaya kamu bisa mendengarkan diri sendiri dan bisa terhubung dengan tubuh, setelah menenangkan diri.
Dari ketiga tips di atas, setidaknya aku melakukan poin kedua. Aku lebih sering berkabar dengan sepupuku yang bekerja di luar negeri, entah berbagi kesedihan atau membahashal-hal enggak penting. Aku juga menanyakan kondisi ibu serta kedua anak budeku—mengingat mereka yang paling terdampak dari kejadian ini. Dan aku merasa hubungan kami justru lebih dekat, meski ironisnya disebabkan oleh duka.
Ilustrasi oleh Karina Tungari