Environment Issues

Berita Krisis Iklim Perlu Hindari Unsur Kiamat

Banyak berita krisis iklim menggunakan pendekatan kiamat untuk memperlihatkan urgensi, ahli minta media jangan lupa memberitakan harapan.

Avatar
  • July 24, 2023
  • 3 min read
  • 2172 Views
Berita Krisis Iklim Perlu Hindari Unsur Kiamat

Berapa kali kamu baca berita krisis iklim? Berapa kali kamu melihat beritanya dibingkai dengan pendekatan kiamat?

Beberapa pertanyaan ini saya tanyakan ke Ibram, generasi Z, usia 24. Katanya, sehari dia bisa habiskan waktu 3-4 jam menggulung media sosialnya. Mulai dari TikTok, Instagram, dan Twitter. Berita krisis iklim adalah topik yang paling jarang lewat di algoritma ponsel Ibram. Tapi, tiap kali lewat, “Ya, hampir semuanya ada aroma-aroma kiamat sih,” katanya.

 

 

“Misalnya, ‘Bumi Makin Dekat Neraka, Suhu Tahun Ini Pecahkan Rekor Terpanas’, atau kemarin sempat baca juga yang bilang air laut makin tinggi, manusia terancam punah. Dan semacamnya, dan semacamnya,” tambah Ibram.

Baca juga: Hindari Nuansa ‘Kiamat’ dalam Kampanye Perubahan Iklim, Kita Butuh Harapan

Pembingkaian (framing) berita krisis iklim dengan nuansa kiamat ini biasa disebut climate doomism. Artinya, berita-berita itu dianggap menyiratkan manusia telah kalah menghadapi perubahan iklim. Sehingga menyisakan perasaan gelisah dan tak berdaya saat membacanya.

Dalam survei global masif yang tayang pada 2021, sekitar 10 ribu anak dan anak muda (usia 16-25) membagikan perasaan mereka tentang kondisi lingkungan. Hasilnya mencengangkan: dari Brazil sampai Prancis, Nigeria hingga Inggris, setidaknya 84 persen dari mereka merasakan kekhawatiran yang moderat tentang perubahan iklim. Sebanyak 59 persen di antaranya mengaku sangat atau sungguh-sungguh khawatir.

Menurut Robby Irfani Maqoma, Redaktur Lingkungan The Conversation Indonesia, pemberitaan begini memang sering dipakai media-media di Indonesia. Salah satu faktornya, karena cara pandang bad news is good news masih sering dipakai dapur redaksi dalam membingkai berita, termasuk krisis iklim. Sehingga, berita-berita itu diolah dengan nuansa kiamat yang dianggap akan bikin pembaca lebih cepat dan banyak mengklik.

Baca juga: ‘Kiamat’ Energi Fosil di Depan Mata, Energi Terbarukan adalah Kunci

Namun, ia sendiri termasuk yang mengkritik climate doomism dalam pemberitaan. “Di jangka panjang, kalau orang disuplai kisah horor terus menerus, gitu ya. Kisah tentang climate doomism, yang bernuansa doomism itu terus menerus, orang-orang jadi tidak terlalu peka lagi sama isu seperti itu” kata Robby. 

Sependapat dengan Robby, Manajer Digital dan Komunikasi Greenpeace Indonesia bilang, pemberitaan-pemberitaan ini sering melupakan aspek solusi. Sehingga membuat orang-orang yang membaca merasakan efek tak punya harapan.

“Biasanya efek dari membaca atau terpapar berita tersebut adalah kita merasa cemas, kita merasa tidak berdaya, hopeless gitu, suram. Kita perlu menghindari nuansa kiamat pada media, karena itu hanya akan menimbulkan fesimisme dan apatisme di kalangan masyarakat. Atau malah menimbulkan kepanikan,” tambah Afif.

Baca juga: Perempuan Muslim Jadi Agen Perubahan Iklim, Lelaki ‘Ngapain’?

Hasil penelitian Communication 4 Change (C4C), Januari kemarin, menyebut banyak orang Indonesia belum sadar kalau mereka salah memahami perubahan iklim. Sebanyak 88 persen responden mereka (usia 16-60) mengaku pernah mendengar istilah perubahan iklim, tapi hanya 44 persen yang bisa menjelaskan definisinya dengan baik.

“Riset kami yang lain menunjukkan bahwa hanya 26 persen orang Indonesia berusia 18-35 tahun yang pernah dengar istilah “energi terbarukan”. Begitu pesan menyebut faktor struktural, misalnya “batu bara yang digunakan di kebanyakan pembangkit listrik” dan “pabrik dan kendaraan sebagai hasil pembangunan”, responden menjadi merasa tidak berdaya,” kata Paramita Mohamad, CEO dan Principal Consultant C4C.

“Jangan dilupakan dalam setiap pemberitaan bahwa ada solusi, ada jalan keluar untuk krisis ini. Ada upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir dampak krisis iklim ini, sehingga ketika alarm ini dibunyikan oleh media, masyarakat akan bangun dengan sepercik harapan, dengan semangat,” kata Afif.

“Karena mereka tahu apa yang harus dilakukan, dan perubahan apa yang mereka dorong dan mereka desak pada pemerintah untuk mengatasi dampak krisis iklim ini,” tambahnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *