Berjilbab dan Meragukan Eksistensi Tuhan
Apakah saya merendahkan diri saya sebagai perempuan berjilbab jika masih meragukan eksistensi Tuhan?
Ini berawal ketika beberapa waktu yang lalu saya terlibat sedikit perbincangan dengan salah seorang teman. Ia bertanya, “Lu percaya Tuhan itu ada enggak?” Seketika saya menjawab, “Enggak.”
Setelah kejadian tersebut saya jadi canggung dan banyak berpikir, terlebih lagi beban sosial yang saya tanggung sebagai perempuan yang berjilbab. Saya terus berpikir, apakah saya baru saja merendahkan dan mempermalukan diri saya sendiri sebagai “perempuan berjilbab” jika saya masih ragu untuk meyakini eksistensi Tuhan?
Maksud saya begini, jika memang Tuhan benar adanya, di manakah Tuhan? Pertanyaan saya ini mungkin bodoh, namun dalam kenyataannya saya memang masih terus bertanya-tanya.
Dulu semasa SMA saya pernah diberitahu oleh guru agama bahwasanya tidak ada yang bisa melihat Tuhan karena keterbatasan kita. Bahkan Nabi Muhammad SAW sekalipun belum pernah atau mungkin hanya beberapa kali saja bertemu dengan Allah SWT. Seperti yang dikisahkan pada kisah Isra’ Mi’raj, manifestasi keberadaan Tuhan adalah melalui wahyu-wahyu yang disebarkan dan diajarkan oleh Nabi penggiat agama tersebut.
Katanya, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dianugerahi akal dan perasaan. Tapi kenapa Tuhan ciptakan dunia ini dan menaruh sebanyak-banyaknya manusia yang justru malah tidak memperlihatkan hakikat kesempurnaan yang Tuhan sematkan ke manusia? Atau jangan-jangan istilah ‘sempurna’ itu sendiri hanyalah hasil interpretasi manusia ciptaan Tuhan lainnya? Seperti nafsu berkuasa dan dendam yang tiada ujungnya. Penguasaan yang dipaksakan sampai menjadi pelenyapan, dendam yang terbalaskan kemudian melahirkan lagi dendam yang baru. Bencana dan malapetaka yang tak kebagian uluran tangan dan bayi-bayi mungil tak berdosa yang baru sekejap melihat dunia.
Apa tujuan Tuhan memberikan bencana sedahsyat-dahsyatnya kepada manusia untuk menghancurkan segalanya demi sebuah pelajaran yang sepanjang sejarahnya juga tidak pernah dicamkan oleh seluruh manusia? Kenapa hanya sebagian manusia yang (kelihatannya) mendapat cahaya dan bimbingan Tuhan sehingga hidupnya kelihatan begitu damai dan tanpa perkara? Jika jawabannya adalah karena manusia yang hanya sebagian itu terus mendekatkan diri kepada Tuhan, lalu pertanyaan selanjutnya adalah kenapa hanya sebagian saja yang dibikin dekat dengan Tuhan?
Jika katanya Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, mengapa yang nampak Tuhan itu pilih kasih? Bukankah hal yang sudah saya sebutkan juga termasuk kehendak Tuhan? Jika Tuhan memang Yang menguasai ruang dan waktu, kenapa Tuhan begitu kurang kerjaan menguji-uji iman manusia dengan memberi penderitaan tak tertahankan seolah-olah manusia itu memang ingin lahir dan cinta benar dengan dunia fana dan tiada dunia selain fana.
Saya ingin sekali mendapat pembenaran bahwa barangkali saja Tuhan sebetulnya hanya khayalan manusia karena begitu sulitnya Ia hadir dalam kehidupan sehari-hari di atas bumi. Karena memang manusia membutuhkan Tuhan yang membumi yang tidak bertahta nun jauh di langit sembari manggut-manggut geli menyaksikan manusia yang serba kasihan dan terkibuli harapan dengan segala tanda yang menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk menggambarkan-Nya.
Penggambaran manusia yang sangat terbatas tentang Tuhan dengan perbendaharaan kata yang hanya sebegitu saja cenderung membuat manusia seperti saya meragukan adanya Tuhan. Dan manusia-manusia seperti saya yang masih terus berusaha untuk tidak meragukan Tuhan sebetulnya tidak pernah mempunyai bukti nyata tentang ketidakberadaan Tuhan. Yang ada hanya muak kepada orang-orang yang memaksakan keyakinan atas keberadaan Tuhan dengan kemampuan berbahasa yang terbatas, sehingga manusia-manusia lain bukan hanya sekadar percaya kepada Tuhan melainkan juga percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia-manusia yang bodoh.
Dan siapa kiranya di dunia ini yang ingin percaya kepada manusia bodoh? Jika manusia bodoh memberanikan diri memperkenalkan Tuhan, maka manusia-manusia cerdas tidak akan percaya. Namun celakanya, manusia-manusia cerdas akan melihat tanda-tanda keberadaan Tuhan dengan caranya sendiri, yang tidak akan pernah dimengerti manusia-manusia yang bodoh dan begitu bodohnya sehingga tidak pernah tahu betapa dirinya begitu bodoh.
Seperti yang sudah saya bilang di awal, pertanyaan ini adalah bukti nyata sebuah kebodohan, tapi manusia yang paling bodoh pun tidak bisa menghindar untuk tidak berpikir bukan? Saya tidak marah jika kalian katakan pikiran saya adalah pikiran orang bodoh, karena orang bodoh pun juga ciptaan Tuhan.
Julia (jilwlrma) mahasiswi berusia 20 tahun yang sedang menempuh studi di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang dan masih bergelut mengatasi krisis identitas.