Biarkan Mainan Anak Tidak Berkategori Gender
Pelabelan gender pada mainan anak berdampak pada ketimpangan perkembangan kognitif anak dan ketimpangan komposisi gender di dunia kerja.
Saat membantu orang tua menjaga toko, saya sering mendengar pelanggan yang membawa anak mereka berusaha menjaga “peran gender” anak tersebut. Sang ibu (karena mayoritas yang berpikiran seperti itu yang saya temui adalah ibunya) akan berkata kepada anak laki-laki, “Masa pilih mainan masak-masakan”, atau “Itu kan warna perempuan, pilih yang lain lagi saja”.
Jika anaknya perempuan dan memilih untuk membeli bola, mobil-mobilan, atau mainan robot, sang ibu akan berkomentar, “Itu kan mainan anak cowok”. Seolah-olah setiap mainan yang terpajang memiliki gendernya tersendiri. Pelanggan tersebut seakan-akan melihat bahwa memilih mainan yang tidak sesuai dengan gender akan membuat anak terlihat berbeda atau bahkan aneh. Kategorisasi mainan seperti itu seakan-akan menjadi penting untuk karakterisasi anak pelanggan tersebut nantinya, agar anak bisa lebih mengenal peran gendernya.
Setiap kali saya bertemu tipe orang tua seperti itu, biasanya saya diam saja karena jika ikut campur, saya takut mainan yang kami jual tidak akan laku. Tapi akhir-akhir ini, karena saya sendiri merasa terganggu dengan pelabelan seperti itu, saya suka menyeletuk “Itu sama saja. Enggak ada hubungannya dengan perempuan atau laki-laki.”
Pelabelan pada mainan anak masih banyak terjadi di dunia, bukan hanya di Indonesia. Bahkan hal ini didukung dengan film-film yang menggambarkan pelabelan tersebut, seperti bahwa anak laki-laki bermain dengan robot atau mainan binatang, atau perempuan bermain Barbie. Tapi stereotip kuno ini, meskipun masih berlangsung sampai sekarang, sudah mulai berkurang sedikit demi sedikit. Dulu, jika kamu menyukai sesuatu yang lucu dan imut maka itu dianggap seperti “hal yang disukai perempuan”. Seperti jika ada anak laki-laki atau lelaki dewasa yang menyukai betapa lucunya si karakter Puss in Boots, maka dia dianggap mencoreng peran gendernya sendiri dan bukan merupakan laki-laki sejati. Namun sekarang, karakter seperti Puss in Boots atau penguin-penguin lucu dari The Penguin of Madagascar banyak disukai oleh anak perempuan maupun laki-laki.
Di Inggris, ada kampanye Let’s Toys Be Toys yang dimulai pada 2012 dan masih berlangsung sampai sekarang. Kampanye ini bertujuan untuk menyetarakan mainan anak-anak sehingga tidak terjadi pelabelan yang berdasarkan gender dan membuat anak-anak bebas memilih mainannya sendiri tanpa adanya pembatasan gender. Kampanye ini, menurut Kementrian Pendidikan Inggris, adalah untuk mengurangi ketimpangan gender dalam sektor-sektor tertentu, seperti lebih banyaknya laki-laki yang bekerja di sektor sains, penelitian, teknik, dan teknologi, dan banyaknya perempuan yang bekerja di sektor masyarakat dan administratif.
Sayangnya, di Indonesia sendiri belum ada gerakan mainan anak bebas gender seperti di Inggris, sehingga pola pikir berdasarkan gender tersebut masih belum bisa hilang dan membuat makin banyak orang tua yang terperangkap dalam pola pikir dan stereotip kuno ini. Stereotip-stereotip seperti ini berbahaya, karena bukan hanya menyebabkan adanya konstruksi batasan anak dalam bermain, tetapi juga merupakan cikal bakal dalam pola pikir perbedaan perlakuan antargender.
Pada 2016, pemerintah Amerika Serikat mengadakan konferensi bertemakan stereotip gender dalam media dan mainan. Konferensi ini didatangi oleh berbagai kalangan, termasuk mereka yang bekerja dalam media dan juga perusahaan mainan, peneliti, orang tua, ketua dari kelompok organisasi anak muda, dan lainnya. Hasilnya, beberapa perusahaan media dan mainan berkomitmen melakukan usaha untuk menghilangkan ketimpangan gender pada mainan anak-anak. Saluran televisi Netflix merilis serial Project Mc2, tentang empat remaja perempuan yang sangat pintar dan menggunakan kemampuan sains mereka untuk menyelesaikan masalah. The Toy Industry Association, Inc. membuat sebuah konferensi tentang kesetaraan gender dalam mainan, ritel, dan entertainment bernama PlayCon yang diadakan setiap tahun.
Pelabelan gender pada mainan anak ini berdampak bukan hanya pada ketimpangan profesi antara laki-laki dan perempuan nantinya seperti yang telah dinyatakan oleh Badan Pusat Statistik Nasional Inggris (ONS), tetapi juga berdampak pada perkembangan anak itu sendiri. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa kebiasaan pelabelan mainan pada anak bisa berdampak terhadap konsep gender yang anak itu terima. Menurut artikel di The Conversation, konsep gender mulai berkembang pada anak usia tiga sampai lima tahun. Dalam usia tersebut, anak mulai ingin tahu dan mengait-ngaitkan informasi gender yang diterimanya seperti kelompok anak laki-laki usia lima tahun cenderung hanya bermain dengan teman laki-lakinya, begitu pula dengan anak perempuan.
Selain itu, mereka juga cenderung bermain dengan mainan yang menurut mereka cocok untuk jenisnya, seperti perempuan lebih suka memilih boneka Barbie, dan anak laki-laki yang lebih suka mobil-mobilan. Anak usia tiga sampai lima tahun sangat memperhatikan lingkungan sekitar mereka, tidak terkecuali dengan konsep gender yang diterimanya. Bukan hanya dalam hal pemilihan mainan dan teman bermain, konsep gender yang berkembang pada anak-anak juga akan berpengaruh terhadap pemikiran mereka terhadap gender di tahun-tahun selanjutnya.
Penelitian juga membuktikan bahwa mainan sangat berperan penting dalam perkembangan kognitif anak. Anak yang bermain boneka cenderung belajar empati dan cara-cara menjaga seseorang, sementara anak yang bermain dengan ban dan blok-blok kecil cenderung mengembangkan kemampuan mereka dalam hal sains dan otomotif. Sedangkan anak yang suka bermain puzzle dan lego melatih kemampuan mereka dalam keterampilan spasial mereka. Jika mainan-mainan yang berperan penting dalam perkembangan kognitif anak dilabeli gender, maka perkembangan kognitif yang anak terima akan timpang. Anak yang menerima konsep gender dengan mainan yang dilabeli gender cenderung mengembangkan kemampuan kognitif mereka 3:1. Dengan demikian, mainan tidak seharusnya memiliki kategori gender karena mainan adalah salah satu sarana untuk melatih kemampuan kognitif anak, apa pun gendernya.
Rhifa Nadya Ulhaq adalah seseorang yang menyukai sastra, bukan hanya membaca, tetapi juga mencoba menulis karya sastranya sendiri. Karena kesukaannya terhadap sastra, ia berhasil menjadi seorang sarjana humaniora yang menurutnya adalah satu tahap untuk menjadi penulis hebat. Sastra dan humaniora membantunya melihat dunia dalam berbagai sisi.