Gender & Sexuality

Bicara Seksualitas Remaja di Indramayu

Ada ratusan kompleks prostitusi di kabupaten Indramayu, namun anak-anak dan remaja yang tinggal di dalamnya tidak tersentuh pendidikan kesehatan reproduksi.

Avatar
  • July 10, 2017
  • 5 min read
  • 3637 Views
Bicara Seksualitas Remaja di Indramayu

Siang itu di bulan Mei, suhu udara di Indramayu cukup menyengat, mencapai 37 derajat Celsius. Namun, panas terik tak menghalangi sekelompok perempuan di kompleks prostitusi Cilegeng Indah di desa Cilegeh, Kecamatan Kroya, Kabupaten Indramayu, untuk melakukan aktivitasnya. Tampak sekelompok ibu paruh baya bersama-sama mengolah bahan makanan untuk disajikan pada resepsi perkawinan salah seorang warga yang tinggal di tempat itu.

Pada siang hari, suasana kompleks prostitusi ini seperti layaknya pemukiman biasa. Ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari, ibu-ibu yang berkumpul sambil mengobrol hingga pemilik warung yang menjajakan dagangannya.

 

 


Foto: Warga memasak wajik untuk persiapan resepsi pernikahan di Cilegeng Indah, Indramayu.

Cilegeng Indah adalah salah satu dari ratusan kompleks prostitusi yang ada di Kabupaten Indramayu. Nama “Cilegeng” sendiri sebenarnya adalah pelesetan dari “celegeng”, kata dalam bahasa Sunda yang artinya “ereksi”.

Bagi media, memasuki kompleks prostitusi ini tidak mudah. Saya diingatkan oleh pemandu lokal (fixer) agar tidak memperkenalkan diri sebagai jurnalis dan menyembunyikan kartu pers.  Ugem, seorang fixer yang sehari-harinya bekerja sebagai relawan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Indramayu ini mengatakan bahwa jurnalis kemungkinan akan dimintai uang oleh preman setempat.  “Bilang saja dari Jakarta, mereka akan mengerti,” ujarnya.

Menurut Ugem, Cilegeng Indah telah ada sejak 1960-an, dimana praktik prostitusi berlangsung di warung remang-remang. Mulai 1990-an, warung remang-remang itu berubah menjadi pemukiman sekaligus kompleks prostitusi. Pada umumnya, warga mendapatkan pemasukan dari kamar-kamar yang disewakan  untuk praktik prostitusi.

Dari segi kesehatan seksual, sudah ada edukasi mengenai pencegahan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual lainnya untuk para pekerja seks. Namun para petugas kesehatan ini luput merespons fakta bahwa ada anak-anak dan remaja yang tinggal di kompleks prostitusi ini.

“Untuk anak-anak belum bisa dilakukan intervensi khusus apabila keluarganya tak dilibatkan. Kalau keluarganya menginginkan perkembangan yang baik untuk anak-anak, biasanya mereka dititipkan di luar lokalisasi. Tetapi, apabila si keluarga tak punya akses ekonomi atau tak punya saudara di luar kompleks (prostitusi ini), si anak kan terpaksa tinggal di situ,” ujar Ugem.


Foto: Suasana kompleks prostitusi pada siang hari

Salah satunya adalah “Reina”, 15, yang bersekolah di sebuah SMP Negeri di Kecamatan Kroya. Ketika ditemui di rumahnya, ia baru saja selesai membantu ibunya menanak nasi di dapur. Reina mengatakan bahwa ia tidak pernah mendapatkan pendidikan seks di sekolah. Guru Bimbingan dan Konseling di sekolahnya, menurutnya, memang menjelaskan mengenai menstruasi namun tidak pernah merinci sebab-sebab dan proses terjadinya kehamilan.

Sama halnya dengan Reina, “Bondan” juga mengungkapkan ketiadaan pendidikan kesehatan reproduksi. Pelajar kelas 1 SMP Negeri di Kroya ini mengatakan pihak luar sekolah pernah datang untuk memberikan penyuluhan mengenai kesehatan, namun materinya lebih kepada higiene pribadi.

“Mereka bilang supaya kami rajin gosok gigi dan makan makanan bergizi,” ujarnya. Tidak mengherankan saat ditanya mengenai proses dan sebab-sebab kehamilan, remaja berusia 14 tahun itu hanya menggelengkan kepalanya.

Berbeda dengan Reina dan Bondan, “Dina” dan “Bagas” tidak bertempat tinggal di kompleks prostitusi. Dina, 14, berdomisili di Kecamatan Gantar. Ia adalah anak dari seorang pengemudi odong-odong dan ibunya bekerja sebagai perangkai bunga plastik.  Ia pun seringkali membantu sang ibu merangkai bunga untuk kemudian dijual ke penduduk desa.

Pelajar kelas satu sebuah SMP negeri di Kecamatan Gantar itu mengatakan dirinya suatu kali pernah mendapatkan materi kesehatan dari pihak puskesmas namun bukan mengenai kesehatan reproduksi. “Cuma diperiksa gigi dan mata,” ujarnya. Sebagai konsekuensi dari ketiadaan materi kesehatan reproduksi yang terpisah dari mata pelajaran utama di sekolah, ia tak mengerti risiko dan penyebab kehamilan.

Sementara itu, Bagas memiliki pengetahuan “agak” lumayan dibandingkan ketiga remaja sebelumnya. Pelajar kelas tiga sebuah SMP swasta di kecamatan Gantar ini memiliki latar belakang keluarga yang sangat berbeda. Keduanya orangtuanya bekerja sebagai pekerja rumah tangga di kota New York, Amerika Serikat sehingga ia tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu.

Meskipun belum pernah mendapatkan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi , ia menuturkan bahwa dirinya paham soal proses terjadinya kehamilan. Ia pun mengerti mengenai mimpi basah dari penjelasan yang diberikan guru pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Namun, ketika diminta menjelaskan mengapa seorang perempuan bisa hamil ia berkata: “Karena..hmmmah, aku isin (malu), mbak,” ujarnya sambil tersenyum malu.

Reina, Bondan, Dina, dan Bagas adalah contoh dari sekian banyak remaja yang tak mendapatkan materi pendidikan kesehatan reproduksi. Tetapi, dampak lebih parah dapat menimpa anak-anak yang tinggal di kompleks prostitusi seperti Reina dan Bondan.

Ugem mengatakan bahwa proses tumbuh kembang anak anak dan remaja yang tinggal di sana terganggu. “Secara perilaku, mereka seperti orang dewasa. Misalnya, mereka tak mengenal aturan waktu tidur. Mereka bebas menggunakan kendaraan bermotor bahkan sambil ngebut. Dan karena sejak kecil mereka telah menganggap (prostitusi) itu sebagai hal yang biasa, maka, mereka bisa saja mencoba-coba. Dan ketika dewasa, mereka berusaha menjadi bagian dari bisnis keluarga. Ada yang jadi bartender atau preman,” katanya.

Orangtua seharusnya menjadi sumber pertama bagi anak-anak untuk bertanya mengenai pendidikan kesehatan reproduksi. Namun, pada kenyataannya, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja perempuan (60,2 persen) dan laki laki (58,6 persen) membicarakan kesehatan reproduksi dengan teman, bukan orangtua.

Tulisan ini adalah salah satu dari rangkaian tulisan hasil liputan yang didanai oleh beasiswa “Health and Nutrition Journalist Academy” dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Danone Indonesia. Baca juga tentang hak kesehatan reproduksi remaja yang terabaikan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *