Belajar Tanpa Kekerasan: Membongkar Stereotip dalam Buku Anak SD
Teks dan gambar dalam buku sekolah dasar di Indonesia masih mereproduksi stereotip gender, rasisme, dan ketidakadilan ekologi.
Generasi yang tumbuh pada era 80-an dan 90-an pasti masih ingat dengan karakter Ani dan Budi di buku teks sekolah dasar, yang memandu kita belajar membaca dan menulis. Hadirnya dua nama tersebut ternyata bukan tanpa maksud. Budi dan Ani adalah representasi nama Jawa dan simbol bahwa dalam dunia pendidikan saat itu, etnis Jawa menjadi entitas dominan yang dijadikan sebagai ukuran ideal dalam wajah pendidikan di Indonesia.
Hal ini termasuk yang dibahas dalam buku Reproduksi Kekerasan Sejak Belia: Wajah Perempuan-Anak Indonesia dalam Sastra dan Media karya Radius Setiayawan (2024), dosen dan peneliti di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Merupakan hasil riset selama empat tahun sampai 2023, buku ini membongkar wacana gender, ekologi hingga rasisme yang masih menubuh dalam teks-teks dan gambar buku sekolah dasar yang diterbitkan pemerintah.
Buku ini sangat menarik bagi saya yang pernah menjadi guru sekolah dasar dan berkecimpung dengan kurikulum pemerintah. Namun dalam tulisan ini saya hanya akan membahas satu tema dalam buku ini, yakni stereotip dalam kurikulum Pendidikan.
Baca juga: Hutan Kami Berbuah Gedung: Fakta Wacana SMA Unggulan Garuda Prabowo
Kurikulum pendidikan dari masa ke masa dan peran negara
Dalam buku ini, Radius mengulas kurikulum pendidikan di Indonesia dari masa ke masa Pada masa Orde Baru kita mengenal empat kurikulum: Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994. Kurikulum 1968 menggantikan konsep Pancawardhana yang memiliki mata pelajaran yang bersifat korelatif, artinya setiap pelajaran yang diberikan dari jenjang dasar hingga lanjutan memiliki kesinambungan.
Kemudian Kurikulum 1975 menekankan penanaman ideologi Pancasila pada semua jenjang pendidikan, di mana murid harus menghafal butir-butir pengamalan Pancasila. Kurikulum 1984 lebih diarahkan pada pelajaran sejarah dan perjuangan bangsa, dan lagi-lagi siswa diharuskan menghafal kisah-kisah perjuangan pahlawan nasional. Selanjutnya, Kurikulum 1994, yang memadukan Kurikulum 1975 dan 1984 lebih didominasi oleh mata pelajaran eksakta dan mengerdilkan seni.
Fokus kurikulum-kurikulum tersebut sejalan dengan yang ditulis ahli pendidikan H.A.R. Tilaar dan Suratina Dhian Hapsari, bahwa Orde Baru menjadikan pendidikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan dengan memonopoli sistem pendidikan bagi kelompok tertentu.
Jika representasi daerah minim dalam kurikulum pendidikan Orde Baru, kurikulum masa reformasi, khususnya Kurikulum 2012, memunculkan nama-nama yang mewakili berbagai etnis di Indonesia dalam buku teks pelajaran sekolah. Misalnya, Siti dan Udin mewakili Jawa dan Sunda, Beni dari Sumatera, Lina dari Manado, dan Edo mewakili Papua. Namun, meski Kurikulum 2013 menghadirkan multikulturalisme, tidak berarti rasisme hilang dari buku teks sekolah.
Baca juga: Literasi Digital Penting Diterapkan sejak Sekolah Dasar
Ada rasisme dalam teks dan gambar buku SD
Penggambaran sosok Edo dalam buku terbitan pemerintah melanggengkan stereotip terhadap Papua, karena anak itu digambarkan kotor, tidak menjaga kebersihan, malas, dan konotasi negatif lainnya. Contohnya, saat Edo diajak melakukan kerja bakti, ia menolak karena malas dan merasa kegiatan itu melelahkan. Narasi soal Edo ini berulang dalam berbagai teks, menguatkan stereotip tentang orang Papua dan merendahkan mereka.
Selain itu, Edo juga digambarkan tidak nasionalis dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam beberapa materi, dijelaskan bahwa pengetahuan Edo tentang Indonesia, termasuk pemahamannya soal Pancasila, relative rendah. Hal tersebut seperti digambarkan pada narasi berikut:
“Edo harus mencintai negaranya. Edo belum banyak tahu tentang Indonesia. Ia berusaha mengenal Indonesia. Ia banyak membaca buku tentang Indonesia. Ia berwisata ke berbagai tempat. Ia mengunjungi museum. Ia menggunakan barang buatan Indonesia. Edo sangat bangga menjadi orang Indonesia.”
Narasi ini menggambarkan cara pandang negara yang penuh prasangka terhadap masyarakat Papua. Sekolah yang seharusnya menjadi lembaga yang menanamkan pentingnya nilai keberagaman, malah menanamkan rasisme melalui buku pelajaran sekolah yang menjadi konsumsi wajib para siswa.
Menurut saya, bahaya terbesar dari rasisme ini adalah efek domino yang ditimbulkannya. Narasi-narasi rasis yang terus-menerus dapat memicu prasangka di masyarakat, antar kelompok, dan menghalangi terciptanya integrasi sosial. Anak-anak yang tumbuh di tengah narasi negatif ini berpotensi menginternalisasi prasangka yang sama, menciptakan siklus diskriminasi yang sulit diputus.
Baca juga: ‘Mata di Tanah Melus’ dan Upaya Okky Madasari Mendekatkan Isu Masyarakat Adat pada Anak
Menghapus rasisme dalam buku SD langkah menuju pendidikan inklusif
Penting untuk segera melakukan revisi terhadap buku pelajaran yang mengandung unsur rasisme dan stereotip terhadap masyarakat Papua. Buku teks yang digunakan di SD seharusnya mengedepankan perspektif yang lebih adil, menghargai keberagaman, dan mendorong penghormatan terhadap setiap kelompok etnis di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan dengan mengganti gambar-gambar yang merendahkan, serta mengganti teks yang mengandung bias rasial dengan cerita yang lebih mencerminkan realitas kehidupan masyarakat Papua yang sesungguhnya yaitu masyarakat yang dinamis, kaya budaya, dan berperan penting dalam membangun bangsa.
Selain itu, pengajaran tentang Papua harus lebih diutamakan untuk mengedukasi siswa tentang sejarah, budaya, dan potensi luar biasa yang dimiliki oleh Papua. Masyarakat Papua seharusnya dihargai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia, bukan hanya dilihat sebagai “kelompok lain” yang terpisah dari perkembangan negara.
Pemerintah, penulis buku pelajaran, serta para pendidik harus bersama-sama berupaya untuk memastikan bahwa kurikulum pendidikan yang diterapkan di seluruh Indonesia tidak mengandung rasisme atau diskriminasi terhadap kelompok etnis mana pun. Semua anak, tanpa memandang asal-usul atau latar belakang mereka, berhak mendapatkan pendidikan yang membangun kesadaran sosial, empati, dan rasa saling menghormati.
Uswah Sahal adalah mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga.
Ilustrasi oleh Karina Tungari