Gender & Sexuality

Budaya Kencan Gay: Rumit dan Diskriminatif

Aplikasi kencan khusus gay yang seharusnya menjadi "ruang aman", malah bisa menjadi ruang yang semakin membahayakan.

Avatar
  • April 13, 2018
  • 10 min read
  • 13278 Views
Budaya Kencan Gay: Rumit dan Diskriminatif

Kalau kita melihat artikel-artikel mengenai budaya kencan laki-laki gay di aplikasi kencan (yang hampir semuanya berbahasa Inggris), kita pasti akan menjumpai bahasan-bahasan mengenai maskulinitas yang rapuh dan body shaming. Mungkin banyak dari masyarakat Indonesia dan pengguna aplikasi kencan yang belum tahu, apa itu maskulinitas yang rapuh? Apa itu body shaming?

Sederhananya, maskulinitas yang rapuh adalah sebuah kondisi di mana kita membutuhkan syarat-syarat tertentu supaya terlihat maskulin. Dalam konsep maskulinitas yang rapuh, perempuan dan laki-laki feminin alias ngondek, yang berpenampilan dan berperilaku seperti perempuan adalah suatu hal yang rendah, karena mengacu pada paham patriarki yang menganggap perempuan lebih rendah.

 

 

Maka dari itulah, dalam aplikasi kencan banyak yang mencantumkan “no sissy, no ngondek”, karena banyak yang masih secara tidak sadar menganut paham maskulinitas yang rapuh.

Jadi laki-laki itu enak. Jadi laki-laki maskulin itu enak. Jadi laki laki gay yang maskulin itu enak. Jadi laki-laki gay maskulin yang berpacaran dengan laki-laki gay yang juga maskulin itu enak. Menuruti sistem patriarki yang mengakar sangat kuat dan mendominasi budaya masyarakat memang pilihan hidup yang sangat enak. Siapa yang tidak ingin hidup enak? Tidak ada! Sayangnya, banyak di antara kita yang tidak sadar bahwa hidup enak sering kali berarti mendiskriminasi kelompok lain.

Dalam konteks ekspresi gender, menganggap maskulinitas sebagai sesuatu yang superior dan feminitas sebagai yang inferior atau bahkan hina jelas merupakan bentuk diskriminasi.

Efek dari pendiskriminasian ini bisa berbeda beda bagi setiap orang. Kita bisa saja menulis “no ngondek, no sissy” dalam profil aplikasi kencan dan berkata “ya salah sendiri gitu doang tersinggung!” ketika orang yang termasuk ngondek atau sissy “merasa” didiskriminasi, tapi kita tidak akan pernah tahu seberapa besar rasa tersinggung, sakit hati, dan beban mental yang dialami oleh mereka, terutama yang semasa remaja mengalami perundungan akibat ekspresi gender mereka. Trauma masa lalu bisa saja kembali menghantui. Ditambah lagi, aplikasi kencan khusus gay yang seharusnya menjadi “ruang aman”, malah bisa menjadi ruang yang semakin membahayakan. Laki-laki gay yang di dunia nyata merasa tidak diterima akibat orientasi seksual dan ekspresi gendernya yang feminin, makin merasa terasing karena ternyata mereka juga tidak diinginkan di dunia maya.

Sementara itu, body shaming adalah bentuk diskriminasi (atau bisa disebut juga penghinaan) terhadap bentuk tubuh tertentu. Pengguna aplikasi kencan tentu akrab dengan no skinny, atau no fat, atau malah sebaliknya, slim only, atau bigger guys only yang tertulis di profil. Kita juga sering menemukan “muscle only”.

Semua memiliki preferensi masing-masing tentang bentuk tubuh yang menarik. Namun jelas, maskulinitas yang rapuh juga bermain di sini. Untuk menjadi maskulin, maka tubuh kita harus berotot dan besar, karena bentuk tubuh yang seperti itu menandakan bahwa kita kuat, dan menjadi kuat adalah tanda bahwa kita maskulin, sesuatu yang menurut konstruksi sosial harus ada jika kita laki-laki.

Semakin saya menelusuri aplikasi kencan, saya menemukan bahwa “selera” orang ternyata sudah semakin beragam. Sayangnya, keberadaan orang-orang yang masih mencantumkan kriteria tubuh yang TIDAK mereka inginkan tetap membuat banyak pemakai aplikasi kencan terusik.

Beberapa waktu lalu, seseorang bahkan mengirim saya pesan, “Kamu suka sama orang GENDUT?” (ya, dengan menggunakan huruf kapital). Sebuah pertanyaan yang sebenarnya cukup aneh mengingat itu terjadi di sebuah aplikasi kencan yang fokus utamanya adalah laki-laki gay bertubuh besar yang biasa disebut “bear” dan “penggemarnya” (yang juga bertubuh besar tapi bisa juga bertubuh kecil) yang biasa disebut “chaser”.

Saya sendiri bisa memaham. Dulu, di aplikasi kencan lain, saya sering kali menyebut “tapi aku kurus loh, gak papa?” karena saya cukup sering menemukan orang mencantumkan “no skinny” yang membuat saya jadi berasumsi bahwa orang yang tidak mencantumkan itu bisa saja tidak menyukai orang kurus juga.

Hubungan seksual vs. Hubungan jangka panjang

Sejauh ini, kita lebih berfokus pada apa yang ada di luar. Feminin-maskulin dan bentuk tubuh. Sejauh ini, kita lebih berfokus pada apa yang TIDAK kita inginkan ketimbang apa yang SEBENARNYA kita inginkan. “No skinny, no chubby, no ngondek, no sissy” adalah salah satu tanda sederhana bahwa kita berfokus pada apa yang tidak kita inginkan.

Sejauh ini, kita berfokus pada apa yang enak, bukan apakah ada alternatif yang lebih cocok. Kencan dengan berpatokan pada nilai-nilai heteronormatif itu enak. Kencan dengan laki-laki maskulin dan bertubuh ideal itu enak, karena nilai maskulinitas kita jadi (seolah) aman atau bahkan naik. Tentu saja menjadi maskulin itu enak di tengah dunia yang begitu memujanya.

Banyak di antara kita yang tidak benar-benar mempertanyakan, mengapa kita menyukai apa yang kita sukai, dan mengapa kita sangat menutup diri terhadap apa yang tidak kita sukai. Masalah lainnya lagi adalah banyak di antara kita yang hanya menginginkan seks ketika kita “bermain” di aplikasi kencan ketimbang mencoba mengusahakan hubungan jangka panjang.

Saya merasa ini bukanlah suatu hal yang aneh. Saya sendiri adalah orang yang setuju bahwa “menghubungkan badan” itu lebih mudah daripada menghubungkan perasaan. Memulai, melakukan, dan  mengakhiri hubungan seksual itu lebih gampang dibandingkan memulai, melakukan, dan mengakhiri hubungan berpacaran. Saya butuh keduanya, namun dengan kultur kencan yang saya sebut di atas, saya tidak pernah benar-benar menginginkan pacar (walau bukan berarti saya menutup diri).

Ketika kita ingin berpacaran pun, kita tidak benar-benar tahu banyak tentang apa yang benar-benar kita butuhkan dalam berpacaran. Walau sudah pernah berpacaran sebelumnya, banyak di antara kita yang masih belum belajar bahwa yang dibutuhkan dalam berpacaran adalah komunikasi yang efektif,  kerja sama yang baik, kecocokan serta hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan feminin-maskulin dan bentuk tubuh seseorang. Jadi mengapa masih membatasi diri?

Dan jika kita sudah memperlebar batasan diri kita, mengapa kencan dalam kultur gay itu masih sulit? Ini dikarenakan masih ada kendala lain. Banyak orang yang tidak memahami “baby steps”, yang berarti langkah-langkah kecil.

Kita tentu familier dengan pertanyaan “top/bottom?” atau “stay di mana?” atau bahkan “fun?” sebagai pesan pembukaan. Tanpa basa basi, langsung ada ajakan berhubungan seksual. Saya pribadi tidak menentang ini sepanjang waktu. Ada kalanya saya baik-baik saja ketika ditanya demikian, tapi ketika terus menerus mendapat ajak berhubungan seksual, saya bosan. Bosan menolak, bosan mengabaikan, bosan juga menuruti (walau hanya satu dua kali).

Bagi sebagian orang, ajakan seks ini menakutkan. Dan saya sepakat. Awal-awal menggunakan aplikasi kencan, saya pun takut. Bagaimana mungkin orang yang bahkan belum saya tahu namanya, yang juga tidak menanyakan nama saya, bahkan beberapa di antaranya tidak memasang foto diri, sudah langsung mengajak saya berhubungan seksual? Tapi karena ini terus terjadi, lama-lama saya hanya bisa bosan.
 

Maskulinitas rapuh dan ‘body shaming’ masih mewarnai budaya kencan kelompok gay, dengan preferensi terhadap pria-pria maskulin masih mendominasi.

Ketika ada yang berniat ingin menjadi teman mengobrol dulu, beberapa dari mereka juga mengucapkan hal-hal yang, menurut saya pribadi, kurang wajar untuk seukuran baru kenal dan bahkan belum bertemu tatap muka. Saya beberapa kali mendapat ucapan “selamat berhari libur” atau “selamat makan” atau “semangat bekerja” atau “jangan terlalu capek ya”. Saya tahu bahwa semuanya adalah hal-hal yang positif, tapi saya merasakan ketidaknyamanan saat mendapatkan ucapan seperti itu dari orang yang bahkan belum pernah satu kali pun bertatap muka dengan saya.

Beberapa kali saya terkesan diharuskan untuk menjawab pesan singkat dari orang yang saya kenal lewat aplikasi kencan. Beberapa akan marah ketika saya tidak membalas. Saya bisa saja jujur berkata “kayaknya kita enggak usah komunikasi lagi aja deh. Aku merasa kita enggak klik”. Tapi saya yakin orang-orang yang saya kencani akan tersinggung, seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Saya beberapa kali merasa bahwa orang-orang yang saya kencani tidak menyadari bahwa pendekatan via daring itu tidak harus selalu berhasil bahkan bisa gagal dalam percobaan pertama. Bahwa penolakan dengan alasan tidak ada waktu bisa saja benar demikian adanya dan bukan berarti tidak mau di waktu lain. Bahwa membalas pesan bukanlah suatu kewajiban, bahwa berhenti menghubungi lagi adalah hak, bahwa kita bisa berkomunikasi pelan-pelan.

Orang-orang yang saya temui di dunia maya tidak melakukan pendekatan pelan-pelan seperti menanyakan hal-hal sederhana soal pekerjaan atau hobi, atau berbincang seputar hal-hal favorit. Atau jika ingin lebih pasti, bertemu di dunia nyata setelah ada kenyamanan chatting beberapa hari bisa jadi hal yang lebih menyenangkan.

Namun dengan maraknya ajakan seks tiba-tiba, serta adanya diskriminasi gender dan body shaming, saya merasa pesimis. Bahkan ketika kita menginginkan kencan dan hubungan serius, kita bisa menjadi terlalu bersemangat, terlalu menggebu-gebu, dan jadi sulit untuk melangkah pelan-pelan ketika kita bertemu dengan orang yang menurut kita menarik, tidak seksis dan melakukan body shaming, dan komunikasinya bagus. Keberadaan orang baik dan enak diajak mengobrol yang (sangat) jarang bisa membuat kita salah langkah dan tidak sabaran.

Masih sangat banyak gay di Indonesia yang menutup diri, belum melela, dan kebencian terhadap kelompok gay terlihat meningkat, sehingga kencan langsung di dunia nyata tidaklah mudah. Tidak mudah bagi sesama gay, juga kelompok minoritas seksual lainnya, untuk mendapat teman kencan di dunia nyata. Kita tidak bisa sembarangan menyapa sesama laki-laki di kelab (kecuali kelab gay) atau di pusat kebugaran, atau kedai kopi, karena bisa jadi laki-laki itu bukan seorang homoseksual dan lalu malah menjadi jijik atau malah marah. Terlepas dari seberapa sopannya kita, dan dari fakta bahwa orang yang kita sapa punya pilihan untuk menolak dengan sopan, tetap akan ada konfrontasi.

Meminta teman untuk mengenalkan kita pada temannya pun sama tidak mudahnya. Tidak banyak teman-teman kita yang punya kenalan gay. Maka bagi gay kebanyakan, aplikasi kencan menjadi pilihan praktis. Sayangnya, sesuatu yang praktis ini juga malah memiliki kerumitan.

Lalu bagaimana dengan kita-kita yang punya sekumpulan teman yang juga sama sama gay? Tidak bisakah kita mencoba berkencan? Saya tidak memiliki pengalaman soal ini. Saya juga tidak tahu mengapa teman-teman saya tidak melakukannya. Apakah sesederhana karena tidak ada ketertarikan? Tapi mengapa tidak dicoba dulu? Saya jujur tidak tahu. Mungkin karena adanya ketakutan akan adanya “perpecahan dalam kelompok” jika di kemudian hari sepasang kekasih ini memutuskan berpisah.

Preferensi vs. Bentukan

Kembali ke soal maskulinitas, orang mungkin akan beralasan bahwa kita memilih yang maskulin dan bertubuh “ideal” itu perkara selera dan preferensi. Namun dari pengalaman dan proses pencarian saya, selera dan preferensi itu bentukan dari sejak zaman dulu dan tidak terasa problematik karena kita sudah terlalu nyaman dan terbiasa. Nyaman dan terbiasa hidup di dunia patriarki yang mengagungkan pria dengan bentuk tubuh berotot. Tentu saya tidak bermaksud menyatakan bahwa pria maskulin dan berotot sebaiknya dimusuhi dan tidak usah dilirik. Kita bisa saja bersama yang maskulin, namun bukan berarti hal itulah alasan utama kita memilih pasangan atau teman kencan kita.

Silakan lirik pria maskulin, ganteng, berotot, namun jangan lupa, bahwa pria yang feminin, bertubuh gemuk atau bertubuh terlalu kurus tidak lebih rendah nilainya dibanding mereka (dan tidak pula lebih tinggi), serta bukan penentu keberhasilan kencan dan hubungan berpacaran.

Preferensi itu akan menjadi batasan, dan manusia adalah makhluk terbatas. Tapi sebisa mungkin, cobalah untuk melihat lebih dekat dan perluas batasan itu. Tidak sulit untuk memperluas batasan. Kita tidak perlu tahu secara teoretis apa itu ekspresi gender, apa itu feminin-maskulin, apa itu body shaming. Kita cukup menerima orang apa adanya. Kita cukup berhenti mengucapkan hal-hal yang tidak baik. Barangkali dengan begitu cinta jadi lebih mudah masuk.

Karena kalau pun kita sudah selesai dengan hal-hal di atas, kita tetap akan berhadapan pada satu hal yang sulit dijelaskan secara logis tapi ada: chemistry. Dan dia sangat merepotkan. Saat chemistry ada dan kita dengan teman kencan kita sama-sama jatuh cinta pun, kita masih akan berhadapan dengan pertanyaan “apakah sebaiknya saya dan dia berpacaran?” Karena bagaimana pun, berpacaran adalah suatu keputusan yang tidak bisa hanya mengandalkan perasaan (cinta, dalam hal ini). Setelah berpacaran pun kita masih harus berusaha untuk mempertahankan.

Budaya kencan di jaman sekarang ini tidaklah “sederhana”, bukan hanya bagi kelompok homoseksual saja, tapi juga bagi heteroseksual. Kencan itu rumit, membosankan, menakutkan. Tapi hidup adalah sebuah perjudian. Kencan adalah perjudian. Kita bisa saja menghindar dari kekalahan dan kehilangan dengan berhenti mencoba, tapi kita juga tidak akan pernah tahu betapa menyenangkannya memenangkan perjudian ini. Kalaupun kita sudah tahu rasanya menang, dan kehilangan hadiah, dengan mencoba, kita masih akan mungkin mendapatkan hadiah yang lebih baik. Karena semakin kita mencoba, semakin baik kemampuan kita.



#waveforequality


Avatar
About Author

Budi Winawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *