December 5, 2025
Lifestyle Opini

Ketika Kerja Keras Jadi Dalih Eksploitasi: Salah Siapa?

“Kerja adalah ibadah,” katanya. Tapi apakah ibadah memang harus menyakitkan dan tanpa upah yang layak?

  • October 3, 2025
  • 4 min read
  • 1217 Views
Ketika Kerja Keras Jadi Dalih Eksploitasi: Salah Siapa?

Pagi itu, lini masa saya menampilkan lowongan kerja yang cukup menarik—bukan dari LSM, melainkan dari Fraksi Partai Demokrat. Posisi yang dicari adalah Event Specialist/Project Manager.

Daftar syaratnya panjang: minimal S1 (kalau bisa S2), pengalaman 3–5 tahun, multitasking, tahan tekanan, siap kerja akhir pekan. Intinya, sih, manusia super yang bisa jadi EO, MC cadangan, vendor hunter, sekaligus akuntan. Tapi dari semua informasi itu, satu hal krusial justru absen, yakni gaji.

Saya menulis di LinkedIn dan menyebut lowongan ini sebagai bentuk perbudakan modern. Tapi bukannya diskusi soal hak pekerja yang muncul. Yang ramai justru komentar seperti:

“Kalau kerja dianggap ibadah, mana ada eksploitasi?”

“Kalau enggak kuat, jangan ikut main.”

“Mau sukses? Ya harus kerja keras dong!”

Komentar-komentar itu sekilas terdengar bijak dan tidak berbahaya. Tapi logika di baliknya rapuh. Menyamakan kerja rodi dengan ibadah seperti mengatakan kalau kelaparan itu baik-baik saja karena bisa dianggap puasa. Anehnya, komentar paling defensif hampir semuanya datang dari laki-laki Gen X ke atas. Kebetulan? Sepertinya tidak.

Ada pola lama yang terus berulang, bagaimana penderitaan pribadi dijadikan standar moral bersama. Kalau dulu mereka sanggup kerja 12 jam sehari tanpa protes, maka generasi setelahnya dianggap harus begitu juga. Kalau menolak? Langsung dicap manja, pemalas, atau terlalu banyak gaya.

Padahal, kondisi kerja saat ini jauh dari ideal. Data Kompas (2024) mencatat 59,4 persen pekerja Indonesia masih berada di sektor informal—tanpa kontrak, jaminan sosial, atau upah layak.

Baca juga: #GenerasiCemaZ: ‘Full Time’ Susah Dicari, Magang Dieksploitasi, ini Kisah ‘Fresh Graduate’ di Jakarta

Kerja keras di tengah sistem yang tak adil

Menurut Badan Pusat Stasistik (BPS) 2024, rata-rata jam kerja di Indonesia mencapai 43 jam per minggu, lebih tinggi dari batas maksimal 40 jam/minggu yang dianjurkan Organisasi Buruh Sedunia (ILO), maupun yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Sementara itu, laporan ILO (2023) menegaskan bahwa jam kerja berlebihan berdampak negatif terhadap produktivitas dan kesehatan mental.

Bagaimana dengan gaji? Survei Celios (2025) menyebut 84 persen pekerja Indonesia bergaji di bawah Rp5 juta per bulan, sementara inflasi terus merangkak naik. Riset Jobstreet 2023 bahkan menunjukkan 95,7 persen industri tidak menaikkan gaji pekerjanya tahun lalu.

Lowongan dari Partai Demokrat tadi hanyalah puncak gunung es budaya kerja kita, bagaimana kerja keras diglorifikasi, sementara upah dan perlindungan datang belakangan. Itu juga kalau datang.

Nilai-nilai patriarkal berperan besar dalam pembentukan budaya ini. Khususnya bagi laki-laki generasi sebelumnya, jam kerja panjang dijadikan tolak ukur daya tahan dan pembuktian diri. Kritik terhadap budaya kerja semacam ini dianggap kelemahan karakter.

Masalahnya, jam kerja panjang tak berdampak sama bagi semua orang. Bagi perempuan dan kelompok minoritas, ekspektasi ini bisa berarti kehilangan kesempatan, waktu pengasuhan, bahkan hak dasar. Tak heran banyak lowongan masih menyaratkan kandidat “diutamakan laki-laki”. Hukum ketenagakerjaan ada, tapi implementasinya lemah. Bahkan institusi politik yang seharusnya memberi contoh malah ikut menormalisasi ekses ini.

Baca juga: Dari Soeharto ke Prabowo, Tuntutan Perempuan Buruh Masih Sama: Apa Artinya?

“Kuat” bukan jawaban untuk sistem yang gagal

Setelah saya mengunggah kritik soal lowongan tersebut, muncul satu komentar panjang dalam bahasa Inggris. Isinya, dengan gaya sok bijak, pada dasarnya menyalahkan individu:

“…Kamu bebas memilih pekerjaan, jalan hidup, atau pilihan lain tanpa ada yang memaksa, tapi tanggung jawab penuh tetap ada padamu… Karena dunia selalu berubah, kamu harus beradaptasi kalau tidak mau tertinggal…”

Komentar itu ditulis oleh… tentu saja, seorang laki-laki. Hampir semua poinnya diambil dari kutipan-kutipan motivasi dunia korporat yang yang biasanya dijejalkan ke kepala pekerja pemasaran agar “tahan banting”.

Saya sempat geram. Tapi kemudian saya bedah poin-poinnya satu per satu, dan menunjukkan: dunia kerja tidak sesederhana pilihan individu. Ketika struktur sosial-ekonomi tidak adil, “pilihan” yang tersedia sering kali semu. Tanggung jawab pribadi memang penting, tapi tak bisa dilepaskan dari konteks struktural yang membatasi ruang gerak seseorang. Dengan kata lain, yang perlu berubah bukan semangat individu, tapi sistem yang mengeksploitasi.

Menyampaikan kritik di LinkedIn bukan rodeo pertama saya di media sosial. Saya tahu, menyuarakan kritik seperti ini akan mengundang resistensi. Tapi kritik bukan berarti malas, bukan juga anti kerja keras. Kritik adalah bentuk kepedulian terhadap sistem yang membuat kerja keras menjadi alat eksploitasi, bukan penghargaan.

Baca juga: Bukan Tanda Perempuan Malas, Ada ‘Rest’ dalam ‘Resistance’

Saya hanya berharap kita terus berani bertanya. Apakah moral kerja harus dibayar dengan kesehatan yang rusak, waktu keluarga yang hilang, dan hak yang diabaikan? Kenapa setiap kritik buru-buru dibaca sebagai serangan terhadap mereka yang sudah “berhasil,” padahal yang disorot adalah sistem yang merugikan banyak orang?

Kerja keras seharusnya dilihat dalam konteks yang adil—bukan dijadikan pembenaran bagi sistem yang menindas. Eksploitasi kerja bukan sekadar masalah individu, melainkan persoalan struktural. Mengkritiknya bukan berarti malas atau anti kerja keras, melainkan penolakan terhadap kerja keras versi sistem yang rakus dan tak adil.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Poppy R. Dihardjo

Poppy R. Dihardjo atau biasa dipanggil Kapop adalah orangtua tunggal, praktisi komunikasi dan lawyer in progress yang suka sambat di medsos seputar isu perempuan.