Buka Puasa Bersama di Gereja Katedral Kuatkan Toleransi, Solidaritas
Sejumlah komunitas sosial keagamaan berkumpul untuk mengobati luka akibat aksi teror.
“Indonesia Raya” berkumandang di aula Gereja Katedral, Jakarta Pusat, pekan lalu. Bukan hanya umat Katolik, perempuan berjilbab, laki-laki berkopiah, maupun mereka yang tidak mengenakan atribut keagamaan, juga hadir di sana, berdampingan menyanyikan lagu kebangsaan dengan khidmat.
Sore itu, Komunitas Kerja Bakti Demi Negeri bersama Gereja Katedral mengadakan buka puasa bersama dengan tema “Kuatkan Toleransi, Persaudaraan, dan Solidaritas Kemanusiaan.” Penyelenggaraan acara tersebut berangkat dari rasa prihatin atas aksi teror di Surabaya serta kekhawatiran atas kebencian satu kelompok dengan kelompok lain.
“Semua berangkat dari pembicaraan, ‘Kok, sekarang kebencian begitu kuat di Indonesia’, ‘Kok semangatnya bukan lagi untuk bersatu, tetapi semangat saling menyalahkan kelompok lain’. Kemudian muncul percikan pemikiran dan komentar melakukan kebaikan dan berkumpul. Sebatas itu. Saling berbagi dan bersambung rasa,” ujar Alissa Wahid, aktivis sosial keagamaan dan perwakilan dari Komunitas Kerja Bakti Demi Negeri.
Pemilihan tempat di Gereja Katedral juga berangkat dari luka akibat aksi teror di Surabaya. Alissa mengatakan, luka hati akibat pengeboman tiga gereja di Surabaya bagaikan paku yang ditancapkan di papan. Paku bisa dicabut tetapi masih meninggalkan lubang, sehingga walaupun pelaku sudah ditangkap tetapi luka tetap berbekas, ujarnya.
“Karena itu kami ingin di acara ini kita sekalian mengobati luka-luka itu. Sedikit saja mengobati dan memberikan tetesan yang memperkuat semangat persaudaraan ini lagi,” tambah putri almarhum Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid itu.
Romo Hani Rudi Hartoko dari Gereja Katedral mengungkapkan kebahagiaannya atas adanya niat untuk meneguhkan persaudaraan yang terguncang akibat terorisme. “Kami ingin tunjukkan solidaritas. Jangan sampai kita terpecah belah dan jangan saling curiga. Mari membangun solidaritas kemanusiaan dan silaturahmi,” ujarnya.
Komunitas Kerja Bakti Demi Negeri kemudian mengajak berbagai komunitas lain, seperti Pustaka Bergerak, Gusdurian, dan Lembaga Tatarsunda untuk melancarkan acara ini. Alissa mengatakan tidak ada partisipasi dari organisasi besar maupun tokoh terkenal, karena buka puasa bersama sebagai gerakan rakyat ini tidak ingin disekat oleh agama atau kelompok.
“Kita ingin menunjukkan tidak perlu tokoh, organisasi besar, uang banyak, dan fasilitas mewah. Yang dibutuhkan adalah semangat, kecintaan, dan keinginan untuk menjadi manusia-manusia yang adil. Dorongan agar Indonesia tetap beradab. Yang diperlukan hanya peluang membuka dialog untuk bermusyawarah dan mencari kearifan bersama. Yang dibutuhkan hanya semangat untuk menjaga persatuan Indonesia supaya bangsa menjadi adil dan tidak mengalami ketimpangan yang tinggi seperti sekarang,” jelasnya.
Menghidupkan semangat Pancasila
Penyelenggaraan pada 1 Juni, yang bertepatan dengan Hari Pancasila, dianggap sebagai ketidaksengajaan yang sangat monumental. Alissa menyebutkannya sebagai kuasa Tuhan yang ingin melihat Indonesia menghidupkan nilai Pancasila bukan dalam acara atau proyek yang disengaja, tapi diadakan demi kebaikan.
“Kita berkumpul di tempat yang punya jejak sejarah bangsa Indonesia dan jelas ini bukti Pancasila hidup di masyarakat Indonesia. Pancasila hadir di hati orang-orang yang mau. Tetapi sekarang kita harus memenangkan pertarungan antara orang-orang yang menginginkan dominasi kelompok dibanding persaudaraan antar sesama bangsa Indonesia,” ujarnya.
Romo Hani mengajak hadirin untuk menggunakan momentum ini sebagai semangat untuk memperkuat persaudaraan, toleransi, dan solidaritas kemanusiaan.
“Tahun ini bersama-sama kita amalkan sila ketiga (Pancasila). Kita bineka, kita Indonesia. Kita semakin ingin menjaga kebinekaan di antara kita, dan hanya dengan cara itu kita menjadi Indonesia. Kalau satu warna satu suara bukan Indonesia, tapi Indonesia itu beragam. Bineka. Kita menjadi Indonesia sejati dan kita ingin semangat saling menghargai ada karena Bhinneka Tunggal Ika dan kita bisa maju sebagai bangsa,” ujarnya.
Abdul Qodir, anggota dewan pengasuh Pesantren Al-Hidayah Darussalam di Bangkalan, Jawa Timur, mengatakan bahwa kehidupan bersifat universal dan fleksibel, sehingga Pancasila harus diamalkan tujuannya yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Umat manusia harus saling menolong, menghargai, dan saling memberi kasih sayang.
“Sebagai umat manusia hubungan sama Tuhan dan manusia harus baik semuanya. Tidak boleh pandang ras dan warna kulit karena semua ciptaan Tuhan. Kasih sayang kepada alam dan seluruh isinya. Apa pun kita hormati. Kita cintai semua sesama makhluk Allah. Saling menghargai dan toleransi,” ujarnya.
Suster Patrisia dari Kongregasi Penyelenggara Ilahi mengatakan ia selalu merasa tergerak dan senang jika acara berbasis persaudaraan diselenggarakan. Acara ini penting untuk menggalang rasa kebersamaan dan menghapuskan kesalahan persepsi, ujarnya.
“Selama ini sudah ada luka dan persepsi keliru. Kalau seperti ini (buka bersama) kebersamaan yang nyaman sangat baik. Lebih baik lagi jika dimulai dari anak-anak yang diberi pengertian, sehingga melahirkan kerinduan kebersamaan dalam diri seseorang. Juga jika dekat dengan penganut agama lain bisa tetap nyaman dan bersatu. Saling menghargai walau berbeda. Bisa menerima perbedaan. Itu yang penting,” katanya.
Sambil menunggu waktu untuk melanjutkan salat tarawih di Masjid Istiqlal yang juga menandakan acara telah usai, tamu undangan saling bercengkerama dan berbaur tanpa ada perbedaan usia, agama, dan ras. Di tengah riuh suara candaan maupun diskusi serius, paduan suara Gereja Katedral menyanyikan “Garuda Pancasila”, seolah menggarisbawahi bahwa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika.
Baca mengenai santri dan tokoh agama di Garut yang menolak pernikahan anak.
Tabayyun Pasinringi adalah reporter magang Magdalene, mahasiswa jurnalistik yang gemar mendengarkan musik dream pop dan menghabiskan waktunya dengan mengerjakan kuis Buzzfeed.