December 5, 2025
Issues Politics & Society

Ketika Anak Diracun Negara, Bisakah Orang Tua Menggugat?

Kasus keracunan massal oleh program Makan Bergizi Gratis menunjukkan negara gagal melindungi hak anak. Begini tutorial lengkap orang tua yang hendak menggugat negara.

  • October 12, 2025
  • 7 min read
  • 1089 Views
Ketika Anak Diracun Negara, Bisakah Orang Tua Menggugat?

Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat, kasus keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai sekolah mencapai hampir 7.000 kasus. Teranyar, kasus keracunan terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat pada (24/9) dan menyebabkan hampir 1.000 siswa keracunan. 

Ironisnya, beberapa hari sebelum kejadian itu (22/9) sebanyak 411 siswa keracunan sajian MBG di Kecamatan Cipongkor, Bandung Barat. 

Melansir CNN Indonesia, Tim Investigasi Independen BGN menyimpulkan penyebab keracunan massal di Bandung Barat berasal dari kadar nitrit yang sangat tinggi pada makanan. Nitrit ditemukan pada sampel buah melon dan lotek yang dikonsumsi siswa. Kadar yang terdeteksi mencapai 3,91 dan 3,54 mg/L. Angka ini jauh melampaui standar Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), yang membatasi nitrit maksimum hanya 1 mg/L. 

Merespons kejadian keracunan ini, ratusan perempuan di Yogyakarta turun ke jalan menuntut MBG dihentikan (26/9). Lewat “Kenduri Suara Ibu Indonesia” mereka menyuarakan protes dengan memukul panci di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. 

Desakan menuntut penghentian MBG semakin kencang. Pada (1/10), Koalisi Gerak Warga Tolak MBG berdemonstrasi di depan Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat. Tuntutan mereka sama, meminta pemerintah menghentikan program MBG yang sentralistik, militeristik, dan penuh masalah. Mereka juga menuntut pertanggungjawaban Presiden, BGN, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), dan penyelenggara dapur atas ribuan kasus keracunan anak. 

Turunnya ratusan perempuan ke jalan menandakan kalau program MBG sudah gawat. Menurut Muhamad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), setidaknya ada sejumlah Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilanggar oleh program ini. 

Isnur menambahkan, jika tindakan sampai menimbulkan keracunan, maka bisa masuk ke ranah pidana. “Jadi semua mekanisme hukum bisa dipakai. Tergantung mau apa yang ditargetkan.” 

Baca juga: Strategi Orang Tua Lindungi Anak dari Risiko Keracunan MBG

Hak yang Dilanggar oleh MBG 

Pemerintah kerap melantamkan program yang bernilai ratusan triliun ini dapat mengatasi masalah gizi buruk.  

“Setiap hari adalah kesempatan luar biasa bagi anak-anak untuk belajar. Dengan program MBG, anak-anak tidak hanya mendapatkan gizi yang baik, tetapi juga belajar menghitung dan mengenal Bahasa Inggris melalui jenis-jenis makanan,” ujar Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Stella Christie. Pernyataan itu disampaikan pada (20/8), saat kunjungan ke stan Badan Gizi Nasional di Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Namun, pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan hari ini. Alih-alih meningkatkan gizi, ribuan kasus keracunan justru terjadi. Presiden Prabowo Subianto mengeklaim angka keracunan hanya 0,00017 persen dari total penerima manfaat. 

Muhamad Isnur menyayangkan pernyataan Prabowo tersebut. Menurutnya, perlu ada kesadaran dari Pemerintah untuk mengakui kesalahannya. 

Bagi saya sekarang yang pertama kali adalah kesadaran dan kemauan pemerintah mengakui kesalahannya. Jangan alih-alih menyebut bahwa ini adalah 0,00017 persen,” imbuh Isnur kepada Magdalene (8/10). 

Isnur mengidentifikasi setidaknya terdapat tiga hak yang dilanggar dari program MBG. Pertama, hak atas kesehatan, yakni siswa sebagai warga negara berhak menjalani kehidupan yang sehat. Namun, mereka justru diracun oleh program MBG. 

“Hak atas kesehatan anak-anak ini justru dilanggar langsung oleh pemerintah sebagai pelanggar aktif atau sifatnya commission karena pemerintah yang melakukan,” jelas Isnur. 

Kedua, hak atas pendidikan. Isnur menilai dengan hadirnya program MBG, hak atas pendidikan lain justru terganggu. Diketahui, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 anggaran pendidikan meningkat menjadi Rp757,8 triliun. Namun, hampir setengahnya–Rp223,6 triliun–dialokasikan untuk program MBG.  

Dengan kata lain, alokasi pendidikan tak banyak berubah. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri.  

“Jadi kami melihat anggaran pendidikan yang sangat fantastis ini angkanya mencapai Rp757 triliun dari APBN, tetapi sebenarnya tidak dinikmati dan belum berdampak pada kesejahteraan guru non-ASN,” kata Zanatul, dilansir dari BBC Indonesia.   

Isnur menjelaskan seharusnya pemerintah berfokus pada masalah mendasar pendidikan, seperti mewujudkan pendidikan gratis bagi seluruh warga negara.  

“Di konstitusi, di hukum hak asasi manusia internasional, yang wajib diberikan adalah hak atas pendidikan yang layak. Kalau bisa gratis untuk seluruh levelnya. Dan kesejahteraan untuk para pendidiknya,” papar Isnur. 

Ketiga, adanya pelanggaran hak anak. Kebijakan negara sepatutnya mengutamakan the best interest of the child atau kepentingan terbaik bagi anak. Caranya dengan mendengarkan dan melibatkan anak di dalam pembuatan kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka.  

Bagi saya sekarang yang pertama kali adalah kesadaran dan kemauan pemerintah mengakui kesalahannya. Jangan alih-alih menyebut bahwa ini adalah 0,00017 persen,” imbuh Isnur.

“Di situ (konvensi dan undang-undang) ada pengutamaan bagaimana mendengarkan anak, kepentingan terbaik anak. Pertanyaannya proyek MBG ini kepentingan siapa, sih? Padahal faktanya anak-anak justru terenggut haknya.” 

Berbagai pelanggaran hak itu menunjukkan kegagalan negara memenuhi kewajiban konstitusional terhadap warga. Ketika pemerintah menjadi pelanggar, bisakah rakyat menggugat negara atas kebijakan yang mencederai hak-haknya? 

Baca juga: MBG di Mata Ibu: Anak Dipaksa Menelan Tanpa Rasa Aman 

Bisakah Gugat Negara? 

Masyarakat dapat menggugat kerugian yang diakibatkan oleh suatu kebijakan negara, ucap Isnur. Dalam konteks MBG, Isnur menyebut gugatan bisa dilakukan dengan class action dan citizen lawsuit.  

“Ada gugatan namanya class action. Misalnya wakil kelompok bisa menggugat pemerintah. Semua korban dibawa tapi diatasnamakan,” jelas Isnur.  

Class action adalah bentuk gugatan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang mewakili kelompok. Para penggugat memiliki kesamaan kepentingan, fakta, serta peristiwa terkait perkara yang diajukan. Tujuan utama dari gugatan ini ialah menuntut ganti rugi akibat suatu kebijakan atau tindakan tertentu. 

Ketentuan hukum dalam class action di Indonesia secara khusus diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.  

Sementara citizen lawsuit, yang ditujukan bukan ganti rugi melainkan mendorong pemerintah menjalankan kewajibannya dalam memenuhi dan melindungi hak-hak warga negara. 

Baik class action maupun citizen lawsuit telah memiliki riwayat penerapan di Indonesia. Salah satu contoh class action terjadi pada tahun 2016, ketika sebanyak 93 warga Bukit Duri menggugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas rencana “penertiban” kawasan permukiman mereka. 

Para penggugat mendalilkan permohonan ganti rugi dengan berdasarkan pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang perbuatannya melawan hukum dan merugikan orang lain, wajib mengganti kerugian. 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu mengabulkan gugatan class action tersebut. Hakim menyatakan pemerintah Jakarta, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC), serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta terbukti lalai dan melanggar aturan ketika menggusur rumah serta merelokasi warga di RW 10, 11, dan 12 Bukit Duri itu. 

Kemudian pada tahun 2019, sebanyak 32 warga yang tergabung dalam Koalisi IBUKOTA mengajukan gugatan citizen lawsuit terhadap pemerintah—mulai dari Presiden, Gubernur, hingga beberapa menteri—atas persoalan pencemaran udara di Jakarta. 

Proses persidangan berlangsung cukup lama, sekitar dua tahun, hingga akhirnya pada 2021 putusan dibacakan: Pengadilan Negeri Jakarta menyatakan seluruh tergugat bersalah. Jenis sanksi yang dijatuhkan pun berbeda-beda untuk masing-masing pihak tergugat. 

Sebagai contoh, Presiden diperintahkan untuk memperketat standar baku mutu udara nasional agar memadai dalam melindungi kesehatan masyarakat. Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup diwajibkan oleh pengadilan untuk melakukan supervisi atas inventarisasi emisi lintas batas tiga provinsi—DK Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.  

Dari pihak gubernur, salah satu perintah pengadilan adalah untuk mengawasi ketaatan standar dan spesifikasi bahan bakar yang ditetapkan. 

Kedua mekanisme hukum itu membuka peluang bagi masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban negara secara kolektif. Menurut Isnur, banyak jalur hukum yang bisa ditempuh tergantung pada bentuk pelanggaran dan sasaran gugatannya.  

“Kalau sifatnya kebijakan bisa kita gugat, misalnya anggarannya (UU APBN) di MK (Mahkamah Konstitusi). Kalau levelnya di bawah undang-undang di Mahkamah Agung. Kalau mau ganti rugi tadi class action, misalnya, pakai pengadilan perdata. Kalau tindakan oleh pemerintah, bisa juga di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” jelas Isnur.  

Baca juga: Makan Bergizi Gratis, Janji Manis Realitas Amis 

Ia menambahkan, jika tindakan sampai menimbulkan keracunan, maka bisa masuk ke ranah pidana. “Jadi semua mekanisme hukum bisa dipakai. Tergantung mau apa yang ditargetkan.” 

Namun, Isnur menyerukan agar Pemerintah segera berbenah dengan melakukan moratorium program MBG. “Moratorium dulu, semua proyek, evaluasi, ganti para pejabatnya, evaluasi anggarannya, dan termasuk target sasarannya.” 

Isnur menekankan langkah hukum hanyalah satu bagian dari upaya yang lebih besar untuk menegakkan hak warga. Ia menyebut, perubahan hanya mungkin terjadi jika tekanan publik berlangsung secara kolektif dan berkelanjutan. 

“Di sini peran para akademisi, tokoh publik, partai politik, tokoh agama, masyarakat sipil, dan jurnalis harusnya lebih maksimal menyuarakan ini. Bersama-sama menekan agar pemerintah melakukan kewajibannya,” katanya. 

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.