Sudah Demo dan Marah di Medsos: Apa yang Bisa Kita Lakukan Selanjutnya?
Meski batal, rencana DPR menganulir putusan MK mencerminkan Indonesia yang krisis konstitusional. Beberapa cara ini bisa dilakukan untuk menjaga demokrasi.
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Nugroho, 23 rela datang dari Yogyakarta ke Jakarta demi ikut unjuk rasa di Kompleks DPR/MPR RI. Padahal, teman-teman mahasiswa di Yogyakarta juga mengikuti aksi di Malioboro. Mereka ikut mengawal DPR, yang berencana menganulir dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
“Kami bagi peran. Biar gerakan ini semakin masif, nunjukkin mahasiswa juga marah dengan DPR yang enggak menaati keputusan MK,” kata Nugroho pada Magdalene, saat menghadiri unjuk rasa di Kompleks DPR/MPR RI, Kamis (22/8).
Baca Juga: Tak Penuhi Kuorum, Rapat Paripurna DPR Pengesahan RUU Pilkada Batal
Harapannya cuma satu: Pemerintah sadar negara ini bukan milik golongan tertentu, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Masalahnya, pemerintah melakukan banyak cara untuk merepresi masyarakat dan menguntungkan penguasa. Misalnya dengan menumpulkan kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis, lewat program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Selain itu, pemerintah juga meningkatkan biaya dan memadatkan waktu kuliah—yang adalah bentuk desakan agar mahasiswa cepat lulus.
Menurut Nugroho, pembungkaman sistemis ini berdampak pada kemampuan mahasiswa saat akan terlibat dalam gerakan. Mereka sulit mengumpulkan massa, karena mahasiswa bersikap tak peduli terhadap tingkah penguasa yang mengobrak-abrik konstitusi. Bahkan, pemerintah diduga mengalokasikan dana ke sejumlah akun di media sosial sebagai buzzer, untuk kembali memecah masyarakat.
Lalu, apa yang bisa dilakukan mahasiswa dan masyarakat untuk menjaga demokrasi?
Baca Juga: #PeringatanDarurat: Putusan MK, Penolakan DPR, dan Kejutan Pilkada 2024
Hal-hal yang Bisa Dilakukan
Ditemui dalam aksi massa kemarin, akademisi dan pakar tata hukum negara, Bivitri Susanti mengatakan, masyarakat perlu melakukan pembangkangan sipil. Terutama jika keputusan MK diabaikan—meski saat ini DPR resmi membatalkan pembahasan revisi UU Pilkada di Rapat Paripurna.
Lewat pembangkangan sipil, masyarakat bisa menggunakan hak yang dimiliki tanpa merusak atau menggunakan kekerasan. Salah satunya memboikot Pilkada 2024 dengan tidak memberikan pilihan suara, dan citizen lawsuit atau gugatan warga negara. Langkah ini perlu dilakukan karena Indonesia mengalami krisis konstitusional.
“Kemenangan itu enggak hanya menghentikan pembahasan (revisi RUU Pilkada),” ujar Bivitri. “Tapi bikin banyak orang marah, karena masyarakat sipil dibikin lemah secara struktural selama sepuluh tahun ini.”
Selain itu, kita juga membutuhkan kemampuan berpikir kritis untuk bisa membandingkan informasi. Contohnya di media sosial, dengan mengikuti influencer yang kritis dan ikut menyuarakan kondisi di Indonesia. Dari situ, kita bisa mengedukasi diri sekaligus me-repost informasi kritis dan berimbang, yang diunggah para influencer.
Baca Juga: Pemerintah Memanipulasi Emosi Rakyat, Apa itu Politik Emosi?
Hal serupa disampaikan oleh penulis Okki Sutanto lewat Instagramnya. Ia menjelaskan beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk menjaga demokrasi. Pertama, mengikuti akun-akun yang update seputar kondisi yang terjadi supaya bisa memahami isu. Kedua, mengedukasi orang-orang di sekitar lewat obrolan langsung maupun di media sosial. Contohnya mengirimkan rangkuman penjelasan soal situasi terkini, agar mereka juga ingin terlibat.
Ketiga, ikut unjuk rasa. Keempat, donasi ke gerakan yang akan dialokasikan untuk kebutuhan warga saat unjuk rasa—seperti air minum, makanan, peralatan medis, dan obat-obatan.
Jadi, menjaga demokrasi enggak melulu harus terlibat dalam unjuk rasa. Apalagi di era media sosial, saat informasi bisa diakses sekaligus disebarkan dengan lebih cepat dan mudah. Yang juga perlu diingat, enggak ada usaha “lebih besar atau kecil” untuk menjaga demokrasi, selama rakyat bersatu demi merebut Indonesia kembali dari para penguasa.
*Dengan reportase dari Purnama Ayu Rizky, Aulia Adam, Aurelia Gracia, Jasmine Floretta V.D, Siti Parhani dan Tommy Triardhikara.