December 24, 2025
Issues

Cara Merayakan Tahun Baru dengan Empati, Saat Duka Belum Usai

Blurb: Ketika bencana masih menyisakan duka, Tahun Baru bisa dimaknai dengan cara berbeda.

  • December 24, 2025
  • 6 min read
  • 192 Views
Cara Merayakan Tahun Baru dengan Empati, Saat Duka Belum Usai

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan untuk meniadakan pesta kembang api pada malam Tahun Baru 2026. Kebijakan ini berlaku menyeluruh, baik untuk acara yang digelar Pemprov DKI Jakarta maupun kegiatan swasta yang memerlukan izin resmi.

Dikutip dari Kompas, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyampaikan bahwa keputusan tersebut merupakan bagian dari pengaturan perayaan Natal dan Tahun Baru di Ibu Kota. Ia menegaskan, larangan kembang api akan diperkuat melalui penerbitan Surat Edaran (SE) khusus, sehingga seluruh pihak—termasuk hotel dan pusat perbelanjaan—tidak diperkenankan menyalakan kembang api berskala besar.

Dalam rapat persiapan Tahun Baru 2026, Pemprov DKI Jakarta juga memangkas jumlah titik perayaan. Dari sebelumnya 14 lokasi, kini hanya tersisa delapan titik, dengan beberapa kawasan ikonik seperti Monumen Nasional (Monas) tidak lagi dijadikan pusat perayaan. Perayaan utama akan dipusatkan di Bundaran Hotel Indonesia (HI), yang akan dihadiri langsung oleh Gubernur, Wakil Gubernur Rano Karno, dan Sekretaris Daerah Uus Kuswanto. Sementara itu, kawasan Kota Tua dan Lapangan Banteng akan dihadiri masing-masing oleh wali kota setempat.

Meski melarang kembang api berskala besar, Pramono menegaskan kebijakan ini tidak berlaku untuk permainan kembang api kecil oleh anak-anak di lingkungan tempat tinggal. Namun, kembang api besar tetap dilarang demi ketertiban dan keselamatan.

Menurut Pramono, penyederhanaan perayaan malam Tahun Baru ini merupakan bentuk empati terhadap masyarakat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang masih menjalani masa pemulihan akibat bencana banjir dan tanah longsor. Ia menyebut, pergantian tahun kali ini diharapkan lebih banyak diisi dengan doa dan refleksi, alih-alih kemeriahan berlebihan. Meski demikian, Jakarta tetap akan menggelar perayaan terbatas, mengingat posisinya sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian nasional yang menjadi sorotan publik, termasuk dunia internasional.

Pergantian tahun memang biasanya identik dengan suasana riuh, kembang api, dan euforia resolusi baru. Namun, ketika tahun baru datang bersamaan dengan kabar duka akibat bencana, perayaan semacam itu bisa terasa janggal. Banyak orang berada di posisi serba salah: merayakan terasa tidak pantas, tetapi mengabaikannya sepenuhnya juga terasa aneh karena waktu tetap berjalan.

Di tengah situasi ini, perasaan campur aduk—sedih, cemas, dan bingung—adalah hal yang wajar. Tidak ada cara tunggal yang benar atau salah dalam menyikapi tahun baru di tengah duka. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menyambutnya dengan kesadaran, empati, dan kepekaan sosial.

Alih-alih pesta besar, pergantian Tahun Baru 2026 bisa dimaknai sebagai momen untuk menurunkan volume euforia dan memperbesar rasa kemanusiaan. Sebuah jeda untuk saling mendoakan, menguatkan, dan menumbuhkan harapan bersama—bahwa di tahun yang baru, kita bisa menjadi masyarakat yang lebih peduli dan peka terhadap sesama.

Baca Juga: 8 Ide Perayaan Natal dan Tahun Baru di Kantor

Makna Tahun Baru di Tengah Situasi Krisis

Tahun baru biasanya dipandang sebagai simbol lembaran hidup baru — momen yang penuh harapan, rencana, dan resolusi. Namun, ketika pergantian tahun datang bersamaan dengan situasi krisis seperti bencana yang melanda beberapa wilayah di Sumatera, makna itu berubah. Tidak lagi sekadar soal euforia pesta atau kembang api, tetapi menjadi ruang untuk introspeksi dan refleksi yang lebih dalam. Seperti yang diungkapkan dalam artikel Tahun Baru, Harapan Baru di Detik News, tahun baru bisa terasa tidak penuh harapan bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan berat, bahkan justru memunculkan keraguan dan patah semangat sebelum tiba kebahagiaan yang biasa dirayakan masyarakat umum.

Dalam konteks krisis, pergantian tahun mengingatkan kita bahwa kehidupan berjalan terus — meski banyak orang masih berjuang dan berduka. Tahun baru bukan berarti melupakan rasa kehilangan, melainkan memberi ruang untuk mengakui luka, bahwa tidak semua orang bisa menyambut tahun baru dengan riang, dan itu sepenuhnya manusiawi. Dikutip dari, Integrative Psychiatry Online, New Year’s—the hope, meaning, and the promise, pendekatan ini selaras dengan gagasan reflektif tentang Tahun Baru sebagai waktu untuk melihat kembali kehidupan secara jujur dan mencari makna lebih dari sekadar mulai “nol kilometer.”

Makna tahun baru juga bergeser dari narasi individual ke narasi kolektif: dari “aku ingin…” menjadi “bagaimana kita bisa saling menopang?”. Di masa krisis, resolusi tidak lagi hanya soal pencapaian pribadi seperti karier atau gaya hidup, tetapi tentang bagaimana kita bisa membangun solidaritas dan dukungan bagi mereka yang terdampak. Konsep solidaritas ini, seperti dijelaskan dalam artikel Membangun Solidaritas Baru Pasca Pandemi di unpar.ac.id, mencerminkan pemahaman bahwa saling menopang satu sama lain adalah bentuk tindakan bersama yang bermakna, bukan sekadar retorika.

Selain itu, tahun baru di masa krisis dapat dilihat sebagai simbol ketahanan (resilience) — bukti bahwa meski kehidupan menerjang dengan keras, manusia punya kemampuan untuk bangkit, memperbaiki, dan mulai kembali secara perlahan. Ini mirip dengan gagasan bahwa krisis bisa menjadi momentum perubahan dan penguatan diri jika kita memilih untuk merefleksikan pengalaman susah sebagai bagian dari proses hidup.

Dengan memaknai tahun baru secara lebih reflektif, kita tidak sedang mengabaikan kesedihan, tetapi justru memberikan ruang yang layak bagi duka dan harapan untuk berdampingan. Tahun baru di tengah krisis bukan lagi tentang pesta besar, tetapi tentang kesadaran, empati, dan komitmen untuk bergerak maju dengan hati yang lebih peka terhadap sesama.

Baca juga: Kapan Sebenarnya Natal Mulai Dirayakan?

Cara Merayakan Tahun Baru dengan Empati

Merayakan tahun baru dengan empati berarti memahami bahwa tidak semua orang merasakan kegembiraan yang sama. Saat sebagian dari kita menyiapkan pesta dan kembang api, banyak keluarga di Sumatera dan daerah lain justru tengah berjuang setelah bencana, kehilangan rumah atau bahkan orang yang mereka cintai. Empati bukan hanya soal memperhatikan perasaan orang lain, tetapi juga memilih cara merayakan yang tidak terasa menyakitkan bagi mereka yang sedang berduka, seperti juga disarankan oleh Detik dalam artikel Empati Bencana Sumatera, Palembang Tiadakan Perayaan Malam Tahun Baru.

Langkah paling sederhana untuk merayakan dengan empati adalah menyesuaikan cara merayakan. Tahun baru tidak harus dihapus dari agenda, tetapi intensitas pesta bisa dikurangi. Menurut panduan reflektif untuk pergantian tahun, Year in Reflection: Gentle Steps to Celebrate and Grow di Quiet Connections, cara yang lebih tenang—seperti makan malam sederhana bersama orang terdekat atau ngobrol dari hati ke hati—bisa memberi ruang makna yang jauh lebih dalam dibandingkan pesta besar penuh hingar-bingar.

Selain itu, empati dalam perayaan juga bisa berarti memfokuskan momen pergantian tahun pada refleksi batin, bukan hanya hiburan. Kamu bisa mengisi akhir tahun dengan doa bersama, renungan singkat, atau hening sejenak untuk mengenang para korban dan menyadari kondisi banyak orang yang masih kesulitan. Seperti dibahas dalam artikel Five Tips for Good Mental Health on New Year’s Eve di Open Mental Health, menunjukkan kasih dan pemahaman kepada orang lain dapat menciptakan lingkungan yang lebih suportif bagi semua orang di sekitar kita.

Empati juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya emosi. Misalnya, menyisihkan sebagian anggaran untuk donasi, ikut penggalangan dana, atau membantu menyebarkan informasi bantuan yang terpercaya bisa menjadi bentuk perayaan yang berdampak langsung. Tahun baru tidak lantas jadi momen konsumsi semata, tetapi kesempatan untuk berbagi kepada mereka yang membutuhkan.

Tak kalah penting, empati dalam merayakan tahun baru juga mencakup cara kita bersikap di ruang publik dan media sosial. Menahan diri dari unggahan yang terlalu berlebihan, memilih kata-kata yang lebih peka, atau bahkan menggunakan platform pribadi untuk menyuarakan solidaritas bisa membuat perbedaan besar. Ini bukan hanya tanda kepedulian, tetapi juga kepekaan sosial—tahu kapan harus bersuara dan kapan perlu diam.

Pada akhirnya, merayakan tahun baru dengan empati bukan soal mengorbankan kebahagiaan pribadi kita, tetapi tentang menyeimbangkannya dengan rasa kemanusiaan. Dengan cara ini, kita tetap bisa menyambut tahun yang baru sambil menunjukkan bahwa hati kita tidak pernah benar-benar jauh dari mereka yang sedang berduka.

About Author

Kevin Seftian

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.