Catahu LBH APIK Jakarta 2025: KBGO Masih Paling Tinggi, Represi Rezim Tambah Ngeri
Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional (10/12), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta meluncurkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2025 sebagai bentuk pertanggungjawaban akuntabilitas pada publik. Sepanjang 2025, tim Pelayanan Hukum LBH APIK mencatat kenaikan laporan 60 persen atau 1212 kasus dari tahun 2024.
Tahun ini, pelaporan kasus pun tidak hanya berasal dari kawasan Jakarta saja. Pelaporan didapati juga berasal dari beberapa kawasan satelit seperti Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, dan juga kawasan Bogor.
Dalam sesi paparan CATAHU yang ditayangkan di kanal YouTube LBH APIK Jakarta (10/12), Uli Pangaribuan, Direktur LBH APIK Jakarta, menyebut tahun 2025 adalah tahun dengan pola pendampingan kasus yang berbeda dari tahun sebelumnya. Uli bilang tahun ini perempuan tidak hanya terjebak dalam kekerasan berbasis gender di ranah personal—seperti yang sering diadukan—tapi juga terjebak dalam rezim yang menyengsarakan. Untuk itu Magdalene telah merangkum empat poin penting yang perlu kamu tahu dari CATAHU YLBH APIK Jakarta 2025:
1. KBGO Jadi Kasus Terbanyak yang Dilaporkan
Sepanjang tahun 2025, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) jadi jenis kekerasan berbasis gender terbanyak yang diadukan ke LBH APIK Jakarta. Dengan total 319 aduan, tim Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta menemukan bahwa ancaman penyebaran konten bermuatan seksual jadi jenis KBGO yang paling sering diadukan. Selanjutnya, penyebaran konten bermuatan seksual sampai ancaman kekerasan jadi jenis KBGO yang sering terjadi pada korban.
Selain itu, cyber hacking sampai doxing juga mengisi catatan KBGO yang terjadi pada perempuan. Pada beberapa kasus, tindakan ini bahkan berakhir pada cyberbullying dan juga pemerasan.
Kendati terjadi di dalam ranah digital, tim Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta menemukan bahwa dampak yang dirasakan korban juga terjadi di dunia nyata. Pasalnya pada beberapa kasus korban semakin merasa terancam dan jauh dari rasa aman. Selain itu, korban juga didapati mengalami gangguan kondisi psikologis. Hal ini membuat penanganan KBGO memerlukan tenaga dari lintas sektor, termasuk kesehatan.
2. Kekerasan dalam Pacaran (KDP) Kian Marak
Dalam satu tahun terakhir, tim Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta juga menerima 141 pengaduan terkait Kekerasan dalam Pacaran (KDP). Jenis kekerasan yang paling sering diadukan adalah kekerasan psikis sejumlah 50 kasus, diikuti dengan kekerasan psikis dan eksploitasi ekonomi sebanyak 19 kasus, dan juga kekerasan fisik dan psikis sejumlah 16 kasus.
Dari temuan tersebut tim Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta menemukan bahwa relasi pacaran bukan ruang yang bisa terbebas dari kekerasan. Sebaliknya, relasi romantis dalam non-pernikahan ini sering kali membuat perempuan berada di bawah kontrol pasangannya, mengalami ancaman, manipulasi emosional, sampai kekerasan fisik atau seksual.
Pengaduan KDP sendiri kerap ditemukan menjadi awal siklus kekerasan yang dapat berlanjut ke ranah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Pasalnya, perempuan yang berani sekalipun baru bisa melakukan pelaporan setelah keluar dari hubungan tersebut. Untuk itu, tim Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta menekankan bahwa perlu adanya penanganan dan pencegahan KDRT sejak dalam relasi pacaran.
3. Kriminalisasi Korban Masih Sering Terjadi
Sepanjang tahun 2025, LBH APIK Jakarta mencatat terdapat 37 kasus kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan dan korban kebijakan negara. Pelaporan ini meliputi 26 kasus pembalikan laporan oleh pelaku, sementara 6 lainnya merupakan tindakan aparat penegak hukum (APH) yang melakukan penangkapan dan penahanan terhadap perempuan korban kebijakan negara yang sebenarnya sedang menjalankan hak konstitusionalnya.
Dalam kasus pembalikan laporan oleh pelaku, kriminalisasi korban dalam KDRT jadi kasus terbanyak yang dilaporkan. Selebihnya kriminalisasi terhadap korban terjadi dalam kasus KBGO, KDP, dan juga kekerasan seksual.
Dari catatan tersebut, tim Pelayanan Hukum YLBH APIK Jakarta menyebutkan bahwa proses peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan rasa aman dan keadilan bagi korban kekerasan berbasis gender. Kerentanan struktural, bias gender dalam institusi penegak hukum, rendahnya sensitifitas aparat, sampai minimnya perlindungan selama proses hukum, menyebabkan terjadinya secondary victimization, yakni kekerasan lanjutan yang muncul bukan dari pelaku, tetapi dari sistem peradilan itu sendiri.
4. Munculnya Kriminalisasi terhadap Perempuan yang Bersuara
Selain kasus-kasus di atas, YLBH APIK Jakarta juga mencatat bahwa tahun ini kriminalisasi terhadap perempuan yang bersuara jadi kasus besar yang tengah ditangani oleh tim Pelayanan Hukum. Laras Faizati, seorang perempuan yang dikriminalisasi karena ia bersuara atas situasi ketidakadilan yang terjadi, jadi salah satu mitra yang sampai artikel ini ditayangkan masih menempuh proses hukum.
Fauziah, ibu dari Laras yang turut hadir dalam peluncuran CATAHU YLBH APIK Jakarta 2025, menyebut bahwa anaknya berhak atas perlindungan dan keadilan. Dari laporan YLBH APIK Jakarta, Fauziah bilang keberanian Laras telah dijadikan senjata oleh pihak yang seharusnya memberi perlindungan.
Mengamini hal ini, Said Niam, perwakilan Divisi Pelayanan Hukum, menyebut bahwa kasus Laras termasuk ke dalam kriminalisasi suara kritis perempuan, yang merupakan bagian dari Isu Strategis yang ditangani YLBH APIK Jakarta. Hal ini pun menunjukan bahwa pelaksanaan hak konstitusional perempuan untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat belum sepenuhnya dijamin oleh negara.
















