Culture Screen Raves

Catatan FFI 2023: Kemenangan ‘Women from Rote Island’, Tokenisme Indonesia Timur, dan Konsistensi Juri

Saya yakin, jika lebih banyak pembuat film Indonesia Timur terlibat dalam proses voting Akademi Citra, film-film Timur akan lebih banyak mendapat nominasi.

Avatar
  • November 16, 2023
  • 6 min read
  • 1948 Views
Catatan FFI 2023: Kemenangan ‘Women from Rote Island’, Tokenisme Indonesia Timur, dan Konsistensi Juri

Ada yang tak biasa dari perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2023. Jika biasanya pemborong nominasi terbanyak yang berpotensi menang, ini tak dijumpai tahun ini. Film “Women From Rote Island” (judul Indonesia: “Perempuan Berkelamin Darah”) cuma punya empat nominasi (sinematografi terbaik, penulis skenario asli terbaik, sutradara terbaik, dan film panjang terbaik). Namun, ia berhasil menggondol Piala Citra untuk empat kategori yang dinominasikan di atas.

Sementara film lain dengan nominasi lebih banyak, seperti “24 Jam bersama Gaspar” (9 nominasi) , “Like and Share” (11 nominasi), bahkan “Budi Pekerti” (17 nominasi), justru tidak memenangkan banyak Piala Citra seperti tren sebelumnya. Apakah betul ini kemenangan mutlak untuk Indonesia Timur atau kita tetap perlu mengritisi penjuriannya?

 

 

Jawaban pendeknya, iya. Secara faktual, kemenangan ini tidak dapat dimungkiri karena keputusan dewan juri sudah bulat. Namun, jawaban panjangnya, FFI masih perlu banyak berbenah lagi, khususnya dalam melaksanakan penjurian yang lebih konsisten.

Baca juga: Catatan FFI 2022: Apakah FFI Memang Oscarnya Indonesia?

Minimnya Representasi Timur Akademi Citra

Dalam catatan FFI 2022, saya telah mengritisi bagaimana penjurian ini sangat bertahap dan tidak efisien. Dari mulai film yang diseleksi jadi 30 shortlist oleh panitia, seleksi menjadi 20 (atau pada tahun ini, 23) film rekomendasi asosiasi. Kemudian akademi citra dapat menominasikan film dari rekomendasi asosiasi tersebut. Pada malam anugerah, ditugaskan kembali 8-10 dewan juri untuk memutuskan pemenang-pemenang di tiap kategori. Tahun ini, hal tersebut kembali diulang.

Dalam salah satu wawancara yang tayang di Youtube Cinema21, ketua komite penjurian Garin Nugroho memberikan penjelasan cara kerja mereka. Ia menyebutkan, penjurian FFI menggabungkan sistem Eropa dan Amerika. Di Amerika Serikat, Academy Awards menggunakan sistem penjurian voting dengan anggota yang berjumlah ribuan. Akademi Citra diadaptasi dari skema ini. Pada tahap akhir, dewan juri ditugaskan untuk menentukan pemenang terakhir dan hal tersebut diadaptasi dari festival film internasional, seperti Cannes dan Berlinale.

Hal ini sudah konsisten dilakukan sejak Reza Rahadian menjabat sebagai ketua komite di 2021. Pada 2021 dan 2022, selera dewan juri memiliki kemiripan dengan para akademi citra yang menominasikannya. “Penyalin Cahaya” yang mendapat nominasi film paling banyak juga memenangkan Piala Citra paling banyak. Pada 2022, persaingan ketat antara “Before, Now, and Then” karya Kamila Andini dan “Dendam” karya Edwin juga terlihat dari banyaknya kategori yang mereka nominasikan dan Piala Citra yang mereka menangkan. Konsistensi dewan juri dan akademi citra masih terlihat di sini.

Kemenangan film“Women from Rote Island” adalah hal baru sejak FFI melabeli diri sebagai Academy Award versi Indonesia di 2014. Saya tidak mempermasalahkan kemenangan ini. Meskipun filmnya juga memiliki banyak lubang dari segi cerita dan angle, saya mengerti mengapa film dengan isu ini dapat dilihat sebagai pemenang Piala Citra.

Scene Women from Rote Island. Sumber: IMBD

Saya sudah menonton film ini saat tayang pada Jakarta Film Week kemarin. Kesan saya adalah jika memang Akademi Citra percaya film ini layak jadi yang terbaik, kenapa para aktrisnya tidak mendapatkan nominasi sama sekali? Saya paham, menjadi pemeran dari Indonesia Timur akan memiliki tantangan tersendiri pada industri yang bersifat Jakarta sentris. Namun, hal ini juga menekankan minimnya representasi pembuat film dari timur pada Akademi Citra.

Karena itu pula, film “Orpa” yang bisa dibilang memiliki angle jauh lebih timur dari “Women from Rote Island”, justru tidak mendapat perhatian lebih banyak. Akademi Citra sejatinya harus lebih representatif, khususnya dari segi geografis. Sehingga, kalau pun sebuah film dari atau tentang Indonesia Timur dimenangkan, itu bukan lantaran faktor tokenisme juri.

Tentu ini tantangan bagi FFI untuk menciptakan ekosistem film yang inklusif dan tidak Jakarta sentris. Saya yakin, jika lebih banyak pembuat film Indonesia Timur terlibat dalam proses voting Akademi Citra, film-film Timur akan lebih banyak mendapat nominasi.

Baca juga: ‘Ngeri-ngeri Sedap’ dan Film Batak yang Berusaha Lepas dari Jakartasentris

Kritik untuk Komite FFI 2024-2026

Reza Rahadian mengakhiri masa baktinya tahun ini. Itu artinya, ada ketua komite baru yang bakal mengabdi pada masa jabatan 2024-2026. Melihat perkembangan skema penjurian enam tahun terakhir, calon ketua komite FFI masih harus banyak refleksi dan berhati-hati dalam membuat skema penjurian.

Festival film dapat memiliki banyak manfaat, beberapa di antaranya adalah strategi pemasaran film. “Budi Pekerti” merupakan salah satu film yang berhasil menggunakan nominasi FFI sebagai strategi pemasarannya. Karena kemenangan ini, saya yakin akan lebih banyak orang yang mau menonton “Women from Rote Island” saat rilis nanti.

Namun, FFI tidak terjadi di ruang hampa. Ada ekosistem penonton di dalamnya, dan melibatkan penonton pada kategori film penonton, tidak cukup (bahkan, tidak perlu dilakukan). Jika memang FFI ingin menjadi benchmark of excellence film Indonesia, maka hal tersebut harus dimulai dari penjurian yang lebih konsisten.

Seni adalah hal yang subjektif. Hanya karena Shanty Harmayn dan J.B Kristanto menyukai “Women from Rote Island” sebagai film panjang terbaik, bukan berarti Dian Sastro dan Adinia Wirasti juga. Karena itu, Akademi Citra perlu andil yang lebih besar. Setelah komite FFI menentukan film yang lolos administrasi, seharusnya tahapan selanjutnya adalah nominasi langsung oleh Akademi Citra yang terdiri dari para pelaku ekosistem film dan asosiasi film. Mereka pula lah yang seharusnya menentukan pemenang Piala Citra.

Alur tersebut akan seperti Academy Awards. Namun, tidak bisa dimungkiri, Academy Awards merupakan ajang penghargaan yang memiliki strategi pemasaran film yang terbaik. Film pemenang Cannes dan Berlinale, belum tentu memiliki return of investment (ROI) sebesar film pemenang Academy Awards.

Namun, jika FFI memang ingin menerapkan skema penjurian Eropa, hal tersebut juga harus konsisten diterapkan dari awal. Jika itu terjadi, skema Akademi Citra akan dihapuskan yang membuat posisi politik FFI akan memiliki akuntabilitas yang lebih dipertanyakan. Salah satu alasan kenapa ada Akademi Citra adalah agar FFI dapat memaksimalkan akuntabilitas. Artinya, saya tidak akan mendukung Reza Rahadian hanya karena saya temannya. Namun, karena saya percaya dia layak menang. Untuk memaksimalkan proses tersebut, keberagaman Akademi Citra dan penambahan jumlah patut untuk dilakukan.

Menggunakan akuntan sebagai pihak ketiga juga dapat memastikan akuntabilitas ini. Ketika Nia Dinata menjabat sebagai komite penjurian, hal ini kerap dilakukan karena Akademi Citra juga menentukan kemenangan film. Memang, menggunakan Akademi Citra akan membuat film-film dengan nominasi terbanyak memiliki probabilitas menang lebih tinggi. Namun, hal tersebut tidak melulu terjadi.

Namun, FFI tidak terjadi di ruang hampa. Ada ekosistem penonton di dalamnya, dan melibatkan penonton pada kategori film penonton, tidak cukup (bahkan, tidak perlu dilakukan). Jika memang FFI ingin menjadi benchmark of excellence film Indonesia, maka hal tersebut harus dimulai dari penjurian yang lebih konsisten.

Baca juga: Catatan dari FFI 2021: Minimnya Juri Perempuan hingga Posisi Festival

Pada ajang Academy Awards 2022, “CODA” yang hanya dinominasikan pada tiga kategori memenangkan Oscar dan mengalahkan “The Power of the Dog” yang hanya memenangkan 1 Oscar meskipun memiliki lebih banyak nominasi. “Parasite” yang hanya memiliki enam nominasi juga dapat memenangkan film terbaik meskipun ada film-film lain yang memiliki puluhan nominasi.

Pada akhirnya, jika memang suatu cerita mengikat audiens secara emosional dan mereka percaya film itu bagus, dewan juri tidak akan diperlukan dalam memenangkan film-film seperti “Women from Rote Island”. Kesadaran tersebut harus dimiliki oleh pelaku industrinya sendiri yang diwakili oleh Akademi Citra. Jika ada beberapa entitas yang mencoba membuat narasi film mana yang lebih bagus, bagi saya, itu bukan kesadaran organik. Justru, kelihatan sekali bagaimana industri film kita masih banyak harus bertumbuh

Penulis telah menulis resensi dan komentar film sejak tahun 2017. Ia menulis di The Jakarta Post, The Next Best Picture, Magdalene dan channel Tiktoknya @keltikfilm.



#waveforequality


Avatar
About Author

Reza Mardian