Screen Raves

Catatan FFI 2022: Apakah FFI Memang Oscar-nya Indonesia?

Distribusi piala dan  kemenangan memberi kesan merata serta tidak adanya pemenang mutlak seperti tahun-tahun sebelumnya. FFI tahun ini lebih tidak terprediksi.

Avatar
  • December 10, 2022
  • 9 min read
  • 1731 Views
Catatan FFI 2022: Apakah FFI Memang Oscar-nya Indonesia?

Malam Penganugerahan Festival Film Indonesia (FFI) 2022 baru saja diselenggarakan 22 November lalu. Bisa dibilang, FFI tahun ini merupakan salah satu FFI yang paling beragam baik dari segi nomine maupun pemenang.

Lima film bersaing untuk mendapatkan Piala Citra film terbaik: Before Now and Then (ke depannya akan ditulis Nana), Seperti Dendam Rindu Harus Dibalas Tuntas (ke depannya akan ditulis Dendam), Autobiography, Ngeri-ngeri Sedap, dan Mencuri Raden Saleh. Film-fillm lain, seperti Losmen Bu Broto, Pengabdi Setan 2 Communion, dan Mirracle in Cell No. 7 pun juga ramai mengisi berbagai nominasi.

 

 

Dari 5 nomine film terbaik, Film Nana  membawa pulang 5 piala citra, termasuk film terbaik. Namun, Kamila Andini tidak membawa pulang Piala Citra Suradara Terbaik karena Edwin dalam film  Dendam yang memenangkan kategori tersebut untuk kedua kalinya. Dendam juga membawa 5 piala citra, termasuk aktris utama (Ladya Cheryl) dan aktor utama (Marthino Lio) terbaik.

Melalui Autobiography kritikus film yang sekarang menyutradari film panjang pertamanya, Makbul Mubarak, memenangkan piala citra untuk skenario asli terbaik. Mencuri Raden Saleh memenangkan dua penghargaan favorit penonton, termasuk film favorit. Dan meskipun Ngeri-ngeri Sedap tidak memenangkan Piala Citra, film ini adalah perwakilan resmi Indonesia untuk ajang Academy Awards, kategori International Feature Film di tahun 2023 nanti.

Distribusi piala dan  kemenangan memberi kesan merata serta tidak adanya pemenang mutlak seperti tahun-tahun sebelumnya. Penyalin Cahaya, Perempuan Tanah Jahanam, Marlina, Kucumbu Tubuh Indahku merupakan pemenang film terbaik dan pemenang Piala Citra terbanyak pada FFI tahun-tahun sebelumnya. Hal ini memberikan kesan bahwa pemenang FFI tahun ini terkesan jauh lebih tidak dapat diprediksi.

Baca juga: Review ‘Sri Asih’: Beban Besar yang Dipikul Sang ‘Superhero’ Perempuan Pertama

Tentunya, seluruh rangkaian acara FFI tidak persiapkan dalam waktu yang singkat. Ada banyak upaya yang dilakukan oleh para komite yang diketuai oleh Reza Rahadian ini untuk membuat seluruh rangkaian acaranya berhasil. Artikel ini akan mencoba mengkritisi bagaimana posisi FFI di industri film ke depannya dan bagaimana proses penjurian  FFI tahun ini dibanding tahun lalu.

FFI: Ajang Pemberian Penghargaan atau Ruang Pemutaraan Film?

Secara definitif, festival film merupakan acara pemutaran atau penayangan film dalam periode waktu tertentu di beberapa ruang pemutaran yang idealnya terjadi pada satu kota. Sebagai contoh, Cannes Film Festival, Telluride Film Festival, Toronto International Film Festival (TIFF) menggambarkan bagaimana festival film biasanya diadakan. Di Indonesia sendiri pun sudah ada festival film yang secara rutin dilakukan dengan  dengan definisi serupa, misalnya Jogja Asian Netpac Film Festival (JAFF) dan Jakarta Film Week.

Festival film tidak hanya dijadikan media promosi sebelum film rilis di bioskop, tapi juga bagaimana festival memberdayakan ekosistem film disekitarnya. Beberapa festival kerap mengadakan lokakarya, seminar, atau bahkan pitching untuk pendanaan film. Pada akhirnya, ketika membicarakan festival film, kita dapat membayangkan bahwa acaranya memang tidak hanya terjadi satu malam.

Secara definitif, FFI tidak bisa dibilang dibilang sebagai festival film karena tujuan utamanya adalah memberikan apresiasi dan penghargaan film Indonesia yang sudah tayang dan/atau akan tayang dalam waktu dekat. Dari tahun ke tahun, FFI selalu mengklaim bahwa mereka merupakan benchmark tertinggi insan film Indonesia. Sejak 2014 FFI bahkan menyatakan bahwa mereka merupakan Oscar-nya Indonesia.

Oscar atau Academny Awards merupakan ajang penghargaan. Sama halnya seperti Golden Globe Awards, Critics’ Choice Awards dan Screen Actor Guild Awards. Meskipun rangkaian acara-acara penghargaan ini sama panjangnya seperti FFI,  puncaknya hanyalah satu malam. Jika dilihat dari format dan tujuan, nampaknya tidak tepat menamakan FFI sebagai suatu Festival. Lebih baik jika dinamakan sebagai Apresiasi Film Indonesia atau Apresiasi Piala Citra sekalian.

Baca juga: ‘Ngeri-ngeri Sedap’ dan Film Batak yang Berusaha Lepas dari Jakartasentris

FFI memang bukan satu-satunya festival film yang memiliki format acara penghargaan dan/atau appresiasi film. Festival Film Bandung, Festival Film Wartawan Indonesia, bahkan beberapa tahun lalu, Film Pilihan Tempo sempat mengadakan Festival Film Tempo dengan format yang mirip dengan FFI. Alasan mengapa FFI menggunakan nama festival barangkali karena dulu festival film belum lumrah di Indonesia. Dengan adanya festival virtual selama pandemi pun kita semakin paham bagaimana format festival film seharusnya dijalankan.

Saya rasa sudah sebaiknya FFI memikirkan ulang bagaimana format yang ingin mereka lakukan dan apakah nama FFI sudah sesuai dengan tujuan utama mereka. Jika tujuan utamanya memang untuk ajang apresiasi, format yang sekarang sudah sangatlah pas. Yang perlu dipikirkan adalah namanya. Namun, jika FFI bersikeras menggunakan nama mereka sekarang, sudah saatnya komite FFI benar-benar menyelenggarakan festival film layaknya seperti yang JAFF, Canness, atau TIFF selanggarakan.

Alih-alih sekadar memberikan penghargaan, mungkin FI bisa kembali menayangkan ulang film-film Indonesia yang dinominasikan. Alih-alih memberika npenghargaan kritikus terbaik, FFI mungkin bisa memberikan pelatihan kritik film mengingat menjamurnya review film. Lokakarya, film funding dan pitching pun bisa dilakukan untuk benar-benar FFI mengayomi ekosistem film Indonesia.

Jika FFI melakukan penyesuaian format acara dan nama yang mereka gunakan, saya rasa acara penghargaan film yang berkedok festival film di Indonesia juga akan melakukan perubahan. Bagaimana pun juga, FFI merupakan ajang apresiasi film tertua di Indonesia. Bagaimana mereka menyikapi ini akan menciptakan dampak yang signifikan pada eksoistem film, khususnya dalam sektor apresiasi.

Proses Shortlist & Penentuan Nominasi yang Berlapis dan Tidak Efisien

Komite FFI masih mempertahankan tradisi memberikan transparansi dalam seluruh rangkaian acaranya. Tahun ini pun demikian. Akan tetapi, menjadi transparan, bukan berarti tidak memiliki masalah. Saya sudah pernah membicarakan ini di akun Tiktok saya, tapi akan saya rangkum kembali sepadat mungkin.

Sebelum para nominasi diumumkan, ada beberapa proses yang komite FFI lakukan:

  1. Melakukan proses pendaftaran

FFI hanya menerima film yang mendaftarkan diri. Ada banyak syarat-syarat teknis yang harus dipenuhi. Namun, singkatnya, tercatat ada 74 film panjang yang terdaftar untuk FFI 2022. Film yang tayang setelah FFI 2021 (Dendam) dan film yang belum tayang di bioskop tahun ini tapi sudah tayang di festival (Autobiography) dapat didaftarkan jika memenuhi persyaratan administratif yang ada di situs resmi FFI.

  1. Melakukan shortlist tahap 1 oleh Komite

Masalah mulai timbul di fase ini. Hanya terpilih 30 film panjang di shortlist tahap 1. Lebih dari 50 persen dieliminasi oleh para dewan FFI. Entah apakah 44 film lain tidak memenuhi administrasi atau ada penjurian yang lebih dahulu dilakukan sebelum melibatkan juri resmi.

Dalam ajang Academy Awards, tahapan ini bukan merupakan shortlist tahap pertama, melainkan proses pernyataan apakah film yang didaftarkan susah mengikuti syarat dan ketentuan teknis. Tidak perlu ada proses eliminasi di tahapan ini jika film yang didaftarkan sudah sesuai dengan syarat dan ketentuan. Pada tahun 2021, ada 366 film yang bisa dinominasikan oleh voter The Academy.

  1. Melakukan shortlist tahap 2 oleh asosiasi profesi

Pada tahap ini, FFI melibatkan beberapa asosiasi profesi yang mengirimkan perwakilan mereka. Masing-masing dari mereka ditugaskan merekomendasikan 10-15 film terbaik menurut mereka. Lalu, setelah mendapat rekomendasi tersebut, FFI akan melibatkan akuntan publik untuk mentabulasi dan mengeluarkan 20 film yang direkomendasikan oleh para asosiasi.

Permasalahannya di sini adalah mengapa shortlist harus dilakukan dua kali dan dengan  selisih angka yang sedikit? Menurut saya, 30  merupakan angka yang sedikit. Seharusnya, proses shortlist di tahap pertama sudah melibatkan asosiasi profesi dan shortlist tahap 2 dihapus saja. ada beberapa film yang memiliki elemen yang baik, tapi karena tidak masuk 20 besar jadi tidak mendapatkan nominasi.

Sebagai contoh, Christine Hakim dan Ayushita dalam film Just Mom mungkin bisa dinonimasikan sebagai aktris utama dan pendukung terbaik. Namun, karena filmnya tidak masuk 20 besar, mereka tidak bisa dinominasikan. Padahal, performa mereka merupakan salah satu yang bisa dinominasikan.

Contoh lain ada pada kategori teknis, seperti lagu terbaik maupun efek visual. Dua kategori ini sering kali tidak harus muncul sebagai film terbaik. Lagu Jarak yang menjadi lagu tema Akhirat dan efek visual Ivanna jadi tidak dapat dipertimbangkan hanya karena shortlist tahap 1 dan tahap 2 yang tidak efisien.

Sejak tahun 2014, FFI selalu mengklaim bahwa mereka merupakan Oscar-nya Indonesia. Namun, pada praktiknya, hal tersebut masih jauh berbeda. Pada ajang Oscar, anggota Akademi mereka lah yang menentukan nominasi dan shortlist. Shortlist pun dilakukan berdasarkan kategori, bukan seluruh film panjang. Jadi, para ahli bisa memikiki jurisdiksi dan otonomi yang lebih mumpuni dibanding dengan skema yang diterapkan oleh FFI sekarang. Sebagai contoh, komposer dan musisi berhak men-shortlist 15 lagu tema terbaik sebelum menominasikan 5 lagu tema.  Hal ini membawa kita ke masalah berikutnya.

  1. Menentukan nominasi dari tiap bidang di Akademi Citra

Tahun lalu, saya menulis masalah utama penjurian FFI di Magdalene. Argumennya adalah bagaimana minimnya juri perempuan berdampak pada film apa yang akhirnya dimenangkan. Selain itu, perubahan tidak adanya sistem voting juga merupakan bentuk inkonsistensi yang sudah ditunjukkan FFI sejak tahun 2014.

Tahun ini, sistem voting kembali diterapkan. Tidak hanya demikian, FFI memberikan nama Akademi Citra. Idealnya, semua pemenang FFI yang masih hidup berhak menominasikan kategori profesi mereka. Aktor menominasikan aktor, sinematografer menominasikan sinematografer. Namun, untuk film terbaik, semua orang berhak melakukan voting.

Hanya saja, Akademi Citra memiliki jurisdiksi yang lebih kecil sekarang. Mereka hanya boleh menominasikan film dari 20 shortlist. Dan setelah itu, mereka tidak menentukan pemenang karena akan ada Dewan Juri akhir yang menentukan pemenang kategori film panjang.

  1. Penentuan kemenangan oleh Dewan Juri Akhir

Ada 9 dewan juri akhir terlibat. Setelah melakukan riset kecil, saya pernah membahas bahwa dibanding tahun lalu, dewan juri FFI tahun ini lebih baik. Terlihat jelas bahwa komite FFI berupaya menciptakan keragaman latar belakang dewan juri dari segi representasi jenis kelamin, afiliasi regional, dan representasi profesi.

Pun saya tidak mendukung Ladya Cheryl memenangkan aktris terbaik, saya dapat membayangkan bagaimana, Ibu Doloresa Sinaga–salah satu dewan juri FFI yang merupakan pematung yang karyanya terkenal mendobrak paham male gaze–dapat meyakinkan panel juri lain bahwa penampilan Ladya Cheryl merupakan bentuk perlawanan atas male gaze. Sehingga, meskipun saya pribadi mendukung Tika Panggabean, saya dapat menghargai keputusan dewan juri karena panel dewan juri yang terlibat memang mumpuni.

Namun, ada masalah dari skema ini. Pada akhirnya, kemenangan hanya akan ditentukan oleh segelintir orang. Padahal, seni merupakan hal yang sangat subjektif. Apa yang 9 dewan juri pikirkan tidak menggambarkan mayoritas insan perfilman. Pada ajang Academy Awards, ada lebih dari 8000 member yang dapat menentukan siapa yang memenangkan kategori dan film terbaik setelah sebelumnya nominasi ditentukan oleh para akademi di bidangnya masing (misalnya, aktor hanya akan dapat menominasikan aktor, tapi setelah ada 5 nominasi, semua anggota The Academy bisa menentukan siapa aktor yang terbaik).

Baca juga: Catatan dari FFI 2021: Minimnya Juri Perempuan hingga Posisi Festival

Hal ini kembali membawa kita pada poin: posisi apa yang FFI ingin nyatakan? Sebagai festival film, tentu pemilihan juri dan politik demografi sudah menjadi hal yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, festival film tidak dapat mengklaim bahwa mereka adalah benchmark of excellence perfilman. Dewan juri yang terlibat di Eropa akan memiliki ketertarikan yag berbeda dengan dewan juri di Amerika.

Namun, jika FFI ingin mengklaim bahwa mereka merupakan benchmark of exellence film Indonesia, sudah seyogyanya mereka mengadaptasi format Academy Awards dan mengubah nama mereka sekalian. Sejatinya, selama ini FFI memang sudah berfungsi sebagai ajang apresiasi alih-alih sebiah festival film dengan melibatkan lebih banyak akademi citra yang beragam seperti The Academy, FFI juga akan dapat meminimalisasi bias dan meperkuat posisi mereka sebagai benchmark film Indonesia terbaik.

Namun, sampai detik ini, saya sendiri sebenarnya masih bingung: apa yang FFI hendak utarakan? 

 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Reza Mardian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *