Issues Politics & Society

#PeringatanDarurat: Putusan MK, Penolakan DPR, dan Kejutan Pilkada 2024

RUU Pilkada yang anulir putusan MK tentang pencalonan kepala daerah, bakal disahkan besok di Rapat Paripurna DPR. Bagaimana kronologi dan dampaknya pada percaturan Pilkada 2024?

Avatar
  • August 21, 2024
  • 4 min read
  • 359 Views
#PeringatanDarurat: Putusan MK, Penolakan DPR, dan Kejutan Pilkada 2024

Hari ini Instagram membiru. Sejumlah pengguna mengunggah gambar Garuda Pancasila berkelir biru dengan tulisan “Peringatan Darurat”. Upaya ini menjadi kritik publik atas tindakan Perwakilan Rakyat (DPR), yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi No 70/PUU-XXII/2024. Putusan ini menyatakan, batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan saat pelantikan pasangan calon terpilih.

DPR juga panen kritik karena menyepakati revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) dalam rapat Badan Legislatif (Baleg) DPR, (21/8) sore. Dari sembilan fraksi, cuma PDI-Perjuangan yang menolak RUU Pilkada diparipurnakan besok. 

 

 

Jika RUU itu jadi disahkan, maka akan memperbesar kans Jokowi melebarkan dinasti politiknya lewat Kaesang, si anak bontot yang masih berusia 29 tahun. Sebab, dalam rumusan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU Pilkada Nomor 72 dikatakan: “d. berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.” 

Baca juga: Ragukan Guru Besar hingga Ahli di ‘Dirty Vote’, Warga +62 Harus Berhenti Menyangkal Pakar 

Yang dilakukan DPR memicu kemarahan publik. Pasalnya, berdasar konstitusi, putusan MK dianggap lebih tinggi hierarkinya karena menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945. Sebaliknya, putusan MA hanya menguji peraturan KPU terhadap UU Pilkada. Namun saat pemimpin rapat Baleg pukul 10 pagi tadi, Achmad Baidowi dari PPP, mengetuk palu tanda setuju putusan MK resmi ditolak. Sebagai gantinya, DPR lebih memilih patuh pada putusan MA.

Isi Putusan MK yang Bikin DPR Kebakaran Jenggot

Pemicu kegaduhan di rapat Baleg DPR RI hari ini adalah pengesahan MK Nomor 60/PUU/XXII/2024 sehari sebelumnya. Putusan MK bermula dari gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora pada (27/6). Dua partai tersebut mengajukan gugatan terhadap UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, yang mengatur ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/ gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.  

MK lantas mengabulkan sebagian gugatan itu (dokumennya bisa dicek di sini). Putusan yang mengubah Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada itu sebenarnya cukup progresif, menurut Akademisi dan pakar tata hukum negara Indonesia Bivitri Susanti. Dalam reel Instagram Bivitri dikatakan, DPR kini tengah memutarbalikkan tafsir atas putusan MK. Padahal keputusan itu mestinya harus ditaati mengingat hierarki MK sebagai lembaga negara. Karena itulah, tidak boleh ada UU yang mengatur secara berbeda putusan ini.

Putusan MK sendiri memang memungkinkan semakin banyak calon pemimpin daerah baru. Ini penting guna melawan skenario kotak kosong yang ramai belakangan. Skenario kotak kosong sendiri dikhawatirkan sejumlah pengamat bakal merontokkan kualitas demokrasi kita di Pilkada 2024.

“Dengan dibukanya keran pencalonan, warga jadi punya banyak pilihan calon dan program-programnya,” tutur dia.

Bivitri juga bilang, sebenarnya MK menyatakan ayat (3) dari Pasal 40 inkonstitusional. Tadinya yang bisa mengajukan calon-calon gubernur, wakil gubernur, wali kota, bupati itu kalau menghitung akumulasi suara sah, itu hanya akumulasi suara sah untuk parpol yang memperoleh kursi di DPRD. Ayat tiganya itu dihapus. Jadi sekarang akumulasi suara sah tadi hitungannya, misal Jakarta 7,5 persen itu bisa dihitung bersama dengan parpol yang tidak memperoleh kursi di DPRD.  

Baca juga: Putusan MK Soal Batas Umur Capres-Cawapres dan Potensi Dinasti Politik Jokowi 

Sayangnya, meski putusan MK sudah sangat jelas dan progresif, DPR RI mementahkannya. Dalam tangkapan layar siaran langsung rapat Baleg hari ini, Pasal 40 yang disetujui Panja Baleg berbunyi, ambang batas bagi partai yang mempunyai kursi di DPRD tetap pada 20 persen dan 25 persen.  

Menanggapi keputusan Baleg DPR RI, Bivitri dalam wawancara bersama Sindonews mengatakan, MK adalah satu-satunya lembaga penafsir konstitusi yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD Negara Republik Indonesia 1945 dalam sistem hukum di negeri ini. Dengan demikian, pemerintah, DPR, dan seluruh elemen bangsa diharuskan menghormati dan tunduk pada putusan MK. 

“Putusan MK tidak bisa dibenturkan dengan putusan MA. Putusan MK adalah pengujian konstitusionalitas norma UU terhadap UU Dasar. Sehingga, Putusan MK harus dipedomani oleh semua pihak, tidak terkecuali DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung,” jelasnya pada Sindonews,(21/8). 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D and Chika Ramadhea

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *