Catatan Untuk yang Ingin Bunuh Diri
Tekad dan kesombongan telah menyelamatkan penulis dari keinginan bunuh diri.
Sudah sejak lama saya menyaksikan ungkapan-ungkapan, curhatan-curhatan, celetuk-celetuk singkat di media sosial soal keinginan ingin bunuh diri. Mungkin itu hanya ungkapan semata, tapi bisa jadi memang keinginan dari dasar hati. Hal ini sudah saya anggap wajar mengingat semua grup yang saya ikuti merupakan komunitas gangguan jiwa.
Saya pun pernah sangat menginginkan mengakhiri hidup. Bahkan sudah hampir memutuskan mengiris nadi saya dalam kamar kos yang terkunci.
Saya mengerti perasaan teman-teman yang ingin bunuh diri. Saya pun pernah berada di titik merasa diri tak berharga, tak mengerti dunia, dunia terasa tak paham saya, semua keadaan menyudutkan saya, semua pertolongan sirna, gelap, sendirian, tak ada harapan, putus asa bahkan sampai habis air mata. Percayalah saya pernah merasa begitu.
Lalu, bagaimana saya selamat dari keputusan mengiris nadi detik itu?
Ada dua jawabannya. Yang pertama adalah tekad.
Kamar kos yang terkunci, sendirian, gelap, sunyi, cutter sudah di tangan, pisaunya siap mengiris. Tapi saya terhenti, ketika saya menatap sebuah kertas yang tertempel di dinding. Kertas yang saya tulisi, “Saya harus lulus tahun ini!!”
Tekad lulus kuliah yang tiba-tiba membuncahlah yang membuat saya membuang cutter waktu itu. Bertahun-tahun mengalami kehancuran kepercayaan diri membuat diri saya otomatis menjadi pribadi yang rendah diri di depan umum. Tapi tak apa, sebab saya telah melewati fase putus asa yang dalam, mental saya yang lain pun turut terbentuk. Apa itu? Mental bola bekel. Tahu kan bola bekel kalau dilempar sekeras mungkin ke tanah ia akan melenting ke atas berkali-kali lipat jauhnya. Seperti itulah saya saat ini. Dalam keadaan tertekan, setelah menangis sejenak saya akan menemukan dan mencari ide solutif baru dengan demikian kepercayaan diri saya akan naik ke garis batas ambang aman.
Layaknya tanaman, tekad ini harus terus dipupuk. Tentunya kalian harus punya mimpi sebelum memupuk tekad. Bukankah sebelum memupuk harus ada bibit tanaman dahulu?
Maka, peliharalah mimpi. Tak apa mimpi kecil yang penting punya mimpi. Setelah punya mimpi, pupuklah dengan tekad. Bagaimana caranya?
Seorang psikolog di Bandung memperkenalkan saya pada terapi dengan cara menulis. Awalnya terapi menulis ini saya gunakan untuk membuang emosi-emosi negatif, tetapi lama kelamaan terapi menulis ini saya buat menjadi daftar rencana-rencana saya di masa depan, mimpi-mimpi untuk berkarya, dan harapan-harapan positif. Terapi menulis ini sangat efektif untuk membuang emosi negatif, kemudian pelan-pelan kehidupan kalian akan berubah. Saat kalian menjadi positif dan semangat, gunakan terapi menulis ini untuk merekam jejak mimpi kalian sampai menjadi kenyataan.
Saya pernah menyarankan seorang teman yang mengurung diri di kamar selama dua bulan dan nyaris bunuh diri untuk melakukan terapi menulis dan menggambar. Setelah sebulan, akhirnya dia berani keluar kamar, lebih berani dalam mengambil keputusan besar dalam hidup, berani bergaul, tidak menyalahkan diri lagi, dan menjadi lebih positif. Meskipun beban hidupnya berat, tapi dia sudah bisa menanggungnya.
Memang banyak orang-orang depresi yang mengungkapkan keinginan untuk mati, karena kenikmatan duniawi sudah terasa hambar, bahkan untuk menangis pun sudah tidak bisa. Karena itu, selain minum obat, penderita depresi bisa mencoba terapi menulis dan menggambar. Memang mulanya sulit karena bingung ingin menulis apa atau menggambar apa. Sewaktu saya menjalani terapi menulis, kata-kata yang paling sering saya tuliskan adalah makian-makian kasar.
Menulislah, buang emosi negatif, jadilah positif, buatlah mimpi, dan kejar dengan tekad.
Lalu, hal yang kedua yang menyelamatkan saya dari kenginan bunuh diri adalah kesombongan.
Ya, benar. Kesombongan. Saya tahu bahwa pribadi sombong akan terlempar ke dasar neraka di kerak yang paling dalam. Itu firman dalam agama. Mari kita singkirkan dulu dogma. Saya akan beritahu mengapa kesombongan menyelamatkan saya.
Satu pikiran sombong yang sempat melintas kala itu adalah, bagaimana kalau saya mati saat itu dan saya akan mati dalam keadaan terhina? Dalam keadaan tidak memiliki jejak peninggalan karya? Saya akan mati dan dijadikan bahan olok-olok? Apakah saya akan membiarkan orang-orang yang menghina saya tetap hidup dan menang? Sementara saya mati dalam keadaan terejek? Pikiran-pikiran itu membuat saya tak sudi bunuh diri. Harga diri saya meningkat seketika. Jika tiba saatnya saya mati nanti, saya akan meninggalkan sesuatu yang berharga bagi dunia dan nama saya akan terus diingat di dalamnya sebagai orang yang berjasa. Itulah kesombongan saya. Bisa jadi pula itu termasuk waham kebesaran saya sebagai seorang skizoafektif. Tapi siapa peduli? Yang penting saya tidak jadi mati. Dan saya akan masih hidup untuk membalaskan dendam kepada pengejek saya. Tentunya membalas dengan karya.
Dua hal itulah yang menyelamatkan saya dari kebodohan. Tekad dan kesombongan. Bagi teman-teman yang merasa di ujung tanduk dan ingin mengakhiri hidup, kalian tidak sendiri. Kalian hanya belum menemukan tangan yang terbuka menerima kalian. Jika kalian merasa bahwa hidup kalian gelap tidakkah kalian merasa bahwa kalian adalah cahayanya? Temukan cara menjalani hidup kalian. Sebaik-baiknya. Setangguh-tangguhnya. Selamat mencoba!
Winaring Suryo Satuti adalah seorang skizoafektif; penyuka kucing belang tiga, gendut dan berhidung pink; seorang petualang dalam pikiran.