Perempuan Jangan Jadi Pemimpin, Kecuali Keluarga Saya
Cawagub Banten, Dimyati Natakusumah baru-baru ini dikritik karena bilang perempuan gak usah dikasih tanggung jawab berat jadi gubernur.
Debat calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) Provinsi Banten baru saja diadakan (16/10) oleh KPU. Ada dua kandidat pemilihan cagub dan cawagub Provinsi Banten yaitu pasangan nomor urut satu yaitu Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi. Sedang nomor urut dua: Andra Soni-Dimyati Natakusumah.
Di saat sesi tanya jawab antar kandidat, pasangan nomor urut satu bertanya pada nomor urut dua soal penanganan kasus kekerasan seksual. Tapi, cawagub Dimyati Natakusumah malah menjawab bahwa perempuan itu harus mendapat perhatian, maka kita harus melindungi perempuan dan memuliakannya dengan enggak ngasih beban berat jadi gubernur. Pernyataan itu diarahkan kepada Airin yang jadi kandidat cagub perempuan Banten satu-satunya.
Baca juga: Kepemimpinan Perempuan, Surat An-Nisa Ayat 34, dan Keraguan Kita
Perempuan Enggak Boleh Memimpin, Kecuali Keluarga Saya
Pernyataan seksis Dimyati di debat itu mendapat kritik dari berbagai pihak. Selain bias gender terhadap kepemimpinan perempuan yang dijustifikasi dengan narasi keagamaan, Dimyati dinilai hipokrit mengingat istrinya sendiri Irna Narulita adalah Bupati Pandeglang periode 2016-2025.
Anaknya, Rizki Natakusumah, dan kedua putrinya Rizka Natakusumah dan Risya Azzahra Natakusumah juga masuk dunia politik dengan mencalonkan diri jadi anggota DPR. Pernyataannya kalau perempuan tak seharusnya diberi beban tanggung jawab besar justru kontras dengan apa yang keluarganya lakukan.
Baca juga: Mundurnya Jacinda Ardern dan 4 Tantangan Perempuan Pemimpin
Kampanye Kotor dan Bias Gender yang Kerap Dihadapi Perempuan Politisi
Di kontestasi politik kita yang masih maskulin dan dominasi politik dinasti, kampanye kotor yang membawa tafsir agama yang bias dan tak kontekstual sering kali dipakai untuk menjegal kepemimpinan perempuan.
Penelitian bertajuk Voting against Women: Political Patriarchy, Islam, and Representation in Indonesia yang diterbitkan oleh Universitas Cambridge (2023) juga menunjukkan bahwa selain narasi keagamaan, narasi bias gender seperti perempuan dianggap lebih emosional dan tak bisa memimpin jadi hambatan lain sulit majunya perempuan di kontestasi politik.
Hal itu diperparah dengan sistem pengkaderan partai politik yang tak jarang hanya menjadikan kandidat perempuan sebatas tokenisme atau titipan politik dinasti alih-alih melakukan pengkaderan yang bisa menumbuhkan potensi dan kemampuan perempuan politisi.
Baca juga: Sejarah Membuktikan Muslimah Dilarang Jadi Pemimpin, Benarkah?
Jejak Kepemimpinan Perempuan
Narasi soal kepemimpinan perempuan tak lebih kompeten dari laki-laki sebetulnya sudah sangat usang dan banyak ditinggalkan. Walau belum ideal, kepemimpinan perempuan juga di kancah global juga sudah mulai diakui. Pada penanganan COVID-19 empat tahun lalu misalnya, hasil riset Centre for Economic Policy Research dan the World Economic Forum menunjukkan bahwa negara-negara yang dipimpin perempuan justru menangani krisis pandemi lebih baik.
Mantan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern contoh nyatanya. Kepemimpinannya yang penuh empati dan humanis justru dipuji jadi kunci kebijakan dalam menangani krisis.