Issues Opini

Kepemimpinan Perempuan, Surat An-Nisa Ayat 34, dan Keraguan Kita

Kita harus berhenti menganggap perempuan tak becus menjadi pemimpin.

Avatar
  • July 31, 2023
  • 4 min read
  • 1459 Views
Kepemimpinan Perempuan, Surat An-Nisa Ayat 34, dan Keraguan Kita

“Perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, tidak boleh. Di dalam Alquran saja sudah dijelaskan laki-laki adalah pemimpin perempuan, tidak sebaliknya.”

Masih lekat di ingatan saya saat dosen penguji berkomentar kepada saya dengan nada merendahkan. Saat itu, sekitar Mei 2023, saya sedang gugup-gugupnya menjalani sidang skripsi yang menandai akhir kuliah selama empat tahun di kampus Islam Jawa Tengah. Kebetulan saya mengangkat topik skripsi tentang kepemimpinan perempuan.

 

 

Belum sempat saya menimpali, ia bilang, “Pedoman hidupmu apa? Alquran dan Sunnah kan? Ya sudah, ikuti rule di dalamnya.”

Padahal di penelitian, saya sudah menjelaskan dengan sangat detail tentang hal yang ditanyakan tersebut. Untung saja saya bersikeras untuk mempertahankan tujuan penelitian. Saya juga dengan tegas tetap menjawab pertanyaan dan komentarnya. Namun begitu, dosen ini tetap meminta saya merombak dan menjahit ulang bagian latar belakang dan kesimpulan skripsi.

Sebenarnya keraguan serupa tak cuma muncul dari dosen penguji. Saat saya menceritakan isi skripsi kepada anggota keluarga, respons mereka juga sama ragunya. Ia menyalahkan penelitian saya padahal sama sekali belum pernah membaca dan memahami landasan ayat yang saya pakai: Surat An-nisa ayat 34. Saya dianggap menentang Alquran dan tidak patuh pada Surat An-Nisa ayat 34. Lucunya, anggota keluarga tidak memberi kesempatan kepada saya untuk menjelaskan lebih lanjut kala itu.

Baca juga: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

Interpretasi Kepemimpinan dalam Surat An-Nisa Ayat 34

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ 

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (Q.S. An-Nisa: 34)

Menurut K.H. Husein Muhammad dalam bukunya “Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender” (2021) menuliskan, para ahli tafsir mengatakan bila qawwam berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain yang semakna. Mereka juga bilang, kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya. Misal, Ar-Razi mengatakan, kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi ilmu pengetahuan (al-‘ilm) dan kemampuan fisik (al-qudrah).

Namun seiring berjalannya waktu , pandangan mengenai kelebihan-kelebihan tersebut telah terbantahkan dengan sendirinya. Realitas sosial membuktikan banyak perempuan yang mampu melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap cuma bisa dikerjakan oleh laki-laki. Bahkan posisi kepemimpinan, seperti kepala negara, kepala kepemimpinan daerah, kepala parlemen, kepala institusi pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, sudah banyak diduduki perempuan.

Dikutip oleh Eti Nurhayati dalam bukunya “Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif” (2012) dijelaskan, Allah melebihkan sebagian mereka (suami) atas sebagian yang lain (istri) disebabkan mereka dapat memberi nafkah, bukanlah perbedaan hakiki, melainkan fungsional. Artinya, bila istri mampu mencukupi dirinya, dari sisi ekonomi bahkan bisa memberikan  sumbangan bagi kepentingan rumah tangga, sementara suami enggak mampu memberi nafkah, maka istri tersebut relatif lebih unggul.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Kepemimpinan Fungsional

Kepemimpinan di sini tidak dibatasi sebagai hak lelaki, tapi siapa saja selama mereka mampu memimpin dan menjalankan perannya secara fungsional. Menurut saya, harus kita akui, kemampuan dan kualitas kepemimpinan enggak ditentukan oleh gender, tetapi kemampuan individu untuk menginspirasi, mengkoordinasi, dan mengambil keputusan yang tepat untuk tujuan bersama.

Zaitunah Subhan dalam bukunya “Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan” (2008) memberi penjelasan tentang ini. Dalam hadis riwayat Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: “Kepemimpinan itu ada di tangan dan berasal dari Suku Quraisy…”

Jika dipahami secara kontekstual, hadis tersebut sebenarnya menyebutkan, siapa saja bisa menjadi pemimpin–apapun gendernya–asal memiliki seperangkat watak Suku Quraisy yang berwibawa, berani, dan mampu menggalang solidaritas kelompok. Kualitas kepemimpinan yang diakui adalah kemampuan untuk memimpin dengan kebijaksanaan, integritas, dan empati.

Di era sekarang, kepemimpinan yang efektif juga dituntut untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan kompleks, serta mampu merangkul inklusivitas di tengah masyarakat. Karena itu, pemahaman tentang kepemimpinan mestinya juga memberi ruang yang cukup buat perempuan berdaya. Maksudnya, kita juga harus menyepakati bahwa perempuan punya hak dan kemampuan yang sama untuk memimpin.

Lagipula sejarah Islam sendiri bukankah sudah membuktikan bahwa perempuan sudah teruji jadi figur pemimpin. Dari Aisyah hingga Khadijah, dari sektor ekonomi hingga intelektualitas. Ingin sekali saya mengajak dosen penguji saya untuk duduk bersama membahas ini suatu hari nanti.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari


Avatar
About Author

Nagita Histimuna Aisyah

Nagita Histimuna Aisyah senang belajar tentang isu pendidikan Islam dan pemberdayaan perempuan. Bisa dijumpai di Instagram: @nh_aisyah17.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *