Perjalanan Dita Yolashasanti Sebagai ‘Caregiver’: Kebahagiaan Kita Perlu Diprioritaskan
Dua tahun berperan sebagai ‘caregiver’ penyintas stroke suami, Dita berbagi kisah tentang pentingnya punya ‘mindset’ positif, ‘support system’, dan membahagiakan diri sendiri.
Jam menunjukkan pukul delapan pagi di Jakarta dan sembilan malam di New York, saat saya bertemu dengan Dita Yolashasanti—pattern designer, maker, dan caregiver asal Jakarta yang menetap di New York. Keinginan saya berjumpa virtual dengan Dita berawal dari perjalanannya sebagai caregiver Pinot, suami Dita, yang merupakan seniman Indonesia dan penyintas stroke sejak 2022.
Mulai saat itu, Dita dan Pinot membagikan cerita mereka di media sosial. Mulai dari perkembangan kesehatan Pinot, Dita dan anak-anaknya yang selalu mendampingi, serta dukungan dari orang-orang terdekat. Dari banyak twitnya, ada satu hal yang Dita tunjukkan: Memberikan harapan dan semangat bagi sesama caregiver agar tak putus asa.
Tertarik dengan kisah tersebut, saya mengajak Dita mengobrol via Zoom meeting, dan ia menyambut hangat.
Sehari setelah ajakan itu, kami membahas kejadian saat Pinot mengalami stroke dan proses pemulihan yang sedang dilalui. Dita juga menceritakan perjuangannya sebagai caregiver sekaligus tulang punggung keluarga, dan Pinot yang sudah kembali berkarya. Berikut kutipan obrolannya.
Hai Mbak Dita, apa kabar? Lagi sibuk apa belakangan ini?
Aku baik. Lagi ngurus Papin (panggilan untuk Pinot) dan “bikin-bikin” sebagai maker. Tahun lalu, aku mulai bikin baju dan jualan lagi karena Papin udah lebih mandiri.
Gimana kondisi Papin sekarang?
Papin stabil. Perkembangannya bukan yang signifikan kayak kaki dan tangannya bisa gerak banget. Dia masih pakai kursi roda karena belum bisa jalan. Energi dan pergerakan anggota badan sebelah kanan juga masih lemah banget.
Tapi ada improvement sedikit-sedikit, pixel by pixel. Yang penting sehat sih, itu yang dijaga supaya enggak gampang sakit.
Baca Juga: Pentingnya Rekognisi Pekerjaan Perawatan
Waktu Papin kena serangan itu gimana ceritanya, Mbak?
Pas kami mau tidur, Papin duduk di pinggir kasur. Dia berusaha angkat tangan kanannya dan kelihatan kesusahan ngelakuinnya. Aku hampirin, wajahnya yang kanan agak turun terus Papin susah ngomong. Langsung aku telepon 911 karena udah pasti stroke.
Di situ Papin bilang enggak usah, tapi menurutku ini serius. Tim medis juga sempat bilang, penangananku bagus karena cepat banget nelponnya. Walaupun akhirnya kondisi Papin langsung drop ya, sampai rumah sakit udah koma.
Lalu prognosisnya buruk banget. Dari hasil CAT scan, pembuluh darah Papin di batang otak pecah—di mana itu pusat kendali fungsi tubuh, dan itu enggak mungkin dioperasi.
Dokter langsung nawarin, ini perawatannya mau dilanjutkan atau selesai? Kalau mau lanjut, catatannya harus siap seumur hidup Papin dalam kondisi koma. Napas aja mesti dibantu ventilator.
Kami dikasih waktu hampir dua minggu untuk memutuskan, lepas alat atau lanjut perawatan. Soalnya semakin lama enggak diapa-apain, kondisi badan Papin juga menurun. Selama dua minggu itu, kami didatangi berbagai pemuka agama dari rumah sakit. Mereka nemenin supaya kami siap kalau harus melepas alat. Anak-anak juga didampingi pekerja sosial.
Bahkan diajarin cara melepas alat juga. Tapi kalau ditanya sekarang gimana caranya, aku lupa karena waktu itu masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
Akhirnya Mbak Dita dan keluarga memilih melanjutkan perawatan Papin ya.
Iya walaupun susah juga ya. Dokter di sini (AS) bilangnya enggak bisa diteruskan perawatan karena enggak mau kasih harapan palsu. Tapi kami konsultasi juga dengan Profesor Eka Wahjoepramono, neurolog di Indonesia. Kata beliau, harapan itu ada cuma perlu tahu risikonya. Akan jadi perjalanan panjang untuk penyembuhan dan rehabilitasi. Beliau juga menggambarkan kondisi ke depannya akan seperti apa.
Di situ kami senang, merasa ada harapan. Lalu aku tanya Papin, “Masih mau melanjutkan perjuangan ini enggak? Bantu aku dong untuk memutuskan. Kalau Papin udah enggak mau melanjutkan, aku dan anak-anak ikhlas.”
Kupikir Papin akan kasih tahu lewat mimpi. Pas hari terakhir kami harus memutuskan, ada WhatsApp dari timnya Prof. Eka. Katanya dilanjutin aja perawatannya, darah yang menyebar di otak bisa menyerap. Aku merasa mantap bilang ke dokter untuk melanjutkan perawatannya. Ternyata jawaban itu datangnya bisa dari orang lain—enggak harus dari Papin.
Setelah itu, langsung ada tindakan trakeostomi untuk alat bantu napas. Di perut juga dipasang tabung supaya makanan bisa masuk dari selang. Dua hari setelah operasi, Papin buka mata.
Kalau membandingkan dua tahun lalu dengan sekarang, berkat banget ya, Mbak?
Iya dong. Dari enggak ada harapan dan dokter di sini udah nyerah. Dulu aku nemenin Papin setiap hari, berangkat dari rumah sebelum jam 12 siang dan pulangnya sekitar jam tujuh atau delapan malam.
Aku ajak Papin ngobrol, dengerin musik kesukaannya. Lalu minta teman-teman dan keluarga untuk merekam cerita masa kecil Papin untuk menstimulasi ingatan. (Stimulasi) semua indra sebenarnya. Aku juga bawain Kopi Kapal Api dari rumah—karena itu favorit Papin, terus di rumah sakit kuarahin (aromanya) ke dia.
Baca Juga: #MerekaJugaPekerja: Banyak Perempuan Berhenti Kerja demi Urus Keluarga, Kenapa Masih Tak Diakui?
Mbak Dita merawat Papin sendirian?
Aku beruntung punya support system yang sangat kuat. Adikku terbang dari Indonesia, terus ada teman-teman di sini. Mereka nemenin di rumah sakit, menyediakan makanan juga. Jadi aku enggak pernah mikir mau makan apa karena selalu tersedia.
Anak-anak pun ikut merawat Papin. Kami bersyukur banget, walaupun mereka masih remaja ya lagi senang-senangnya main, tapi kelihatan sayang banget sama Papin. Nggak kagok mengurusnya.
Terus mungkin ini kedengeran klise, tapi dukungan teman-teman di medsos jadi energi yang membantuku tetap berdiri. Mereka juga ikut mendoakan.
Sebelumnya ada pengalaman merawat dan mendampingi pemulihan pasien stroke?
Enggak ada. Perjalanan caregiving ini learning by doing. Trial and error aja. Baca-baca, nonton di YouTube. Terus di Instagram follow terapis fisik dan okupasi. Soalnya terapi nggak bisa bergantung sama tempat rehabilitasi, harus dilakukan sendiri di rumah. Setelah itu terbiasa melakukan perawatan, jadi bagian kehidupan sehari-hari.
Sebelum Papin diperbolehkan pulang dari rehabilitasi di Kessler, New Jersey, keluarga dilatih untuk membantu pasien di rumah. Gimana mindahin (pasien) dari tempat tidur ke kursi roda, bersihin dan mandiin. Terus kasih makan lewat tabung yang dikaitkan ke selang—makanannya cair kayak di botol susu, sama minum obat dan nguras pipis karena pakai kateter.
Semuanya diajarin dan ini juga melibatkan anak-anak ya. Itu kami sehari dilepas tanpa bantuan perawat, jadi pas pulang ke rumah enggak kaget.
Apa tantangan dan momen terberat selama jadi caregiver?
Aku susah kalau ditanya kayak gitu, soalnya pelupa dan enggak inget hal yang menyusahkan. Lebih menjalani yang ada di depan mata, walaupun pahit ya. Kalau menganggap ini penderitaan, menyesali Papin nggak bisa melakukan ini itu, urusannya nggak pernah selesai. Selain pelajaran hidup, kejadian ini adalah pelajaran spiritual buatku dan Papin untuk mengasah jiwa kami.
Jadi aku mengabaikan masa lalu dan masa depan. Be present aja. At the end all is well kok, dan bantuan selalu datang dengan cara tak terduga. Kayaknya mindset positif ini membantu menarik hal-hal baik. Aku justru merasa, kalau berlarut malah enggak bisa berbuat apa-apa karena yang dirasain hal-hal jelek terus. Makanya aku berusaha berpikir positif, berusaha yang terbaik, dan menyerahkan semuanya pada Tuhan. Pasti ada jalannya.
Jangan lupa menghargai setiap berkat kecil, yang sering kali kelewatan atau nggak dianggap. Padahal bisa disyukuri untuk membantu perjalanan ke depan lebih mudah.
Tapi gimana cara Mbak Dita merangkul kesedihan?
Aku udah enggak bisa nangis, tapi rasanya pengen muntah terus—kayaknya langsung nyerang pencernaan ya saking terlalu khawatir.
Cuma kalau lagi mau nangis, aku nangis untuk keluarin semuanya. Anggapannya membersihkan hati, biar enggak numpuk di badanku terus jadi penyakit karena memendam emosi. Setelah itu menyiapkan ruang lagi di hati untuk menerima emosi yang baru.
Di sekitarku juga ada orang-orang yang bisa aku reach out untuk ngobrol, atau minta selipin nama dalam doa. Ya kadang-kadang frustrasi, tapi kalau berlebihan nggak akan menyelesaikan masalah.
Sempat mengalami caregiver burnout?
Ada banget. Pas adikku masih di sini, bisa gantian merawat Papin ya. Sekarang kalau lagi capek banget, dikomunikasikan aja ke anak-anak minta bantuan mereka. Misalnya aku nyiapin makanan, mereka yang nyuapin atau nyiapin meja makan. Hal-hal kayak gini membantu banget.
Aku sampaikan juga ke Papin. Ini ya menurutku komunikasi sama pasien penting banget. Aku sangat beruntung, Papin itu pasien yang sangat pengertian dan sabar, jadi hubungan kami mutual. Enggak semua orang seperti ini.
Aku sering dapat DM dari sesama caregiver dengan kondisi pasien pemarah. Akhirnya jadi sangat emosional karena menurut kami, stroke juga menyerang mental—sebelumnya mandiri tiba-tiba enggak berdaya.
Baca Juga: Bekerja 100 Jam Per Minggu tapi Tak Dianggap Produktif
Gimana Mbak Dita membangun komunikasi dengan Papin supaya saling mengerti satu sama lain?
Mungkin dari hubungan sebelumnya ya: Gimana Papin memperlakukanku dan anak-anak, sayangnya ke kami, pengorbanan membawa kami ke AS. Itu sebuah perjuangan.
Saat dalam kondisi enggak beruntung kayak sekarang, semuanya berbalik ke dia. Kami sayang banget sama Papin, dan berusaha membalas yang pernah diberikan. Jangan sampai menyerah.
What keeps you going, Mbak?
Love. Aku enggak tahu, kayaknya ada sesuatu yang kasih tahu aku akan ada suatu kebaikan yang terjadi untuk kami. Itu aja yang bikin aku terus melangkah. Aku ingat hidup enggak akan selamanya begini, akan ada masa-masa menyenangkan, stabil lagi. Apalagi kalau kita melakukan yang terbaik.
Kalau lagi capek fisik dan emosional, apa yang Mbak Dita lakukan?
Jahit. Kayak cari masalah baru ya sebenarnya? Hahaha. Buatku, hati kita harus senang untuk melewati hal-hal sulit. Gimana bisa ngelewatinnya kalau kondisinya sedih, capek, kelihatannya menderita banget? Tapi kalau kita senang, menurutku pintu kemudahan dan kesempatan itu akan terbuka.
Makanya yang jadi prioritasku itu bikin diri sendiri senang. Setiap orang berbeda ya, kebetulan aku punya hobi dan kemampuan menjahit yang kucintai. Jadinya senang banget mengerjakan hal yang kusuka.
Terus gimana bagi waktu untuk Papin, ngurus anak-anak, diri sendiri, dan pekerjaan?
Anak-anak udah besar ya, bukan yang butuh diurusin banget. Mereka bisa mandiri jadi aku enggak kesulitan membagi waktu. (Kalau pekerjaan) waktu itu lagi enggak ada yang masuk. Sempat sih di awal (Papin sakit) ada project dari Indonesia, tapi saat itu ada adikku. Kalau aku lagi megang pekerjaan, dia yang merawat Papin. Atau gantian sama anak-anak.
Sebenarnya di masa-masa itu sempat ngerasain, kok lagi nggak ada pekerjaan ya. Tapi kupikir, mungkin memang dikasih waktu untuk fokus merawat Papin.
Tapi selama Papin sakit dan sekarang proses pemulihan, Mbak Dita jadi tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan finansial?
Di AS kami punya asuransi social security. Kalau yang bersangkutan disabilitas, keluarganya dapat disability benefit. Saat ini kami hidup dari asuransi itu sambil aku kerja untuk menghidupi keluarga. Memang ada masa-masa hidup kami nggak berlebihan (secara finansial), tapi cukup. Itu alhamdulillah banget. Tantangan lain lagi pas tabungan lama-lama habis.
Tapi aku diingetin Papin, kita punya akal yang bisa dipakai untuk nyari rejeki. Dan rejeki nggak pernah tertukar ya, buat kami akan selalu ada.
Setelah Papin lebih mandiri—bisa berkarya lagi di komputer, aku dan adikku nyambi kerja. Dia pattern maker dan bisa menjahit, jadi kami jahit baju untuk dijual di pasar.
Kapan Mbak Dita mulai jualan lagi?
Tahun lalu, pas masuk musim gugur kami jualan baju dan syal. Terus Februari tahun ini adikku pulang (ke Indonesia), aku ngerjain sendiri jahitannya sambil ngurus Papin. Ternyata bisa.
Proses pemulihan Papin kelihatannya menyenangkan ya, Mbak. Terapi sambil utak-atik komputernya. Gimana caranya?
Papin menganggap utak-atik komputer itu terapinya. Dia sadar, hati yang bahagia memudahkan segalanya—termasuk orang yang merawat. Kami yang merawat Papin enggak pernah merasa susah atau beban, ya dijalani aja bareng-bareng. Misalnya setiap hari ketawa bareng anak-anak, itu menenangkan emosinya, hatinya, dan bagian dari terapi.
Papin lagi bikin apa belakangan ini?
Masih latihan menggambar pakai tangan, kalau pakai komputer udah ada dua karya. Tahun lalu, karyanya dilelang. Papin jadi guest artist di Jakarta Illustration and Creative Arts Fair di Ashta District 8. Terus bulan lalu dijual di Brightspot Market dalam bentuk kaos. Selain itu udah bikin (ilustrasi) Brooklyn Bridge juga, dan sekarang lagi buat ilustrasi Bundaran HI.
Tanggal 14 September nanti Papin rilis buku di New York sama penerbit dari London. Agustus nanti juga ada beberapa event, tapi belum bisa dibocorin ya soalnya belum pasti.
Produktif banget ya, Mbak. Setiap hari ada yang dikerjakan?
Iya, soalnya berkarya itu ngasih energi baik buat Papin dan kami. Dibandingkan diam aja, enggak ada energi yang balik.
Lalu setelah kondisi Papin membaik, gimana cara Mbak Dita kembali menyelaraskan kehidupan?
Jalanin hidup sebaik-baiknya aja, terus yakin kita akan selalu dibantu dan dibimbing. Plus, jangan lupa bikin hatimu senang karena itu membawa banyak berkat sekaligus kemudahan. Ini terbukti selama perjalanan kami. Walaupun situasinya susah, buat diri sendiri senang dulu sebelum menghadapi situasi itu ataupun menyenangkan orang lain. Kebahagiaan itu penting.
Aku lihat di medsos, sejak Papin dirawat di rumah sakit, Mbak Dita sharing tuh dengan sabar, tenang, dan semangat. Bahkan menyebut kejadian ini sebagai pelajaran hidup yang komplit dengan ujian. Apa kuncinya supaya membawa vibes positif sebagai seorang caregiver?
Mungkin didikan orang tua juga sejak aku masih kecil. Hidup kami enggak serba mudah, tapi aku melihat papa dan mama enggak pernah nyerah. Mereka selalu melakukan yang terbaik, apa pun yang terjadi.
Lalu dari remaja, aku terbiasa menikmati ketidaknyamanan. Kalau bisa menikmatinya, buatku itu melegakan hati. Enggak ada attachment dengan emosi negatif. Ini kayaknya terbawa sampai sekarang, jadi belajar tetap positif karena “di ujung sana” ada cahaya. Yang kita alami ini pelajaran untuk memperkaya jiwa. Kan sebagai manusia, kita selalu tumbuh.
Ada yang mau disampaikan untuk para caregiver, Mbak?
Jangan lupakan dirimu sendiri. Kalau merasa sedih, lepaskan, jangan berlarut. Melambat enggak apa-apa, tapi jangan berhenti. Kalau pace kehidupan melambat, dinikmati aja. Semuanya udah diatur dan ada jalan keluarnya.
Sebagai caregiver, cari kebahagiaan sendiri karena akan berpengaruh saat kita merawat pasien. Terlebih kalau (pasiennya) enggak kooperatif, itu jadi tantangan tersendiri lagi.