Issues Opini Politics & Society

Mimpi Raja Charles III Bela Semua Agama

Bagaimana penobatan Raja Charles III mencerminkan keinginannya untuk membela semua agama.

Avatar
  • May 10, 2023
  • 5 min read
  • 973 Views
Mimpi Raja Charles III Bela Semua Agama

Tiga dekade lalu, Raja Charles – kala itu masih Pangeran Charles – menyiratkan cita-citanya untuk menjadi pembela agama saat jadi raja. Sebab, ia tak puas hanya dengan mewarisi gelar tradisional raja atau ratu sebagai “pembela agamanya” (defender of faith).

Memang, pemegang takhta kerajaan Inggris bersumpah setia pada agama Protestan dan sebagai pemimpin tertinggi Gereja Inggris. Namun, Charles telah berulang kali bilang, ingin menjadi pelindung semua agama utama, baik Kristen maupun non-Kristen.

 

 

Selama beberapa dekade, pengamat kerajaan sudah mulai berspekulasi bagaimana bentuk penyelenggaraan penobatan akan berlangsung di zaman desentralisasi dan pluralisme agama yang meluas, serta meningkatnya sekularisasi.

Meski ada beberapa usulan reformasi atau perubahan menjadi upacara sipil, acara penobatan takhta tetap dilakukan melalui liturgi ritual kebaktian Gereja Inggris. Hanya saja, kali ini ada upaya mencari keseimbangan antara cara lama dan baru, memperluas lingkup simbolis, serta mengundang perwakilan agama-agama yang lebih besar dan beragam.

Ritual kebaktian tersebut telah dirancang sebaik mungkin seperti yang diharapkan dari sebuah teks hasil persiapan selama beberapa dekade, sebagi wujud negosiasi antara para pemimpin gereja, ahli kebaktian, pejabat istana, aparatur negara dan perwakilan dari berbagai gereja dan kepercayaan lain.

Penobatan kali ini mencoba mengolah ritual lama, yang berasal dari abad pertengahan dan sebagian besar tidak berubah sejak Reformasi abad ke-16, menjadi sebuah ritual bernuansa kontemporer.

Biasanya ada sesi penghormatan oleh bangsawan turun-temurun, tapi kini digantikan oleh penghormatan oleh rakyat. Dulu sifatnya cenderung eksklusif, sekarang lebih inklusif. Untuk pertama kalinya, perempuan turut serta dalam elemen upacara. Rishi Sunak, Perdana Menteri Inggris pertama yang berasal dari kalangan Hindu, membacakan sebuah ayat Alkitab dalam upacara ini.

Baca juga: Skeptis dengan Meghan Markle? Faktanya Rasialisme Mengakar di Inggris

Perbedaan yang paling mencolok dari penobatan Ratu Elizabeth II pada tahun 1953 adalah partisipasi dari para penganut agama non-Kristen. Kebaktian dibuka dengan prosesi oleh pemimpin dan perwakilan komunitas agama. Penyerahan simbol kerajaan (regalia) – termasuk mahkota dan tongkat – kepada Raja Charles dibuat lebih kompleks, utamanya untuk mengakomodasi anggota Dewan Bangsawan (House of Lords) yang beragama Islam, Yahudi, Hindu, dan Sikh.

Pada akhir upacara, ada salam yang diucapkan secara kolektif oleh para pemimpin dan perwakilan dari komunitas Yahudi, Hindu, Sikh, Muslim, dan Buddha. Pernyataan bersama ini mencerminkan tema utama “pelayanan publik” yang telah dimasukkan ke pelayanan tradisional pengkudusan Raja:

Tetangga dalam iman, kami mengakui nilai pelayanan publik. Kami bersatu dengan orang-orang dari semua agama dan keyakinan dalam ucapan syukur, dan dalam pelayanan dengan Anda (Raja) untuk kebaikan bersama.

Doa selama pemberkatan diucapkan oleh para pemimpin Gereja Ortodoks Yunani di Inggris, organisasi Free Churches dan Churches Together in England, dan, mengingat sejarah kekristenan kerajaan serta Inggris sebagai negara, oleh Uskup Agung Katolik Roma dari Keuskupan Westminster.

Salah satu inovasi dalam penobatan Ratu tahun 1953 adalah adanya salinan Alkitab yang diberikan kepada Ratu oleh moderator majelis umum Gereja Skotlandia, kepala dari gereja kedua yang didirikan di Inggris. Sekarang, Uskup Agung Gereja Irlandia, Uskup Agung Gereja di Wales, dan Kepala Gereja Episkopal Skotlandia turut terlibat dalam berbagai sesi dalam agenda penobatan. Musik dinyanyikan dalam bahasa Wales, Gaelik Skotlandia, dan Gaelik Irlandia.

Baca juga: 5 Sisi Ratu Elizabeth II yang Jarang Dibicarakan Orang

Penobatan untuk Penonton Modern

Karena ada jutaan penonton global era modern yang menyaksikan upacara penobatan ini, banyak elemen kuno yang perlu dijelaskan. Ini tak hanya terkait makna kata-kata, tindakan, dan regalia, tetapi juga simbolisme dan relevansinya dengan masyarakat masa kini. Oleh karena itu, diterbitkanlah versi kedua kebaktian, dengan keterangan tambahan. Sesi khotbah oleh Uskup Agung Canterbury (dihilangkan pada tahun 1953) sekarang juga diperkenalkan kembali untuk dapat memberikan penjelasan lebih lanjut pada audiens.

Akibatnya, seluruh ritual ikut direvisi. Beberapa struktur dan kegiatan kuno tetap dipertahankan, tetapi banyak dari kata-kata yang menyertainya disusun ulang dan dipersingkat. Perjamuan kudus, yang merupakan bagian integral dari pengkudusan seorang pemimpin kerajaan Kristen, dilakukan tidak berdasarkan Buku Doa Umum yang digunakan sejak 1559, tetapi dengan merujuk pada kutipan dari Ibadah Umum yang diperkenalkan pada 2000.

Sumpah secara agama, yang diwajibkan oleh undang-undang dan akan menjadi hal yang aneh jika diubah oleh parlemen, didahului dengan kualifikasi. Uskup Agung menyatakan Gereja Inggris, yang dijunjung tinggi oleh Raja melalui sumpah, berkomitmen tidak hanya untuk “mengakui Injil secara sunggih-sungguh”, tetapi juga untuk “membina lingkungan di mana orang-orang dari semua agama dan kepercayaan dapat hidup bebas”.

Para pemimpin gereja lain telah turut mengambil bagian dalam prosesi besar kerajaan dan nasional sejak 1980-an, dan komunitas agama lain telah diwakili selama lebih dari 20 tahun.

Pada acara keagamaan pada perayaan “diamond jubilee” (60 tahun kekuasaan) pada 2012, Ratu Elizabeth II mengungkapkan keyakinannya bahwa tujuan gereja harus termasuk perlindungan terhadap kebebasan praktik keagamaan untuk semua agama di Inggris.

Sebagai kepala negara simbolis, pemimpin kerajaan harus berusaha untuk mewakili seluruh kalangan. Dalam transformasi budaya agama, Gereja Inggris membutuhkan cara baru untuk membuktikan posisi istimewanya sebagai gereja nasional. Semua ini menjelaskan adanya pembaharuan dalam penobatan Raja Charles III.

Philip Williamson, Emeritus Professor of Modern British History, Durham University.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Philip Williamson

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *