Culture Prose & Poem

Api di Musim Semi

Aku berdiri meninggalkan Mama sendiri. Berjalan zig-zag menertawakan nasibku seperti orang gila. Orang-orang memandangku, berbisik-bisik dan tersenyum mengejek.

Avatar
  • February 23, 2024
  • 13 min read
  • 2656 Views
Api di Musim Semi

Tanpa melihat jam aku tahu hari sudah malam. Aroma bitterballen di toko sebelah telah tercium sejak beberapa jam lalu. Biasanya sebelum pulang kerja, aku membeli jajanan serupa kroket itu untuk makan malamku. Namun malam ini, kami sesama arsitek berencana ke restoran merayakan deal besar buah dari kerja tim.

Aku berganti baju di toilet. Kulepas baju kantoran: Celana panjang dan hem, kugantikan dengan gaun sebatas lutut tanpa lengan. Sengaja tak kukenakan blazer. Kupamerkan kulit kuning langsat perempuan jawa. Ikatan rambut kulepas, gelombangnya tergerai hitam sepinggang. Blush merah muda kutaburkan di kedua garis pipi dan gincu merah menyala di bibir. Aku juga berganti sepatu, dari escarpin tanpa hak menjadi sepatu high heels 15 cm. Kuperhatikan diriku terakhir kalinya sebelum keluar dari toilet: Aku lebih menyerupai tamu piala Oscar ketimbang orang yang akan makan di restoran.

 

 

“Kau sempurna, Julia schat*,” kata Hans. 

Suaranya terdengar berasap di telingaku. Keempat kolega pria lainnya juga berdecak kagum. Mata mereka berbinar, mereka semua memujiku. Namun, hanya ucapan Hans yang memantik antusiasku. Segala usahaku memang untuk menarik perhatian Hans. Entah mengapa aku melakukan itu, padahal ketika Hans menyatakan cintanya padaku aku menolaknya mentah-mentah karena statusnya sudah beristri. Bahkan ketika ia mengatakan ingin bercerai dari istrinya, aku tetap menghindarinya, meskipun aku juga mencintainya. Aku tidak ingin disebut perempuan perebut suami orang. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga. Aku ingin pernikahanku terjadi tanpa beban masa lalu dan akan sangat membanggakan, seperti pernikahan Mama dan Papa.

Baca juga: Cerpen: Nina Si Bule Kampung

Kami berenam menaiki tram dari Hannie Dankbaarpassage menuju Café Restaurant De Plantage. Tram penuh sesak oleh turis. Aku heran, Plantage adalah area resedential di Amsterdam. Umumnya para turis lebih senang berjubal di Jordaan, De Pijp, atau di Red Area. Awalnya aku manyun harus berhimpit-himpitan dengan penumpang tram, tetapi ketika tubuh kekar Hans tepat di belakangku, hatiku bergejolak. Dadanya menempel di punggungku. Ah, seolah-olah aku bisa mendengar degup jantungnya. Bising perjalanan membuat Hans harus berbisik bila ingin berkata-kata atau menceritakan anekdot kecil. Tiap kali berkasak-kusuk bibirnya merekat di telingaku. Kurasakan sensasi yang mengalir dari ujung rambut ke ujung kaki. Betapa perjalanan selama hampir 30 menit terkesan sangat singkat, aku ingin lebih lama seperti ini.

Kami turun di Lopen pada pukul sembilan malam. Matahari baru saja tenggelam di pertengahan bulan Mei. Semilir angin sepoi yang mulai dingin menyapu leher dan bahuku yang terbuka. Aku menyilangkan tangan. Hans paham aku kedinginan, ia melepas mantelnya untuk diletakkan di atas kedua bahuku. Kami saling memandang dan kuberikan senyum termanis sebagai ganti ucapan terima kasih. Para kolega masih berjalan dan asyik berbicara satu sama lain. Mereka tidak menyadari percakapan-percakapan batin antara aku dan Hans ketika mata kami saling beradu.

Kami tiba di Café Restaurant De Plantage. Restoran dengan arsitektur bangunan modern sekaligus konservatori klasik. Hans duduk tepat di depanku. Tangan kami hampir bersentuhan, kedua mata birunya menguntit setiap gerakku, dan bara sengaja ia sisipkan dari caranya memandang. Aku benar-benar salah tingkah.

Telepon genggamku bergetar. Seluruh gelora sejenak padam. Kuperiksa siapa si penelpon dan siap untuk tidak menjawab karena aku ingin kembali pada cambur limbur rasa beberapa detik lalu. Ternyata Tante Innes, adik mama yang coba menghubungiku. Aku mengernyitkan dahi. Bukankah di Semarang pukul tiga dini hari? Untuk apa menelpon selarut ini?

“Halo, Tante,” sapaku sambil berdiri dan keluar meja makan restoran menuju teras.

“Julia pulang, Nok*. Pa-pa-mu….”

Suara Tante Innes terdengar terbata-bata dan diselingi tangisan pada tiap kata yang ia ucapkan. Ia mengabarkan bahwa Papa dan Pak Pomo, sopir kami meninggal dunia. Mobil yang mereka tumpangi tertabrak truk yang lepas rem. Tak hanya itu, Mama dirawat di rumah sakit karena serangan jantung mendengar kabar kematian Papa.

Kututup telepon dan entah berapa lama mematung di teras restoran, lalu Hans mendatangiku.

“Kenapa Julia schat?” tanya Hans khawatir.

“Oh, Hans ….”

Kubenamkan wajahku di dadanya. Ia memeluk erat tubuhku. Sambil terisak kuceritakan berita tentang Papa dan Mamaku. Aku segera melepaskan pelukan ketika salah satu kolega datang. Aku pamit meninggalkan restoran karena harus segera berkemas dan terbang ke Indonesia. Hans menawarkan menemani aku pulang, tetapi aku menolak. Aku tidak mau ada gosip di kantor.

Baca juga: Mengapa Semua Orang Menyalahkan Mama?

Taksi datang membawaku menuju apartemen. Dalam perjalanan, aku membeli tiket penerbangan paling awal ke Indonesia. Kupilih maskapai mahal tanpa transit. Penerbangan langsung dari Amsterdam ke Jakarta tanpa berhenti di Istanbul atau Abu Dhabi atau kota lainnya. Terus terang, aku malas melayani pertanyaan sok akrab para TKW di ruang tunggu bandara. Apakah mereka tidak bisa melihat, jelas-jelas kami berbeda. Mereka bekerja di luar negeri untuk hidup sedangkan aku ini seorang ekspatriat, bekerja untuk karier. Sebuah pengalaman dan batu loncatan saja, karena sebentar lagi aku akan memegang perusahaan properti milik Papa.

Malam ini aku tidak bisa tidur. Lampu kamar sudah aku matikan, tapi pikiranku tak karuan. Terlintas bayang-bayang Papa, lalu Mama, dan kenapa pula ada wajah Hans yang membuat aku terjaga?

Tanpa tidur sekejap pun, jam 11 pagi aku sudah berada di bandara Schiphol. Aku tak sabar melewati penerbangan berdurasi 14 jam. Kupilih tempat duduk di dekat jendela agar bisa lebih bebas terlelap. Namun seperti orang kebanyakan minum kopi, mata ini masih saja sulit terpejam. Aku tetap tidak bisa tidur. Dengan malas aku bermain-main dengan layar di depan tempat dudukku. Mencoba memilih film, tapi tak ada satu pun yang membuatku berminat.

Terdengar bisik-bisik sepasang kekasih di sampingku. Aku melirik tanpa sepengetahuan mereka yang asyik masyuk bermesra. Kuamati keduanya, mereka tidak lagi muda. Usia mereka setara dengan orang tuaku. Meskipun bukan pasangan muda, tetapi kelakuan mereka seperti remaja yang sedang dimabuk cinta. Si perempuan bersandar manja, sedangkan si pria membelai rambutnya dan tak segan memuji, “Kamu cantik, Sayang,” katanya berulang. “Malu ah, Mas, malu,” jawab si perempuan dengan senyum kecil sambil melihat ke arahku, seakan minta pemakluman.

Malu? Mana kalian punya malu, pikirku. Huh, dasar pasangan selingkuhan. Menjijikkan. Aku tidak menyambut senyum si perempuan itu. Aku melengos dan mengeraskan musik di headphone, lalu kututup mataku pura-pura tidur.

Jam enam pagi keesokan harinya, akhirnya aku mendarat di Cengkareng dan terbebas dari pemandangan dua ular tua yang saling melilit erat selama penerbangan. Aku transit beberapa saat di Jakarta menunggu penerbangan ke Semarang.

Setiba di bandara di bandara Ahmad Yani, Tante Innes menjemputku. Sejak suaminya meninggal dan tanpa keluarga, ia tinggal bersama kami. Sopir baru membantu membawakan bagasiku.

Mobil melaju. Tidak seperti biasanya, Tante Innes menjadi pendiam dan tampak sangat gelisah. Setiap kali ia membuka mulut, ia mengulang kata-kata yang sama, “Sabar ya, Nok. Sabar.” Kemudian, seolah ia ingin menyampaikan sesuatu, tapi tidak jadi. Aku tidak mengerti. Ya, tentu saja aku harus sabar dengan meninggalnya Papa. Aneh. Lalu, aku mengangguk-angguk saja untuk menyenangkannya.

Tidak seperti yang kubayangkan bahwa akan ada pawai keramaian bela sungkawa dan jajaran karangan bunga panjang membentang, sesampai di depan gerbang rumah, aku hanya melihat dua karangan bunga bertuliskan ‘Turut Berduka Cita Bapak Gunawan’. Bahkan hanya puluhan saja pelayat hadir. Aku tak habis pikir, dulu sewaktu Papa masih hidup banyak sekali orang-orang menjilat, bermanis-manis di depan Papa. Sekarang Papa meninggal, penghormatan terakhir pun tidak ada. Awas nanti kalau aku jadi direktur, ancamku dalam hati.

Aku menjadi enggan melayani mereka dan memilih langsung masuk ke kamar. Biarlah Tante Innes menjamu pelayat. Kepalaku masih pening dan aku ingin tidur sebentar. Tubuhku baru saja kurebahkan, tapi tiba-tiba aku teringat Papa. Ah, Papa, sebelum tidur aku ingin menciummu untuk terakhir kalinya.

Aku keluar kamar lagi mencari-cari keranda Papa. Aku turun ke lantai dasar di ruang keluarga, tapi tidak ada. Hanya ada Ipah, pembantu kami sedang membersihkan ruangan.

“Di mana jenazah papa?” tanyaku.

Ipah membuka mulut, tapi tak satu pun kata keluar. Tante Innes datang dan menjawab dengan sangat hati-hati, “Papamu sudah dikubur, Nok.” Ia menghela napas sebentar lalu melanjutkan, “Ta-tadi pagi.”

“Tadi pagi? Hah, apa-apaan ini. Siapa yang suruh? Ngapain juga aku pulang cepat.” teriakku berang. “Seharusnya semua keputusan dikonsultasikan padaku. Aku pengganti Papa sekarang. Ngerti!”

Tante Innes hanya menunduk dan sama sekali tak membalas ucapanku yang berapi-api. Sialan. Karena hal ini kepalaku bertambah pening.

“Ipah, parasetamol!” bentakku kepada pelayan yang seusia Tante Innes.

Baca juga: Perempuan yang Menikahi Maut

Ipah tersentak seperti tersengat wajan panas, lalu ia berlari kecil. Aku membalikkan badan menuju kamarku. Napasku turun naik tidak karuan, mondar-mandir dari satu sudut kamar ke sudut lainnya.

Beberapa saat kemudian, Tante Innes memasuki kamarku dan memintaku duduk tenang. Aku menurutinya. Ia pun duduk di tepi ranjang di sampingku. Dengan sangat lembut ia mengelus-elus rambutku dan meminta maaf karena tidak memberitahukan sebelumnya bahwa Papa sudah dikubur. Setelah emosiku mereda ia memintaku, “Ke rumah sakit jenguk mamamu ya, Nok.” Mulutku masih bersungut, tapi aku mengangguk.

Kami berangkat menuju rumah sakit. Mama dirawat di Unit Gawat Darurat. Tubuhnya dikelilingi alat monitor hemodinamik, elektrokardiogram, selang infus bahkan kateter. Seorang perawat meminta kami tidak memasuki ruangan. Aku memandangi Mama dari jauh. Kecantikannya masih terpancar. Usianya 50 tahun, lima tahun lebih muda dari Papa, tapi keanggunannya sempurna. Bahkan dalam keadaan koma seperti ini, ia masih memesona. Sejak kecil aku selalu ingin seperti Mama.

Entah berapa lama aku memandanginya, tanpa sadar Tante Innes tidak lagi di sampingku. Aku mencarinya dan ketika kutemukan, ia berada tak jauh dari kamar Mama. Di ruang UGD pula, sedang bercakap dengan seorang perempuan muda seusiaku atau satu tahun lebih tua, sekitar 25 tahun-an. Gelagat Tante Innes aneh. Memalukan menurutku. Ia menatap lantai setiap kali perempuan itu bicara, ia seperti kacung yang takut pada juragannya. Mereka berhenti bercakap saat melihat aku memerhatikan mereka.

“Siapa dia, Tante?” tanyaku ketus saat Tante Innes menghampiriku.

“Anu, Nok. Dia Mbak Merista,” jawab Tante Innes, “Mmm, putrinya Bu Irma.”

“Siapa pula Bu Irma?”

“Anu…” Tante Innes berhenti sesaat. “Dia di mobil bersama papamu saat kecelakaan, Nok. Sekarang dalam keadaan koma.”

“Sekretaris Papa?” tanyaku menyelidik.

“Bu Irma,” Tante Innes mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Dia, istri papamu juga.”

Sontak aku dorong tubuh Tante Innes menjauh. Aku tidak percaya pada apa yang baru saja aku dengar. Lama aku pandangi tanteku itu. Aku ingin meneriakinya lagi, tapi aku tidak ingin ada skandal di ruang terbuka. Aku memilih menutup rapat mulutku, tanganku mengepal, hatiku terbakar, aku meradang. Kedua pelipisku seakan ditusuk jarum, detak jantungku mulai tidak beraturan, keringat dingin meleleh, penglihatanku kabur. Akhirnya tubuhku goyah. Aku tersungkur tak sadarkan diri.

Saat terbangun, aku berada di salah satu ruang UGD. Ironis sekali. Kami bertiga berada di rumah sakit yang sama. Aku tertawa sinis tanpa suara. Berkali-kali. Dadaku berguncang-guncang karena tawa yang kupaksakan. Sesak. Aku ingin menangis, tapi tak bisa. Mataku panas oleh api kemarahan. Aku tak habis pikir mengapa Papa menyimpan perkawinan yang lain. Apa kurangnya Mama? Terbayang sepasang kekasih tua di pesawat itu adalah Papa dan Bu Irma. Oh, aku muak.

“Aaarg!” Aku berteriak sekuat-kuatnya melepas semua derita di batinku. Tanganku mengubrak-abrik peralatan medis di sekelilingku. Perawat tergopoh memasuki ruangan, lalu ia mendekat dan meminta aku tenang. Saat ia sangat dekat, aku tarik kerudungnya, mataku melotot memintanya membantuku membuka selang infus. Ia pun menurut.

Dengan masih menggunakan pakaian putih pasien dan berbalut jaket, aku sempoyongan menuju ruangan Mama. Aku ingin mengadu kepadanya. Tanpa sengaja, aku berpapasan dengan Merista. Aku memandangnya bengis, ia justru membalas pandanganku dengan tak kalah bengisnya. Kurang ajar benar dia, pikirku. Kami sama-sama menghentikan langkah. Ia malah berkacak pinggang seakan menantang. Bedebah!

“Dasar anak haram!” teriakku dan menghambur ke arahnya. Aku mencoba jambak rambutnya, tapi ia menangkis.

“Kamu yang najis!” katanya. Lalu, ia mencakar leherku.

Dalam posisi sempoyongan seperti ini, aku tidak punya banyak tenaga untuk melawannya. Orang-orang berhamburan melerai kami. Salah satu pengunjung rumah sakit menjauhkan tangan Merista dariku karena melihat leherku tergores dan sedikit berdarah.

“Cuh!” Ia meludahi wajahku sebelum pergi. Aku memandangnya saat ia menjauh. Tubuhku yang lemas ditopang pilar lorong rumah sakit. Orang-orang menyanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku hanya mengangguk singkat, menghapus ludah anak setan itu dengan jaketku sambil terus memerhatikannya. Anaknya Bu Irma itu berjalan penuh percaya diri, melenggak-lenggok seperti seorang model sambil membenahi tatanan rambutnya. Kilat kebencian makin berkobar di mataku.

Oleh perawat, aku dipersilakan duduk di samping Mama di ruangannya. Mungkin si perawat itu kasihan melihat wajahku yang tak karuan pucat bagai mayat. Aku menunggu Mama hingga ia siuman. Mataku menerawang menembus dinding putih rumah sakit.

“Julia,” kata Mama lembut saat ia siuman.

“Oh, Mama,” isakku. Aku merangkulnya, tersedu di pelukannya. Mama pun menangis.

Ingin sekali kukatakan kabar yang baru saja kudengar. Namun, aku takut Mama terkena serangan jantung lagi. Aku hanya menangis dan tak berkata apa-apa.

“Maafkan papamu, Julia,” kata Mama kemudian.

Aku memandangnya. Apakah ini berarti Mama tahu papa punya istri lain? Aku tidak mau menduga. Kubiarkan Mama melanjutkan kata-katanya.

“Maafkan Papamu karena menyimpan perkawinan lain,” lanjut Mama.

Aku tersentak. “Jadi selama ini Mama tahu Papa punya istri lain?” tanyaku.

Mama mengangguk pelan.

“Harusnya Mama melabraknya,” protesku sambil menangis histeris. “Atau minta cerai. Kenapa membiarkan orang ketiga dalam rumah tangga Mama?” Aku guncang-guncang tubuh Mama yang masih lemah.

Mama diam saja. Ia memejamkan mata. Kulihat butiran air ke luar dari ceruk mata yang tertutup. Ia menggigit bibirnya seperti tidak ingin mengatakan sesuatu di ujung lidahnya. Suaranya tersendat-sendat mengatakan, “Karena Mama orang ketiga itu.”

Mulutku ternganga, terduduk lunglai di kursi sebelah ranjang mama. Aku mengambil napas dalam, mengeluarkannya dengan berat. Kepalaku mendongak ke atas. Oh Tuhan, ternyata akulah anak haram itu. Ternyata aku ini anak Nia, seorang pelakor dalam perkawinan Gunawan dan Irma. Api menyala lebih panas di kepala, di mata, juga di hatiku.

“Mengapa Mama, mengapa?” sesalku.

“Bila kamu tidak mengalaminya, kamu tidak akan memahaminya,” jawab Mama berlinang airmata.

“Mama kan dulu primadona? Cantik, pintar, banyak pilihan. Kenapa mau jadi istri simpanan?”

“Julia, Mama tidak pernah bercita-cita merebut suami orang. Mama datang terlambat. Takdir mempertemukan kami setelah Papamu beristri. Dulu Mama juga mencibir pelakor. Mama sudah menolak Papamu berkali-kali, tetapi tiap kali Mama kembali ke pelukan Papamu. Kami saling jatuh cinta, Julia. Kami saling membutuhkan.”

“Bila benar Papa cinta Mama, seharusnya dia menceraikan Bu Irma.”

“Tidak semudah itu. Papamu terikat hutang budi dengan keluarga Bu Irma. Itulah mengapa ….”

Mama tak melanjutkan kata-katanya. Aku pun tak berkata apa-apa lagi. Kini semua sudah terang benderang. Aku paham mengapa tak banyak rangkaian bunga, tak banyak pula pelayat yang datang ke rumah kami. Sekarang aku juga tahu mengapa Papa dikubur tanpa menunggu kedatanganku. Aku tersenyum kecut membayangkan masa depanku. Aku tak akan mewarisi perusahaan Papa. Hidupku mungkin akan berakhir seperti buruh migran yang kucibir dan kuhindari. Atau perjalanan cintaku akan berakhir seperti Mama dan Papa dengan menerima cinta Hans? Oh, runtuh sudah duniaku yang gemilang. Aku lunglai. Tak ada lagi kekuatan padaku untuk marah. Aku pasrah.

Aku berdiri meninggalkan Mama sendiri. Berjalan zig-zag menertawakan nasibku seperti orang gila. Orang-orang memandangku, berbisik-bisik dan tersenyum mengejek. Aku tak lagi peduli. Air mata yang berlinang di sudut pipi tak lagi kubasuh, kubiarkan ia jatuh. Mengering dan tandus. Ke mana akan kubawa kepedihan ini? Apakah musim semi di Amsterdam mampu memberi kesejukan hati?

***

schat =panggilan sayang.

Nok = panggilan untuk orang jawa untuk anak perempuan.

Naning Scheid, penulis, penyair, penerjemah, dan aktris teater berkebangsaan Indonesia yang menetap di Belgia.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Naning Scheid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *