Culture Prose & Poem

Perempuan yang Menikahi Maut

Barangkali maut adalah pasangan paling tepat untuk melabuhkan hidup, bagi beberapa orang yang tidak lagi punya siapa-siapa untuk dicintai.

Avatar
  • December 15, 2023
  • 7 min read
  • 1623 Views
Perempuan yang Menikahi Maut

*Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung konten bunuh diri.

Dari sinilah aku akan mulai menghitung langkah, sebab buih laut sudah penuh memeluk pergelangan kaki. Seberapa jauh langkahku dapat menjejak dasarnya yang lembut hingga akhirnya terapung lalu tenggelam?

 

 

Mungkin pada langkah yang kesepuluh–angka kelahiranku, atau dua puluh–angka favoritku? Mungkin pada yang ke-dua puluh lima, aku justru berhenti, menangis agak lama, lalu berbalik arah untuk kembali tanpa menghitung lagi. Atau mungkin ombaknya yang ramah menepuk kulitku yang telanjang akan berang, menjelma raksasa, dan menghempaskanku kembali ke tepian, tak jadi tenggelam, lalu menghadirkan sesal sepanjang malam?

Mungkin. Mungkin juga tidak. Atau aku akan langsung tenggelam tanpa sempat memikirkan beberapa kemungkinan yang lain. Jika tidak aku sebutkan bahwa tenggelam juga kemungkinan. Aku menjadi takut, sebab terlalu banyak kemungkinan. Tidak bisakah banyak kemungkinan itu ditukar saja dengan satu kenyataan? Menikahi maut di penghulu laut?

Baca juga: Laki-laki Tahu Apa tentang Perempuan

Lalu perkara maut menjadi begitu membingungkan, saat kau mencoba memanggilnya datang padamu berhadap-hadapan. Garangkah ia? Sekejam cerita orang-orangkah? Atau ia justru adalah paradoks yang ramah, selalu menghabisi tanpa pernah melukai? Apa pun, sampai saat ini ia masih rahasia yang dipegang erat-erat oleh tuannya hingga nanti tiba waktu untuk bertatapan. Dan laut? Bagaimana bisa tak kuminta ia sebagai penghulu? Sementara ia adalah kawan yang paling penurut. Mengangguk-angguk saja pada apa pun pilihanmu, tak sedikit pun membantah apalagi menghakimimu.

Jika maut datang selalu dengan sambutan dan perayaan, bagaimana jika aku yang mendatanginya? Masihkah ia perlu dirayakan? Jika benar begitu, di sini tak ada siapa-siapa selain jingga di ujung sana yang semakin lama semakin memerah lalu hilang, beserta satu dua ingatan yang sengaja kuternakkan dalam kepala sejak lama. Semoga saja cukup sebagai perayaan, sehingga maut sudi menerima aku sebagai pengantinnya.

Jari-jari kecil air di ujung pantai bergoyang-goyang semakin kencang menggelitik kakiku. Rupanya ada yang sudah tak sabar ingin segera menjadi penghulu. Isyarat untuk berhenti bergolak dengan kemungkinan dan mulai melangkah menuju kenyataan, pernikahanku dengan maut.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.”

Kakiku sudah bergerak maju. Permukaannya yang basah kini sudah menjilat betis, sedikit lagi mencapai lutut. Sementara isi kepalaku memutar kembali semuanya. Seminggu yang lalu, hujan belum juga puas mengguyur saat ban Fortuner hitam laki-laki itu menggores permukaan halaman rumahku yang sudah mulai berlumpur.

Mobil mewah itu tepat berhenti di hadapan pintu depan rumah. Sekonyong-konyong seorang laki-laki keluar dengan ekspresinya yang sedikit meringis, sebab sepatu kets putihnya yang mewah kini sudah berpeluh lumpur. Ia melangkah dengan dadanya yang membusung seolah di depannya ada laki-laki lain yang menantang berkelahi. Padahal tak ada siapa-siapa di sana selain lumpur yang muncrat dari sol sepatunya, mengotori teras rumahku.

Ia rekan bisnis bapak dari kota, datang untuk menagih utang yang menunggak sejak lama. Kata Bapak, dulunya orang itu tidak begitu peduli dengan utang, namun sejak kalah sebagai caleg dalam Pemilu tiga bulan lalu, orang itu mulai kehabisan uang dan sering datang menagih utang kepada Bapak dan meminta bunga.

Baca juga: Keperawanan Perempuan, Sebuah Percakapan di Malam Pertama

Bapak tergopoh-gopoh memakai sarung lalu menghampiri laki-laki itu. Kali ini aku yang kebetulan membukakan pintu. Belum juga Bapak sempat mempersilahkan duduk, tudingan dan ancaman berhamburan keluar bersama busa putih dari mulut laki-laki itu. Bapak tersudut.

Aku diam saja, tidak terkejut sama sekali, sebab aku sudah tahu tipikal laki-laki itu. Ia tipe laki-laki yang tak segan melakukan kekerasan untuk memenuhi kehendaknya –apalagi cuma tudingan dan ancaman. Kejadian ini sudah terjadi beberapa kali, tipikal orang-orang berdasi.

Bapak tak berdaya. Satu-satunya daya adalah lutut yang ia pakai bertumpu untuk memohon keringanan atau tambahan waktu. Aku tahu Bapak tidak punya cukup uang untuk melunasi utangnya. Bisnisnya sudah lama bangkrut, sedangkan tabungannya juga sudah amblas membiayai pengobatan Ibu, yang rupanya ditakdirkan menyerah pada kanker payudara.

Keluarga kami hancur setelah Ibu pergi setahun silam. Aku berhenti sekolah dan Bapak kesulitan mencari peluang usaha baru. Ia sudah cukup tua dan kelelahan. Sementara utangnya, meskipun hanya kepada satu orang, mendatangi setiap waktu seperti hantu, melilitkan benang tak kasat mata pada lehernya, mencekiknya hingga sesak napas. Aku sering kali mendapati Bapak meringis kesakitan sambil memegang dada kiri ketika sedang sendiri.

Tapi laki-laki itu sudah mencapai ambang batas kesabarannya, ia tak lagi bisa menunggu. Ia sedang menggamit kerah baju bapak ketika tawaran itu–entah dibisiki oleh iblis macam apa- akhirnya keluar dari mulut Bapak. Tawaran yang kelak akan menjadi mimpi burukku, bahkan di saat-saat terjagaku.

“Menikahlah dengan anakku. Kau sudah lama membujang, sementara anakku cukup cantik dan ia masih perawan. Dua hal yang selalu didambakan laki-laki waras manapun di muka Bumi. Tidak bisa dibeli dengan uang, dan saya yakin cukup untuk melunasi utang. Bagaimana?”

Bapak melontarkan tawaran itu tanpa meminta persetujuanku, padahal aku berdiri di sampingnya saat itu. Laki-laki itu berpikir sejenak lalu mengangguk tanda setuju, dibarengi senyum kecil seolah berbicara, “Aku menang”.

Bulu kudukku serempak berdiri menyaksikan kesepakatan itu. Aku menggigil.

Sebelas, duabelas, ……., sembilan belas, dua puluh..

Permukaannya sekarang sudah mencapai dadaku, sedikit lagi mencumbu leherku. Ombaknya kini mulai bergejolak, angin rupanya ikut menikmati ingatanku. Aku kemudian terlarut kembali. Beberapa minggu sebelum hari kesepakatan terkutuk itu, aku menangisi tiga bercak merah pada seprai putih yang membalut kasur tempatku berbaring. Pacarku yang juga teman sekelasku di sekolah menengah atas, duduk di sampingku di atas kasur yang sama, menepuk-nepuk pundakku, mencoba meredakan tangisku. Kami baru saja selesai melangkahi garis batas norma sosial untuk pertama kalinya. Bersenggama tanpa ikatan pernikahan.

Sebenarnya kami melakukannya secara sukarela, atas dasar suka sama suka, tanpa ada satu pun yang merasa diperkosa. Namun, sesuatu dari dalam dada terus memaksa kelenjar mata untuk menyemprotkan cairan bening. Padahal aku sama sekali tak merasa berdosa, hanya sedikit menyesal.

Aku takut Bapak tak mau memaafkanku jika sampai mengetahuinya. Sebab aku sudah mengkhianati khotbahnya, “Anak perempuan harus menjaga kehormatann”. Sefasih apa pun aku menyembunyikannya, perempuan tetap tidak bisa menyangkali ketidakperawanannya. Sebab, hanya perempuan yang dibekali selaput darah, dan itu berdarah hanya sekali seumur hidupnya.

Apa kata Bapak ketika dibisiki oleh suamiku kelak tentang itu? Ia pasti akan sangat terpukul dan merasa berdosa pada Ibu. Hidupnya akan semakin hancur. Aku menyambar sebungkus rokok pacarku yang tergeletak diatas kasur, menghisapnya sebatang demi sebatang hingga pagi. Pacarku sudah tidur, dan begitu puas mendengkur.

Dua puluh lima..

Besok laki-laki itu akan datang kembali bersama iring-iringan mobil mewah sanak familinya. Melamarku dengan resmi sesuai tradisi. Tapi di sinilah aku, berdiri pada pilihanku sendiri. Pilihan yang paling tepat bagi akalku. Memilih untuk menikahi maut.

Permukaannya kini sudah sejengkal di atas kepala. Sekarang seluruh lubang di tubuhku sedang berperang melawan tekanan air dan udara. Tak ada lagi celah untuk dirasuki udara. Meski aku sudah menarik napas panjang sebelumnya, tentu tak akan bertahan lama. Sebentar lagi laut akan menjalankan perannya sebagai penghulu, menyatukan aku dan maut, pengantinku.

Baca juga: Bukan Perawan Maria – Sebuah Cerita Pendek

Aku yakin pada pilihanku ini, tak akan ada yang menyesalinya, bahkan Tuhan sekali pun. Tuhan pasti tahu aku takkan tega melihat laki-laki itu mencelakai (mungkin membunuh) Bapak setelah tahu, aku ternyata tidak seperti yang ia tawarkan. Bahwa aku sudah tak lagi perawan. Laki-laki itu tega melakukan apa saja.

Dan Bapak, meskipun akan merasa sangat sedih, akan terbebaskan dari sebuah tanggungan hidup. Ia tentu akan lebih mudah dan ringan menjalani hidup sendirian. Lalu pacarku? Meskipun ia pernah mengatakan ia begitu mencintaiku, barangkali ia hanya akan menderita selama tiga minggu, selanjutnya ia akan mencari perempuan lain, berkata ia mencintainya lalu menidurinya, boleh jadi perawan boleh jadi bukan.

Yang terakhir aku sendiri? Aku tidak mungkin menyesalinya, sebab hidup tidak memberiku cukup alasan untuk mencintainya.

Saat ini, tak ada yang lebih aku cintai selain maut, dan aku ingin menikahinya. Dengan laut sebagai penghulu, serta angin, ombak dan Tuhan sebagai saksinya. Aku tak sabar lagi. Kedua kakiku sudah melayang bersama tubuhku, aku mulai kehabisan napas. Angin bergejolak hebat meniupkan ombak raksasa di permukaan. Menggelegarkan bunyi dentuman besar di udara. Sepertinya sudah mulai perayaan. Aku pun memejamkan mata, dan lamat-lamat kulihat sesosok bayangan berdiri dengan jubah hitam yang megah.

“Kaukah itu?” tanyaku ragu.

Lalu sesosok bayangan itu menjawab dengan suaranya yang menggema di gendang telingaku yang mulai pecah.

“Selamat datang pengantinku.”

Anhar Dana Putra, Dosen (Lektor), Politeknik STIA LAN Makassar.



#waveforequality


Avatar
About Author

Anhar Dana Putra

Anhar Dana Putra, Dosen (Lektor), Politeknik STIA LAN Makassar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *