People We Love

Isu Lingkungan Jadi Napas Kerja Chitra Subyakto

Melalui kecintaannya pada budaya Indonesia dan fashion, Chitra Subyakto mendorong kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan.

Avatar
  • September 27, 2023
  • 10 min read
  • 1360 Views
Isu Lingkungan Jadi Napas Kerja Chitra Subyakto

Nama Chitra Subyakto cukup familiar di telinga masyarakat Indonesia. Di industri fesyen (fashion), namanya dikenal lewat Sejauh Mata Memandang, sebuah label tekstil yang ia dirikan pada 2014 dengan mengusung responsible fashion. Di dunia industri hiburan utamanya film, dirinya dikenal sebagai perancang busana yang cakap.

Cukup banyak film-film unggulan yang disentuh tangan kreatifnya perempuan kelahiran 1972 ini. Sebut saja Laskar Pelangi, Ada Apa Dengan Cinta 2, Sang Penari, Pendekar Tongkat Emas, Athirah, dan masih banyak lagi.

 

 

Busana yang ia buat selalu bernuansa budaya Indonesia yang kental. Ini membuat karya-karyanya begitu khas dan banyak mendapat apresiasi. Piala Citra untuk kategori nominasi untuk Penata Busana Terbaik pada 2016 dan Piala Maya untuk nominasi Tata Busana Terbaik melalui film Athirah jadi buktinya.

Melalui wawancara eksklusif bersama Magdalene, Chitra menceritakan nuansa budaya Indonesia yang kental dalam karya-karyanya tak lepas dari ketertarikan mendalamnya terhadap kekayaan warisan budaya Indonesia, baik pangan maupun sandang.

“Saya dari dulu cukup tertarik dengan semua yang berbau Indonesia baik itu sandang atau pangan. Dari Sandang saya tertarik dengan kain. Saya pingin pakai sesuatu yang bisa dipadu padankan dengan pakaian yang sudah ada, pakaian kita yang kekiniaan, masa sekarang. Di India banyak sekali ya tukang sapu di jalan sampe artis Bollywood dengan nyaman pake kain sari. Kalau di sini kan belum pada saat itu,” kata Chitra.

Belum banyaknya orang-orang Indonesia yang menggunakan kain tradisional membuat Chitra tergugah untuk membuat busana tradisional dengan sentuhan kontemporer yang bisa digunakan sehari-hari. Karena kebetulan mencintai kain batik, ia pun mulai mendesain busana batik dengan menyisipkan unsur modern. Dalam koleksi awal Sejauh Mata Memandang, kecintaannya ini terlihat dari kemunculan outer bergambar ayam yang biasa kita lihat di mangkok mi yang dikemas dalam gambar batik geometris berwarna cerah.

Sumber: Instagram Chitra Subyakto

Baca juga: Mpu Uteun: Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki

Desainer yang Peduli Isu Lingkungan

Walau namanya dikenal di industri fesyen dan perfilman tanah air, sosok Chitra Subyakto juga tidak lepas dari kepeduliannya terhadap isu lingkungan. Ia kerap terlihat aktif melakukan berbagai aksi peduli lingkungan, baik itu dalam usahanya membantu konservasi hutan dan habitat hewan terancam punah maupun kampanye stop penggunaan plastik sekali pakai.

Chitra mengatakan kepeduliannya terhadap isu lingkungan pertama kali muncul pada tahun 2018. Saat itu ia sedang berselancar di internet dan membaca berita terkait paus yang ditemukan mati di pinggir pantai karena perutnya penuh dengan sampah plastik

“Dari berita itu saya bacain komentar netizen yang ternyata banyak enggak tau kalau plastik itu tidak bisa hancur, termasuk saya juga saat itu. Kita masih melihat plastik sebagai benda yang magical, tahan air, bisa lama disimpennya,” tuturnya.

Mulai sejak itu Chitra pun belajar. Buku demi buku serta perkembangan krisis iklim terus diikutinya. Pada satu titik titik ia pun membaca buku This Is Not A Drill: An Extinction Rebellion Handbook (2019). Buku itu memberikan sebuah pernyataan yang menggugah hatinya. Pernyataan yang hingga kini selalu ia pegang dalam bergerak di isu lingkungan sebagai agen perubahan.

“Dalam buku itu, disebut bahwa kalau kamu tahu tentang isu ini (isu lingkungan), berapapun teman kamu mau 5 atau 5.000 kamu harus menyebarkannya. Ini agar banyak orang lain bisa aware sama isu ini lalu pelan-pelan bersama-sama membuat perubahan. Saya berpikir kita punya platform Sejauh Mata Memandang. Mungkin yang mengikuti sosmed Sejauh Mata Memandang tidak mengikuti NGO yang membicarakan isu ini, jadi penting sekali buat kita berbagi informasi dengan cara kita,” begitu ungkapnya.

Chitra pun mengungkapkan isu lingkungan bukan hal mudah yang bisa disampaikan ke publik. Buatnya isu lingkungan selama ini disampaikan dengan nada yang cenderung negatif sehingga membuatnya jadi isu yang berat dan tidak dekat dengan masyarakat terutama masyarakat urban. Sadar hal ini, Chitra memutuskan untuk menggunakan cara yang ringan dan menarik perhatian publik dari anak-anak hingga dewasa untuk menyampaikan isu lingkungan. Cara ini tak lain adalah dengan membuat pameran.

Bertepatan dengan Hari Bumi, pada 2019 Chitra membuat pameran bertajuk Laut Kita. Pameran ini berangkat dari masalah sampah plastik sekali pakai yang bermuara di laut dan tidak dapat terurai selama puluhan, bahkan ratusan tahun yang menjadi salah satu kekhawatiran terbesar Chitra. 

Pameran Laut Kita menghadirkan 6 area instalasi, yaitu Keindahan Alam Indonesia, Polusi Plastik, Instalasi Bawah Laut, Ruang Ajakan, Ruang Solusi, dan Ruang Janji. Selain itu, hasil penjualan dari produk Sejauh Mata Memandang dalam pameran ini akan disalurkan untuk program edukasi bebas plastik di sekolah kawasan pesisir Indonesia. 

Ia pun bekerjasama dengan berbagai seniman, mulai dari beberapa seniman, seperti Felix Tjahyadi, Jay Subyakto, Davy Linggar, Jez O’Hare, Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, hingga Tulus untuk memeriahkan pameran ini. Alasannya sederhana. Dengan mengundang figur publik ternama maka akan semakin banyak masyarakat yang datang ke pamerannya dan menyadari betapa gentingnya situasi laut kita.

“Dengan pameran ini intinya kita ingin membuat narasi positif yang membuat orang jadi tertarik tanpa merasa digurui,” tegasnya.

Pameran Laut kita bisa dibilang sukses besar. Lewat perhelatannya selama kurang lebih dua bulan (tanggal 22 April hingga 16 Juni 2019), Chitra cukup banyak mendapatkan tanggapan positif dari para pengunjung. Salah satu yang paling ia ingat adalah cerita seorang ibu tentang anaknya yang ia ajak ke pameran Laut Kita.

Sumber: Instagram Chitra Subyakto

“Ada satu ibu cerita abis dari pameran, anaknya pergi makan sama kakek neneknya. Kakek neneknya ini masih pake sedotan, si anak terus bilang ‘Jangan pakai sedotan lagi ya, nanti sedotannya dimakan ikan, ikannya kita makan terus kita jadi sakit’. Jadi dari pameran ini ada snowball effect yaa. Ketika ada awareness, masyarakat jadi lebih banyak yang tau, lebih banyak yang inget kalau ini isu bersama,” jelas Chitra.

Selain lewat pameran, Chitra juga ikut serta dalam gerakan stop pemakaian plastik sekali pakai. Lewat aksi Rampok Plastik, 2019 lalu Chitra bersama berbagai figur publik ternama Indonesia seperti Dian Sastrowardoyo turun ke jalan. Ia meminta kantong plastik sekali pakai yang dibawa masyarakat saat Car Free Day dan menukarnya dengan tas pakai ulang ramah lingkungan.

Dilansir dari Antara News, Dengan titik kumpul di Plaza Indonesia, dalam 40 menit berhasil terkumpul 1000 kantong plastik yang telah ditukarkan dengan 450 tas pakai ulang. Semua kantong plastik yang terkumpul ini kemudian jadi pameran Sejauh Mata Memandang, Laut Kita. Pengalaman turun ke jalan ini begitu berharga buat Chitra. Ia mengatakan lewat aksinya ini ia jadi bisa mengobrol langsung dengan masyarakat dan mengetahui kekhawatiran mereka terkait isu-isu lingkungan.

“Dengan mempunyai pengalaman turun ke langsung saya jadi bisa berkomunikasi dengan masyarakat. Saya berdiskusi dan jadi tau kalau yang kita pikir solusi terkait krisis lingkungan ternyata enggak terlalu solutif atau ternyata jangka pendek. Saya juga jadi tau ada dampak berbeda yang dialami orang-orang karena isu lingkungan ini,” katanya.

Baca juga: Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba

Menjadi Produsen dan Konsumen yang Bertanggung Jawab

Berbicara soal isu lingkungan tidak bisa dipisahkan dengan limbah tekstil yang ditimbulkan dari tingginya produksi pakaian dalam waktu singkat atau yang kita kenal dengan fast fashion. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) 2021, Indonesia telah menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau fesyen. Angka tersebut setara dengan 12 persen dari total sampah yang dihasilkan di Indonesia.

Sayangnya dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang Selain menimbulkan limbah, tingginya fast fashion juga berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan. Pengolahan dan pewarnaan tekstil mencemari 20 persen air di kawasan industri, di mana limbah pada air mengandung bahan-bahan berbahaya seperti merkuri dan arsenik.

Sebagai seorang desainer, Chitra paham betul permasalahan yang ditimbulkan fast fashion ini. Ia juga bilang dengan naiknya budaya influencer, kecenderungan masyarakat untuk membeli banyak baju murah yang dengan masa pakai pendek menjadi semakin meningkat. Menyadari permasalahan ini Chitra pun mempertimbangkan kembali pendekatannya terhadap produksi pakaian. 

“Kami tidak pernah mengklaim diri sebagai merek yang berkelanjutan. Tetapi kami ingin menjadi lebih bertanggung jawab,” katanya.

Dengan menjadi lebih bertanggung jawab, Chitra melalui Sejauh Mata Memandang memakai sistem produksi sirkular bukan linear. Chitra menjelaskan industri fesyen sekarang terutama fast fashion bertumpu pada sistem produksi linear. Dalam sistem produksi ini, pakaian yang didesain dan dibuat akan begitu saja dibuang tanpa pertimbangan akhir masa pakainya.

Ketika akhir masa pakainya tidak dipertimbangkan, sistem produksi macam ini juga akhirnya akan berdampak langsung pada lingkungan. Chitra mencontohkan bagaimana kebanyakan pakaian yang kini diproduksi apalagi yang harganya murah menggunakan bahan polyester, kain sintetis yang berbahan plastik.

“Itu jadi sampah yang abadi kalau enggak dipake lagi. Enggak bisa diapa-apain, enggak bisa didaur ulang kalau dibuang ke laut jadi mikroplastik di makan ikan terus kitanya sakit,” kata Chitra.

Dalam sistem ini pula pekerja menjadi rentan dieksploitasi. Dengan harga pakaian yang dibanderol Rp.100.000, bagaimana para pekerja bisa diupah dengan layak, kata Chitra. Padahal dalam produksi pakaian, pekerja yang terlibat tidak hanya satu dua orang saja. Prosesnya begitu panjang mulai dari pembuatan dan pemintalan benang, penjahitan, pewarnaan, sampai distribusinya sendiri. 

Sumber: Instagram Chitra Subyakto

Sebaliknya dalam sistem produksi sirkular, semua aspek produksi pakaian, kesejahteraan pekerja, dan dampak lingkungan dipertimbangkan masak-masak. Melalui Sejauh Mata Memandang, Chitra memastikan adanya perputaran masa pakai produk selama mungkin, regenerasi alam, dan meminimalisir sampah. Busana yang ia keluarkan misalnya tidak ada yang berbahan dasar polyester tetapi dari katun, linen, dan tencel. Pewarnaannya yang digunakan pun dari pewarna bersertifikat atau pewarna nabati seperti secang, kunyit, atau daun mangga.

Chitra juga menjelaskan bagaimana Sejauh Mata Memandang tidak memiliki rumah produksi. Koleksi yang diproduksi semua hadir dari kolaborasi dengan para mitra ia sebut sebagai Keluarga Sejauh. Bersama Keluarga Sejauh, Chitra memastikan kesejahteraan mereka termasuk kepuasan mereka dalam bekerja.

Untuk meminimalisir sampah, Chitra juga mengembangkan program pengumpulan dan daur ulang pakaian. Program ini bekerjasama dengan EcoTouch, perusahaan daur ulang limbah tekstil. Upaya kerjasama ini diawali dengan membuat program donasi pakaian tidak layak pakai dari masyarakat dan juga donasi kain sisa dari berbagai pameran Sejauh sebelumnya yang kemudian didaur ulang oleh EcoTouch. 

Baca juga: Santi Warastuti dan Legalisasi Ganja Medis: Saya Takkan Berhenti

“Jadi kita minta mereka untuk menjadikan pakaian itu menjadi benang. Dalam prosesnya pakaian dicacah sampai menyerupai kapas dan diolah menjadi benang setelah jadi benang dibawa ke mitra kami terus ditenun menjadi produk pakaian. Ini adalah usaha kami untuk menjaga proses sirkular. Ada sampah pakaian kita adopsi. Jadi bukan dari virgin resources dan daripada masuk TPA kan,” jelas Chitra.

Chitra memahami dengan sistem produksi sirkular ini memang produk-produknya cenderung lebih mahal. Hal ini tentu berpengaruh pada target pasar Sejauh Mata Memandang juga pakaian sustainable atau responsible fashion lainnya yang dari kelas menengah ke atas. 

Ia percaya sebenarnya pakaian-pakaian ini, berhak diakses dan terjangkau buat semua orang. Tetapi untuk menjadikannya aksesibel, pemerintah butuh mengeluarkan regulasi lalu memberikan dukungan besar pada industri fesyen bertanggung jawab. Hal ini karena menurut Chitra dengan mengandalkan sistem produksi sirkular, fesyen bertanggung jawab melibatkan banyak aktor sehingga tidak bisa jalan sendiri. 

Tetapi sebelum adanya regulasi, Chitra mengatakan sebagai konsumen kita bisa memulai perubahan dalam level individu. Ia mencontohkan beberapa cara. Tak hanya dengan mulai membeli produk lokal dari pengrajin, mulai membaca label bahan dasar pakaian yang kita pakai atau mengikuti instruksi merawat pakaian untuk memperpanjang masa pakai pakaian.

Chitra juga menyarankan konsumen untuk tidak cepat-cepat membuat pakaian dengan mulai mereparasi pakaian yang rusak. Bahkan ia menyarankan arisan tukar baju bisa jadi cara baru untuk memulai langkah baik dalam aksi bertanggung jawab. 

“Saya rasa, semua orang harus peduli lingkungan karena kita tinggal di bumi ini. Jadi semua bisa ambil bagian dengan cara berbeda-beda, dari individu dari hal sederhana,” tutup Chitra.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *