Bagaimana Jika Anime Bisa Buktikan Semua Cinta Punya Logika?
Pernah enggak, kamu suka sama seseorang sampai jantung deg-degan cuma karena dia lewat? Atau tiba-tiba jadi senyum-senyum sendiri cuma karena satu chat singkat? Lalu kamu bertanya-tanya, jangan-jangan saya jatuh cinta? Kenapa rasanya aneh?
Anime Rikei ga Koi ni Ochita no de Shoumei shite Mita (2020)—alias Science Fell in Love, So I Tried to Prove It—mengajak kita buat cari tahu apa itu cinta lewat eksperimen ilmiah. Soalnya siapa tahu, cinta memang harusnya enggak serumit itu kalau dibawa ke lab.
Cinta sendiri sering kali memberikan sensasi penasaran, takut, dan kagum yang sulit didefinisikan. Beberapa orang juga menganggap cinta teka-teki yang sulit dipecahkan. Bahkan, bagi mereka yang merasa rasional, cinta bisa terasa seperti gangguan. Alasannya, cinta membuat kita kerap bertanya, kenapa memikirkan sosok itu terus? Apa ini logis?
Kebingungan memahami perasaan, terutama soal cinta, menjadi titik berangkat dari anime Rikei ga Koi ni Ochita no de Shoumei shite Mita. Sesuai judulnya, anime ini menceritakan dua ilmuwan yang mencoba membuktikan cinta di antara mereka menggunakan pendekatan ilmiah.
Kisahnya berawal dari pengakuan cinta Himuro Ayame terhadap Yukimura Shinya, teman penelitinya. Pengakuan cinta tersebut tidak diterima atau ditolak oleh Yukimura. Namun ia malah mempertanyakan mengapa Himuro bisa menyebut perasaannya sebagai cinta.
Yukimura butuh bukti secara ilmiah untuk bisa membuktikan Himuro telah benar jatuh cinta padanya. Jadilah keduanya menjadikan cinta sebagai hipotesis yang harus diuji secara empiris. Caranya dengan mengukur detak jantung, menganalisis perubahan suhu kulit, menciptakan simulasi adegan romantis, dan membuat skala pengukuran cinta.
Baca juga: ‘Otome Games’: Eskapisme Aman untuk Perempuan di Dunia Otaku
Fakta Ilmiah Rasa Parodi
Eksperimen cinta yang mereka lakukan terlihat seperti parodi dari riset akademik. Namun justru terasa relate bagi penonton. Bagaimana tidak, semua hal itu memang dirasakan hampir seluruh umat manusia yang pernah overthinking soal perasaan.
Beberapa eksperimennya ternyata memang berdasar pada penelitian yang bisa dibuktikan. Misal, eksperimen pengukuran detak jantung sebagai indikator cinta. Misalnya adegan di mana Himuro dan Yukimura melakukan simulasi sebagai pasangan seperti makan bersama, berpegangan tangan, hingga memperagakan drama romantis. Mereka mengukur perubahan detak jantung dan mencoba membuktikan, emosi cinta bisa dilihat dari reaksi biologis.
Secara ilmiah, eksperimen tersebut memang bisa dibuktikan. Penelitian oleh Fabio Aghedu berjudul “Neural and Peripheral Correlates of Romantic Love” (2021) menunjukkan, cinta memang memicu peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan respons electrodermal (reaksi kulit terhadap emosi). Respons-respons ini dimediasi oleh sistem saraf otonom, khususnya dominasi aktivitas saraf simpatik.
Eksperimen lain yang dilakukan adalah analisis suhu kulit melalui termografi. Mereka mencoba membuktikan ketika seseorang berinteraksi dengan orang yang disukai, akan terjadi peningkatan suhu pada area wajah atau tangan.
Hal ini juga dibenarkan dalam penelitian oleh Cardone dan Merla berjudul “The colours of love: facial thermal reactions of people thinking about their lovers” (2020). Mereka menemukan, ketika manusia memikirkan pasangan sambil mendengarkan lagu cinta, suhu ujung hidung mereka meningkat secara signifikan dibanding kondisi kontrol. Efek ini mencerminkan aktivasi sistem saraf simpatik dalam menghadapi emosi cinta romantis.
Dengan menjadikan cinta sebagai objek eksperimen, anime ini mengajak penontonnya untuk lebih sadar dan jujur terhadap perasaan mereka. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami. Karena kadang yang bikin cinta membingungkan bukan cuma perasaannya, tapi karena kita belum terbiasa bertanya secara terbuka tentang apa yang sebenarnya kita rasakan.
Baca juga: 5 Rekomendasi Anime yang ‘Heartwarming’ dan Penuh Inspirasi
Ternyata Cinta Memang Irasional
Pada akhirnya, Himuro dan Yukimura pun menyadari meskipun telah mencoba mengurai cinta lewat grafik, sensor, dan tabel statistik, cinta tetap saja tidak bisa dipastikan secara akurat, reaksi tubuh bisa dikendalikan. Pun data bisa ditafsirkan berbeda, bahkan logika paling rasional pun bisa goyah ketika perasaan benar-benar datang.
Hal tersebut senada dengan temuan Aron et al. dalam artikel “Reward, Motivation, and Emotion Systems Associated with Early-Stage Intense Romantic Love” (2005). Mereka menjelaskan, cinta melibatkan kerja otak yang sangat kompleks. Sebab mengaktifkan dua bagian otak yang berbeda secara bersamaan, yaitu sistem pusat otak yang mengatur emosi dan sistem pusat otak yang membuat manusia bisa berpikir logis serta menentukan pilihan.
Ketika cinta bekerja, ada semacam tarik-menarik antara emosi dan logika, yang membuat manusia sering mengalami kebingungan, kebimbangan, bahkan ketidakpastian. Hal inilah yang membuat cinta sering dianggap tidak masuk akal.
Anggapan cinta tidak masuk akal disebabkan manusia yang cenderung mengedepankan emosi daripada logikanya. Penggalan populer lagu Agnes Monica, “Cinta ini kadang-kadang tak ada logika” cukup menggambarkan banyaknya manusia kehilangan logikanya ketika jatuh cinta.
Baca juga: Aku Tahu Ghibli Jualan Nostalgia, tapi Aku Menikmatinya
Anime ini mencoba untuk keluar dari ramainya narasi tersebut. Karena menggambarkan pentingnya logika dan penalaran kritis dalam menghadapi sebuah fenomena, yaitu jatuh cinta.
Dengan berani mempertanyakan makna cinta, bagaimana cinta muncul, bagaimana tubuh merespons, dan mengapa manusia bisa jatuh cinta, maka manusia sedang mengenali semua proses mengenali cinta. Sebab, cinta yang dibiarkan berjalan tanpa logika dan dikuasai emosi berisiko menciptakan hubungan beracun. Kamu enggak mau, bukan?
















