RFZ, siswa kelas 5 SD di Kediri, harus menjalani suntikan insulin empat kali sehari akibat diabetes melitus yang dideritanya. Penyakit itu sempat membuatnya terpukul, tapi berkat dukungan keluarga dan pendampingan berbagai pihak, RFZ kini mampu menjalani rutinitasnya dengan tegar, tulis Kompas.com.
Ia termasuk satu dari tiga belas anak di Kediri yang pada 2025 terdeteksi mengidap diabetes melitus. Angka ini menambah panjang daftar anak-anak Indonesia yang berisiko terkena penyakit tidak menular, seiring meningkatnya konsumsi gula dan pola makan yang kurang sehat.
Fenomena tersebut kembali menyoroti urgensi kebijakan pengendalian konsumsi gula di Indonesia. Salah satu langkah yang dinilai efektif adalah penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), kebijakan yang telah lama dibahas namun belum juga diimplementasikan.
Baca juga: Terlalu Manis untuk Dibiarkan: Kenapa Pentingnya Adanya Cukai Minuman dalam Kemasan dan Bergula
Kebijakan penerapan cukai diperbincangkan dalam Media Talks yang digelar Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) bertajuk “Jalan Panjang Mewujudkan Cukai Minuman Manis dalam Kemasan” (9/10). Dalam forum tersebut, CISDI menilai penerapan cukai MBDK menjadi langkah mendesak untuk menekan konsumsi gula berlebih di masyarakat yang kini mencapai tingkat mengkhawatirkan.
CISDI menjelaskan, cukai merupakan pungutan negara terhadap barang-barang tertentu yang konsumsinya perlu dibatasi, distribusinya diawasi, atau penggunaannya berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Dalam konteks MBDK, kebijakan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai instrumen fiskal untuk mengendalikan konsumsi sekaligus mendorong perubahan perilaku masyarakat menuju pola hidup lebih sehat.
Dalam paparannya, CISDI mengutip hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024, yang menunjukkan 68,1 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi sedikitnya satu jenis MBDK setiap minggu. Sementara itu, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat prevalensi obesitas meningkat hampir tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, dari 10,5 persen pada 2007 menjadi 36,8 persen pada 2023.
Kenaikan tersebut beriringan dengan meningkatnya kasus penyakit tidak menular seperti diabetes. Data International Diabetes Federation (IDF) 2024 bahkan menempatkan Indonesia di peringkat kelima dunia dengan 20,4 juta penderita diabetes usia dewasa. Tanpa kebijakan pengendalian yang tegas, beban penyakit dan biaya kesehatan nasional diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.
Wacana penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebenarnya sudah muncul sejak 2016. Empat tahun kemudian, Kementerian Keuangan kembali mengajukan MBDK sebagai objek cukai baru dan memperoleh dukungan dari Komisi XI DPR RI. Pemerintah bahkan memasukkan target penerimaan dari cukai MBDK sebesar Rp3,8 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Namun, rencana pelaksanaan yang semula dijadwalkan pada semester II 2025 kembali ditunda. Pemerintah beralasan, ketidakpastian ekonomi global membuat kebijakan tersebut perlu dikaji ulang. Penundaan ini menambah panjang proses pembahasan yang sudah berlangsung hampir satu dekade tanpa kepastian implementasi.
Menurut CISDI, keterlambatan tersebut berpotensi membawa dampak besar terhadap kesehatan masyarakat. Berdasarkan studi lembaga itu pada 2024, tanpa penerapan cukai MBDK, Indonesia dapat menghadapi 8,9 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan 1,3 juta kematian akibat penyakit tersebut dalam 10 tahun mendatang.
CISDI juga menemukan penerapan cukai mampu mengubah pola konsumsi secara signifikan. Jika harga minuman berpemanis naik 20 persen karena cukai, permintaannya diperkirakan turun hingga 18 persen. Sebaliknya, konsumsi air mineral justru meningkat sekitar 7,7 persen. Analisis ini menunjukkan potensi kuat intervensi fiskal dalam mengendalikan konsumsi gula berlebih di masyarakat.
Pengalaman internasional membuktikan efektivitas kebijakan serupa. Mengutip Tempo, Filipina telah menerapkan cukai minuman berpemanis sejak 2018 dengan tarif 6 peso per liter. Kebijakan tersebut berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis sekaligus meningkatkan pendapatan negara hingga 41 miliar peso per tahun, serta diproyeksikan mencegah lebih dari 23.000 kematian akibat penyakit kronis.
Baca juga: Ada ‘Generasi Gula’ di Balik Menjamurnya Gerai Mixue
Anak-Anak Paling Rentan
Cukai MBDK juga penting dilihat dari sisi perlindungan anak. Mengutip Kompas.com, data Survei Kesehatan Indonesia menunjukkan, lebih dari 50 persen anak usia 3–14 tahun mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali sehari. Angka ini menjadi yang tertinggi di antara seluruh kelompok usia.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Piprim Basarah Yanuarso, menyatakan, kebiasaan ini bisa memicu gangguan serius pada metabolisme anak. “Minuman manis, terutama yang mengandung high fructose, langsung diproses di liver tanpa menggunakan insulin. Akibatnya bisa terjadi pelemakan hati, resistensi insulin, hingga obesitas dan diabetes,” ujarnya kepada media yang sama.
Anak-anak dan remaja kerap menjadi target utama pemasaran minuman berpemanis karena harga yang murah dan kampanye yang agresif. United Nations International Children’s Emergency Fund mengingatkan, tren ini menciptakan siklus risiko kesehatan sejak dini yang berpotensi lanjut hingga dewasa. Dengan demikian, penerapan cukai MBDK bukan hanya langkah ekonomi, tetapi juga bentuk perlindungan anak dari paparan penyakit tidak menular di masa depan.
Baca juga: Detoks Gula dan Diet Karbo Enggak Perlu Asal…
Rekomendasi CISDI
Hasil studi CISDI tahun 2024 memperkirakan, tanpa penerapan cukai, Indonesia berpotensi menghadapi 8,9 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan 1,3 juta kematian akibat penyakit tersebut dalam 10 tahun ke depan. Sebaliknya, jika cukai diterapkan dengan kenaikan harga produk sekitar 20 persen, langkah ini dapat mencegah 3,1 juta kasus baru diabetes dan 455 ribu kematian terkait penyakit tersebut.
Berdasarkan temuan tersebut, CISDI mendorong pemerintah menetapkan tarif cukai yang mampu meningkatkan harga jual MBDK minimal 20 persen pada awal penerapan dan secara bertahap mencapai 50 persen pada tahun 2035 sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO). Penerapan cukai diharapkan tidak hanya menekan konsumsi, tetapi juga mengurangi dampak negatif, seperti meningkatnya beban BPJS Kesehatan akibat penyakit terkait gula dan dampak lingkungan dari kemasan plastik maupun kaleng.
Selain itu, CISDI menilai kebijakan cukai sebaiknya diintegrasikan dengan upaya lain secara terpadu, termasuk penerapan label peringatan di bagian depan kemasan untuk produk tinggi gula, garam, dan lemak, pembatasan pemasaran produk pangan tinggi gula, garam, dan lemak, serta pengenaan cukai tambahan untuk produk dengan kadar natrium tinggi. Pendekatan ini diharapkan mendorong perubahan perilaku konsumen sekaligus menekan beban kesehatan masyarakat secara lebih efektif.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















