Apa yang Sebenarnya Kita Cari dalam Segelas ‘Ceremonial Grade Matcha’?

Belakangan ini ada yang beda di menu langganan kedai kopi saya. Bukannya ditawari biji kopi terbaru, barista-nya malah menawarkan minuman baru, yakni coconut matcha, air kelapa dengan topping busa matcha yang manis. “Boleh nih, kak, lagi hits banget,” katanya.”
Eksperimen menu seperti ini memang bagian dari adaptasi pasar, karena matcha naik daun lagi. Di banyak coffee shop, menu berbasis matcha makin beragam. Ada matcha burnt cheesecake yang lembut dan legit, atau dirty matcha alias matcha ditimpa espresso, buat yang susah move on dari kopi. Semakin hari, makin banyak aja variasinya.
Yang juga makin beragam adalah harganya. Terakhir, saya coba segelas matcha yang dibandrol Rp120 ribu! Awalnya saya kaget. Tapi belakangan baru paham kalau itu harga buat ceremonial grade matcha, beda kelas sama matcha biasa. Disajikan dalam whisk khusus, jenis ini memang tengah jadi bahan perbincangan para pencinta minuman hijau ini.
Baca juga: Mampukah Gen Z Beli Rumah Mungil Kalau Enggak Jajan Kopi?
Rasa yang umami dengan manfaat banyak
Ceremonial grade matcha beda banget dari matcha umumnya. Ini adalah bubuk teh hijau kualitas paling tinggi. Menurut Luna Matcha, jenis ini dibuat khusus buat upacara teh di Jepang. Mulai dari proses tanam, panen, sampai penggilingan pakai batu, semuanya dilakukan hati-hati. Warnanya hijau cerah banget, teksturnya super halus.
Harganya bisa mencapai Rp500 ribu per 50 gram. Satu kemasan cukup untuk sekitar 5-7 gelas. Jadi wajar kalau per gelasnya bisa tembus Rp100 ribuan di kafe.
Begitu saya coba, rasanya memang beda. Enggak pahit kayak matcha biasa, lebih creamy, gurih, dan manis alami. “Pantas aja Rp120 ribu,” batin saya.
Imes, salah satu teman saya, juga bilang rasa ceremonial matcha itu umami. “Enggak kayak culinary grade yang kayak rasa rumput,” katanya.
Beda lagi pendapat Ara. Menurutnya, rasa matcha ini punya nuansa earthy, mirip robusta, tapi lebih clean dan otentik. “Lebih halus banget rasanya,” ujarnya.
Selain rasa, manfaatnya juga banyak. Duane Mellor, profesor nutrisi dari University of Canberra, mengatakan kepada Huffington Post Australia bahwa matcha kaya antioksidan super kuat.
Sumber lain, Art of Tea, menyebut daun muda yang dipakai untuk ceremonial grade matcha punya kandungan nutrisi lebih tinggi. Katanya bisa bikin kita lebih rileks dan fokus, jadi pas banget buat menemani kerja.
Baca juga: Overthinking Sama Omongan Orang? Bisa Jadi Kamu Lagi Kena FOPO
Ceremony di balik segelas matcha
Bukan cuma manfaatnya, ternyata proses penyajiannya juga merupakan bagian penting. Ara yang dulunya coffee lover sekarang malah rutin minum matcha. Katanya bikin lebih fokus dan tenang. “Pas banget buat ngadepin tekanan kerja,” katanya.
Beviena, teman lain, justru jatuh cinta sama proses bikinnya. “Serunya tuh di preparation-nya. Suka lihat proses whisking-nya. Bikin pagi-pagi jadi semangat,” ujarnya.
Di Jepang sendiri, upacara teh ini memang ritual penting. Menurut Tucson Tea, penyajian matcha ada aturannya: pakai cawan tradisional, air 70-80 ml, diaduk 30-40 detik. Tujuannya untuk menghasilkan pengalaman minum teh yang tenang, jadi semacam me time. Ritual ini sudah berlangsung berabad-abad.
Sayangnya, di balik tren ini, ada juga sisi lain. Tokyo Weekender melaporkan tren konsumsi matcha yang berlebihan membuat stok di Jepang menipis. Bahkan, beberapa toko sampai membatasi pembelian atau menaikkan harga.
Media sosial jelas punya andil. Video-video “Japan Haul” yang pamer belanjaan matcha membuat makin banyak orang FOMO. Tokyo Weekender juga menyebut tren clean girl dan estetika media sosial sebagai pendorong popularitas matcha seremonial.
Psikolog Phoebe Ramadhina dari Lembaga Personal Growth mengatakan, secara psikologis, kita memang butuh rasa terhubung secara sosial. “Apalagi di budaya kolektif kayak Indonesia, ikut tren itu bikin kita merasa relevan,” katanya.
Baca juga: Indonesia’s Beauty Boom: Cosmetic Surgery, Class, and Social Media Gaze
Tapi, lanjut Phoebe, ini bisa memicu perilaku konsumtif. “Kita jadi beli barang bukan karena butuh, tapi biar dianggap bagian dari komunitas tertentu,” jelasnya.
Makanya, Phoebe mengingatkan penting buat tetap sadar: apakah kita minum matcha karena menikmati prosesnya, atau cuma ikut-ikutan?
“Penting bagi individu untuk menyadari dorongan-dorongan ini (memenuhi tren semata), dan mengembangkan pemahaman yang lebih sehat tentang nilai diri yang enggak tergantung pada pengakuan eksternal. Ini penting untuk menjaga kesehatan mental kita juga,” tutupnya.
