Contoh Buruk Representasi LGBT dalam Film
Representasi kelompok LGBT dalam sejumlah film salah kaprah atau tidak akurat.
Secara umum, representasi kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) dalam film memang semakin membaik secara perlahan, tetapi masih banyak yang kesulitan menggambarkan komunitas LGBT dengan akurat. Hal ini menghasilkan representasi LGBT di dalam film yang salah kaprah atau tidak akurat.
Ini dikarenakan masih banyak yang menulis, menyutradarai, dan memproduksi film-film queer tetapi mereka sendiri tidak mengidentifikasi sebagai LGBT ataupun dekat dengan orang-orang di komunitas ini.
Apa saja sih contoh buruk representasi kelompok LGBT di dalam film?
-
Salah Bodi (2014)
Ditayangkan tepat pada hari Transgender Day of Remembrance di 21 November, film ini mendapat banyak harapan untuk merepresentasikan transgender dengan baik. Dengan cerita soal transgender perempuan dan transgender laki-laki yang akhirnya jatuh cinta dan menikah, sepertinya kita sudah bisa menebak bagaimana nasib representasi LGBT di Indonesia.
Film ini menceritakan Farhan, yang terlahir sebagai perempuan namun sejak kecil yakin dia seorang laki-laki. Ada juga Inong, yang mengalami sebaliknya. Mereka jatuh cinta dan akhirnya Farhan hamil. Karena bingung dengan identitasnya, mereka memutuskan untuk kembali kepada “kodrat” mereka masing-masing demi anak mereka.
Selain masih menggunakan lelucon, adegan, dan kalimat-kalimat yang tidak ramah LGBT, alur ceritanya juga tidak menceritakan benar-benar perjuangan seorang transgender, melainkan perjalanan “penyembuhannya”. Dengan ini, penonton akan dengan gampangnya percaya dengan mitos LGBT dapat disembuhkan.
-
Stonewall (2015)
Serangkaian demonstrasi spontan komunitas LGBT yang memprotes aksi polisi dalam menggerebek penginapan Stonewall Inn, New York, pada 28 Juni 1969 dikenal dengan nama Kerusuhan Stonewall. Peristiwa ini menjadi pemicu terbesar gerakan pembebasan LGBT dan perjuangan modern hak-hak LGBT di Amerika Serikat dan kemudian di seluruh dunia.
Sebuah film yang berjudul Stonewall dan dirilis pada 2015 seharusnya dapat merepresentasikan sejarah yang sangat penting untuk kelompok LGBT ini. Sayangnya, representasi ini berakhir negatif.
Film ini mengikuti seorang remaja gay berkulit putih yang diperankan oleh aktor Jeremy Irvine, yang diketahui sebagai heteroseksual. Ia memutuskan untuk pergi dari rumahnya dan pindah ke New York karena keluarganya yang konservatif. Remaja ini kemudian terlibat di dalam Kerusuhan Stonewall.
Karakter utama ini tidak memberikan representasi yang akurat terhadap sejarah Stonewall karena pelopor protes di sana adalah transpuan kulit berwarna, pekerja seks, dan pembangkang (dissenters). Sementara di dalam film ini, orang-orang yang seharusnya menjadi tokoh-tokoh penting di dalam film hanya menjadi pemanis di latar belakang.
-
Zoolander 2 (2016)
Walaupun filmnya sendiri tidak berfokus kepada LGBT, ada isu terkait kelompok ini yang sempat dipermasalahkan dan masih relevan hingga saat ini. Sejak trailer awalnya ditayangkan, film ini menghadapi petisi untuk memboikotnya. Hal ini karena Benedict Cumberbatch berperan sebagai Ali, seorang model nonbiner.
Yang dipersoalkan bukan hanya karena aktor cisgender heteroseksual berperan sebagai seorang nonbiner, tetapi juga karena karakter All sendiri cukup aneh dan bahkan dijadikan sebagai sebuah lelucon di dalam film tersebut. Karakter utamanya saja terobsesi dengan menebak-nebak jenis kelamin Ali.
Mengapa ini diprotes sedemikian rupa? Karena industri film langka memberikan kesempatan pada aktor LGBT untuk memerankan karakter-karakter LGBT. Peran seperti ini malah sering diberikan pada seorang cisgender heteroseksual. Selain itu, lelucon tentang seksualitas orang sudah tidak lucu lagi (dan memang tidak seharusnya dijadikan sebuah bahan lelucon).
Dialog-dialog karakter utama yang menebak jika All memiliki “hotdog” atau “roti bun” adalah sebuah sentimen sensitif untuk kelompok LGBT. Lelucon garing seperti ini hanya akan memperkuat sudut pandang bahwa orang-orang nonbiner dan kelompok LGBT yang lain pantas untuk ditertawakan.
Baca juga: 10 Film dan Serial TV Bertema LGBT yang Wajib Ditonton
-
Anything (2017)
Mirip dengan kontroversi menyangkut Zoolander 2, film Anything diprotes oleh kelompok LGBT karena peran transgender perempuan atau transpuan dimainkan oleh Matt Bomer, seorang laki-laki cisgender. Karenanya, film ini gagal menggambarkan pengalaman seorang transpuan yang sesungguhnya karena pemerannya tidak mengerti kehidupan seorang transpuan secara mendalam.
Cara Matt Bomer memerankan karakternya di film ini dapat dibilang tidak autentik karena terasa seperti seseorang yang berpura-pura mengerti perjuangan seorang transpuan tanpa benar-benar mengalami diskriminasi berdasarkan gendernya. Ia juga seperti sedang memalsukan perasaan tanpa benar-benar pernah merasakannya, dan ini berdampak kepada penontonnya yang juga tidak bisa mengerti perasaan yang sesungguhnya menjadi seorang transgender.
Selain mengangkat laki-laki cisgender untuk memerankan sebuah karakter transgender, film ini juga dikritik karena stereotip transgender dalam plot ceritanya. Film ini menceritakan seorang laki-laki cisgender bernama Early yang baru kehilangan istrinya yang meninggal. Saat masih berduka, ia akhirnya mengenal tetangganya, seorang transgender dan pekerja seks bernama Freda. Plot cerita ini seperti melanggengkan sebuah stereotip transgender perempuan yang sering digambarkan sebagai seorang pekerja seks.
-
Girl (2018)
Film ini sekilas terlihat seperti ingin menceritakan tentang kisah hangat seorang transgender perempuan bernama Lara Verhaeghen, 15, yang ingin menjadi seorang balerina profesional.
Tetapi jika disimak baik-baik, ceritanya lebih berfokus kepada seseorang yang memiliki body dysmorphia (sebuah gangguan mental di mana seseorang mengkhawatirkan penampilannya secara berlebihan). Film ini menceritakan kisah di balik masa transisi Lara, tetapi dengan alur cerita yang sama sekali tidak memiliki empati dan dingin.
Di dalam film ini, Lara terlihat kecewa bahwa terapi hormonnya tidak bekerja cukup cepat untuknya. Sementara itu, Lara baru berpindah sekolah dan harus beradaptasi dengan bully yang mengejeknya karena penampilannya. Bahkan, ada adegan di mana ia dipaksa untuk menunjukkan kelaminnya.
Walau memang itu lah fakta pahit di balik transitioning, tetapi yang membuat film ini menjadi representasi yang buruk adalah karena Lara memutuskan untuk “membenarkan” bagian-bagian tubuhnya yang ia tidak suka dengan melukai diri sendiri. Adegan-adegan ini ditunjukkan dengan dingin dan cukup vulgar sehingga bisa memicu emosi penonton.
-
Adam (2019)
Salah satu film dengan representasi LGBT terburuk yang pernah ada, film Adam mendapatkan rating 2.1 bintang di IMDB (sebuah basis data daring untuk informasi tentang film). Bagaimana tidak? Film ini adalah sebuah drama-komedi yang mengikuti seorang karakter bernama Adam, seorang laki-laki heteroseksual, yang secara diam-diam menonton kakak perempuannya berhubungan seks dengan pasangan perempuannya.
Melihat ini, Adam berpura-pura menjadi seorang transpria untuk masuk ke dalam komunitas LGBT hanya dengan tujuan untuk merayu beberapa lesbian untuk berhubungan seks dengannya. Bagaimana? Dengan melipat penisnya ke belakang dan diselotip, ia berpura-pura menggunakan strap-on karena menyamar sebagai seorang transpria.
Tidak hanya itu, pada akhir film ini ia mengakui kepada pasangannya ini bahwa ia sebenarnya adalah seorang laki-laki heteroseksual. Bagaimana respons perempuan ini? Ia memaafkan Adam karena ia telah jatuh cinta dengannya dan juga selalu berfantasi bahwa dia adalah seorang “laki-laki beneran”. Ini lagi-lagi mendukung kesalahpahaman bahwa LGBT dapat “disembuhkan”.