Environment Issues

Di mana-mana Cuaca Panas, Kami Jadi Sesak Napas 

Anak-anak, lansia, dan orang dengan gangguan sistem pernapasan lebih berisiko terdampak suhu panas. Adakah yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampaknya?

Avatar
  • May 21, 2024
  • 6 min read
  • 1523 Views
Di mana-mana Cuaca Panas, Kami Jadi Sesak Napas 

Sakit bisa datang kapan saja dan di mana saja. Pengidap asma seperti Veronica Wilson, 49, tahu persis karena mengalaminya sendiri. Ketika berlibur di Bangkok akhir April lalu, asmanya kambuh.  

Perempuan yang bekerja sebagai customer service officer ini mulai merasakan gejalanya pada malam 27 April di Bangkok, tetapi baru memeriksakan diri ke dokter di Depok dua hari kemudian. Kendati menyadari Bangkok dilanda gelombang panas, pada awalnya Veronica tidak menyangka ini menjadi penyebab kekambuhannya.  

 

 

“Aku merasa enggak ada triggernya. Biasanya kan ada triggernya, misalnya aku alergi dingin yang bisa memicu asma,” kata Veronica kepada Magdalene, (12/5).    

Baca juga: Polusi di Jabodetabek Memburuk, Kami Harus ‘Bayar’ Udara Bersih 

Masalah pernapasan juga dialami Iwin, pekerja perusahaan teknologi di Jakarta. Gejala yang dirasakannya adalah demam, pilek, batuk berdahak yang disertai darah, dan sakit tenggorokan. Dia menduga dirinya terkena flu. 

Satu hal yang membuat Iwin penasaran adalah, walau dia telah minum obat merek tertentu yang berdasarkan pengalaman sebelumnya, cukup cepat dalam mengatasi flu, reaksi obat tersebut berbeda.   

“Biasanya baik-baik saja (setelah) pakai obat itu. Tahun ini enggak begitu mudah mengobati penyakitnya,” tutur lelaki berusia 32 tahun ini.  

Tak hanya dialami orang dewasa, gangguan pernapasan akibat panas ekstrem pun menimpa anak-anak. 

Hetty Catur, dosen di Semarang, mengeluhkan gejala gangguan pernapasan yang menimpa kedua anaknya belakangan. Ibrahim, anak pertamanya yang berusia 6 tahun, mengalami batuk. Sementara itu, anak bungsunya, Alexa, 2, terkena flu.  

Perempuan yang biasanya dipanggil Catur ini tak membawa anak-anaknya ke dokter karena gejalanya relatif ringan. Dia memutuskan untuk mengobati keduanya dengan memberikan air rebusan rempah-rempah. Namun, kekhawatirannya tak hilang begitu saja.   

“(Anak) yang pertama dulu pernah kena TB (tubercolosis), tapi sudah sembuh. Tapi tidak dimungkiri kalau dulunya pernah sakit TB, orang tuanya lebih khawatir,” kata Catur.   

Catur menambahkan, tahun lalu, anak sulungnya pernah dirawat di rumah sakit akibat menderita dehidrasi. Selain itu, anak bungsunya bungsunya rentan sakit ketika berada di kondisi panas ekstrem.  

“Dulu itu dia punya kecenderungan, kalau udara panas banget dan dia beraktivitas di luar dan kurang minum, dia gampang kena panas dalam,” tuturnya.  

Baca Juga: Selain di Laut, Udara Jakarta juga Mengandung Mikroplastik 

Dampak Cuaca Panas terhadap Pernapasan  

Fenomena suhu panas akibat perubahan iklim bukan hal baru. Menurut Laporan State of The Global Climate 2023 yang dirilis organisasi meteorologi dunia (WMO), 2023 adalah tahun terpanas dalam 174 tahun terakhir, dengan rata-rata temperatur global 1,45 derajat celcius. Rata-rata suhu tersebut 0,16 derajat lebih tinggi dari tahun terpanas sebelumnya (2016). 

Belakangan ini, cuaca panas tidak biasa kembali melanda negara-negara Asia Tenggara. Lampang, provinsi di Thailand utara, mencatat rekor suhu tertinggi di negara tersebut sepanjang 2024 (44,2 derajat celsius) pada 28 April lalu. Di Filipina, Provinsi Isabela menjadi lokasi terpanas sepanjang 2024, dengan temperatur 40 derajat celsius pada 15 April. 

Indonesia juga menghadapi cuaca panas. Rillis pers Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 6 Mei 2024 menyebutkan adanya suhu panas di atas 36 derajat celsius di beberapa wilayah.  

Meski demikian, dalam rilis pers tersebut, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, cuaca panas yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah gelombang panas. Fenomena ini, kata Dwikorita, disebabkan oleh berkurangnya pembentukan awan dan penurunan curah hujan. 

Panas ekstrem dapat memicu gangguan pernapasan. Dalam penelitian berjudul Effects of Heat Waves on Cardiovascular and Respiratory Mortality in Rio de Janeiro, Brazil (2023) disimpulkan adanya peningkatan risiko kematian akibat gangguan kardiovaskular dan pernapasan pada hari-hari dengan gelombang panas dibandingkan dengan hari-hari tanpa gelombang panas. 

Suhu panas dapat berpengaruh pada peningkatan kasus gangguan pernapasan, seperti disampaikan dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Erlina Burhan, berdasarkan pengalamannya ketika menangani pasien akhir-akhir ini.  

“Kalau saya perhatikan di tempat saya praktik sore hari, banyak pasien orang (usia) tua yang (kena) serangan asma jadi sesak. Banyak yang (mengalami) infeksi juga, ISPA, (yang penyebabnya) bisa karena virus atau bakteri,” kata Erlina, yang juga guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).  

Ia mengungkapkan, udara panas dan lembap Indonesia dapat menyebabkan iritasi di saluran napas, yang menambah kerentanan orang dengan gangguan pernapasan.  

“Ini memicu mereka lebih sering batuk, mungkin (juga) sesak, apalagi kalau masuk kuman atau virus (ke saluran napas), terutama pada orang (usia) tua. Nah, ini (juga) akan memicu serangan pada orang asma, kekambuhan pada pasien-pasien PPOK (penyakit paru obstruktif kronis),” tuturnya.   

Anak-anak juga lebih rentan terdampak cuaca panas. Badan PBB untuk Urusan Anak-Anak (UNICEF) memprediksi, saat ini, 559 juta anak di seluruh dunia terpapar gelombang panas dengan frekuensi tinggi, dan jumlah ini akan meningkat menjadi 2,02 miliar anak pada 2050. Semakin sering anak terpapar gelombang panas, semakin tinggi risiko terdampak masalah kesehatan seperti asma dan gangguan pernapasan kronis. 

Erlina mengatakan, kerentanan anak-anak berkorelasi dengan sistem imun tubuh mereka yang belum optimal dibandingkan dengan orang dewasa.  

“Anak kecil sistem imunnya belum berkembang sempurna. Karena perkembangan sistem imunnya belum sempurna, maka dia akan sangat rentan, mudah terinfeksi entah itu virus atau bakteri. Oleh sebab itu, mesti dikondisikan agar anak-anak yang sistem imunnya belum baik dibantu dengan gizi yang baik,” katanya.  

Baca Juga: Seberapa ‘Relate’ Generasi Z dengan Isu Krisis Iklim? Ini Kata Mereka 

Mengurangi Dampak Suhu Panas 

Cuaca panas masih akan berlangsung lama. Mengutip dari Kompas.com, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan, suhu panas di Indonesia diprediksi berlangsung sampai September 2024.  

Paparan panas sulit dihindari, tetapi dampaknya dapat diminimalisasi. Erlina mengatakan pentingnya menjaga tubuh tetap terhidrasi dan jika memungkinkan, mengurangi kegiatan di luar ruangan pada siang hari.  

“Kalau cuaca panas itu kan debu juga banyak. Debu itu juga banyak disertai dengan kuman, virus dan zat-zat berbahaya lainnya,” ujarnya.  

Catur sudah mengantisipasi dampak cuaca panas meskipun harus lebih protektif terhadap anak-anaknya.  

“Jadi kalau (anak sulung saya) mau keluar, saya bolehkan pas mataharinya udah enggak ada. Sebelum itu enggak boleh karena takutnya dia main, kurang minum, kena (dehidrasi) lagi deh,” tuturnya.  

Hal yang sama juga diterapkan kepada anak bungsunya.  

“Aku pesan ke yang jaga dia agar jangan dibawa keluar. Sebenarnya dia suka main di depan rumah. Akan tetapi aku bilang, kalau mau keluar pas mataharinya udah enggak ada karena kalau dia kena panas dalam, makannya susah,” tambahnya.   

Sementara itu, Veronica berusaha semaksimal mungkin agar asmanya tidak kambuh. Dia bekerja dari rumah sehingga lebih mudah baginya untuk mengambil langkah pencegahan.  

“Aku menghindari keluar antara jam sepuluh sampai tiga sore. Aku juga sedia semua obat. Jadi ketika ada tanda-tanda tanda mau kumat, bisa ambil tindakan,” tuturnya.  

Selain menghidrasi tubuh dan berusaha mengurangi paparan suhu panas di luar ruangan, Erlina mengingatkan bahwa kesadaran masyarakat untuk mencuci tangan dengan sabun, seperti yang dilakukan selama pandemi COVID-19, tetap harus dipertahankan.    

“Jadi, perilaku hidup bersih dan sehat kita terapkan terus-menerus karena penyakit infeksi ada terus di lingkungan kita dan penyebabnya macam-macam. Ada (yang) karena polusi udara, ada (yang) karena suhu yang cenderung tinggi,” ujarnya.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *