Environment Issues

Seberapa ‘Relate’ Generasi Z dengan Isu Krisis Iklim? Ini Kata Mereka

Banyak Gen Z sudah melek isu iklim, tapi belum semua mau melakukan perubahan.

Avatar
  • June 13, 2023
  • 6 min read
  • 1346 Views
Seberapa ‘Relate’ Generasi Z dengan Isu Krisis Iklim? Ini Kata Mereka

Bayangkan kamu membuka jendela kamar di pagi hari. Alih-alih menghirup udara segar dan mencium wangi embun sisa hujan semalam, hidungmu dibekap polusi. Kamu sesak napas, dibuntuti ancaman penyakit, dan harapan usia hidupmu berkurang dua setengah tahun.

Skenario di atas enggak cuma bagian dari film fantasi, tapi realitas yang dihadapi masyarakat Jakarta beberapa hari ini. Jangan dipikir kota tenggelam adalah ancaman tunggal, ancaman lain juga datang dari udara yang kita hirup setiap harinya.

 

 

Menyitir laporan Greenpeace yang bertajuk “Pembunuh Senyap di Jakarta” (2017), kualitas udara yang buruk berasal dari dua sektor utama: Transportasi dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Enggak tanggung-tanggung, di sekitar Jakarta sendiri, PLTU batubara bisa memicu 10.600 kematian dini dan 2.800 kelahiran dengan berat lahir rendah.

Ancaman polusi diperburuk dengan cuaca panas ekstrem yang melanda kota. Jika kamu pakai aplikasi AccuWeather, suhu udara di Jakarta Utara bisa mencapai 34 derajat Celcius. Suhu yang kurang lebih sama dialami di Jakarta Selatan. Namun, menurut aplikasi yang sama, suhu ini bisa fluktuatif hingga mencapai 42 derajat Celcius di siang hari.

Cuaca panas ini disebabkan oleh banyak faktor. Kepala Pusat Layanan Iklim Terapan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan kepada CNN Indonesia, ada lima faktor utama.

Pertama, karena dinamika atmosfer yang tidak biasa hampir di seluruh wilayah Asia termasuk Indonesia. Kedua, gerakan semu matahari yang menambah lonjakan panas dari sebelumnya. Ketiga, tren pemanasan global dan perubahan iklim yang tidak hanya terjadi Indonesia tapi juga di negara-negara lain, seperti Thailand, India dan Bangladesh. Keempat, Indonesia sekarang sudah memasuki bulan kemarau sehingga cuaca panas ini diperkirakan akan sampai September 2023. Kelima, intensitas tinggi radiasi matahari pada kondisi cuaca cerah dan kurangnya tutupan awan.

Pertanyaannya, seberapa peduli masyarakat muda dengan kondisi ini? Mari kita tanya pendapat generasi Z.

@magdaleneid

Masih banyak yang ngerasa gak relate atau bahkan menganggap krisis iklim sebagai isunya orang “Barat”. Padahal, krisis iklim itu terjadi di depan mata dan udah jadi tugas kita semua untuk lebih peduli soal ini. Gimana sih anak-anak muda sekarang melihat isu krisis iklim ini? Apakah udah banyak yang mulai concern dan peduli? Ini beberapa orang yang kami wawancara soal krisis iklim. Kalau menurut kamu gimana? Apa dampak krisis iklim yang paling kamu rasakan? Share di kolom komentar yuk. Nantikan series liputan kami yang lain soal KrisisIklimdiDepanMata. #krisisiklim #krisisiklimnyata #climatechangematters #ecofeminism #serunyamembaca

♬ suara asli – Magdalene – Magdalene

Baca juga: Bukan ‘Heatwave’, tapi ‘Hot Spells’: Penjelasan Cuaca Panas Belakangan Ini

Generasi Z Sudah Melek dengan Perubahan Iklim

Polusi dan cuaca yang semakin panas dirasakan oleh semua orang, terutama Gen Z. Mereka mulai menyadari kalau masalah perubahan iklim sudah semakin besar dan terjadi di depan mata.

Sebagian dari gen Z yang kami ajak ngobrol bilang, mereka sudah tahu tentang krisis iklim, tapi sebagian di antaranya betul-betul clueless. Mereka yang melek dengan isu ini mengaku tahu tentang krisis iklim dari perubahan cuaca ekstrem sekarang. Mulai dari cuaca yang semakin panas, mendadak hujan parah hingga memicu banjir, dan rentetan polusi yang terjadi selama berhari-hari.

“Krisis iklim ini sudah memberikan dampak negatif dan juga efek kerusakan yang masif,” ujar Reina dari Bangka Belitung, salah satu Gen Z yang diwawancarai untuk proyek lingkungan Magdalene.

Restu, Gen Z lainnya dari Balikpapan yang juga diwawancarai mengatakan, “Jika kenaikan suhu satu derajat saja bisa membuat tubuh kita demam, bagaimana dengan Bumi? Untuk itu kita perlu menjaga Bumi selayaknya tubuh kita sendiri.”

Pernyataan Restu ada benarnya. Menurut laporan BBC News Indonesia, para peneliti menuturkan, suhu Bumi akan menjadi 1,5 derajat Celcius sebelum 2027. Kenaikan suhu itu menurut mereka sangat berbahaya dan bisa menyebabkan banyak bencana dunia dan beragam penyakit.

Baca juga: Mei 70 Tahun Silam, Perubahan Iklim Pertama Kali Viral

Walaupun sejumlah Gen Z sudah familier dengan isu iklim, namun faktanya masih banyak dari mereka yang belum tergerak untuk melakukan perubahan. Kondisi ini berbeda dengan beberapa negara lain di dunia.

Di Swedia misalnya, seorang Gen Z bisa memimpin sebuah gerakan massif. Adalah Greta Thunberg yang mencetuskan gerakan Fridays for Future sejak 2018 lalu. Gen Z ini akan ramai-ramai bolos sekolah di Jumat untuk berunjuk rasa agar pemerintah segera bertindak pada perubahan iklim. Dilansir dari Kompas, aksinya ini menginspirasi empat juta orang untuk bergabung dengan demo iklim global.

Indonesia juga punya aktivis lingkungan muda Salsabila Khairunisa. Saat masih remaja 17 tahun, ia pertama kali melancarkan aksi “Mogok Sekolah untuk Hutan”, yang terinspirasi dari gelombang protes besar dari Greta Thunberg.

Dilansir dari BBC Indonesia, Salsabila membangun platform di media sosial bernama Jaga Rimba. Itu menjadi wadah bersama bagi anak-anak seumurnya berdiskusi tentang perlindungan masyarakat adat dan bagaimana menjaga hutan.

Yang Harus Dilakukan Agar Gen Z Lebih Sadar dengan Krisis Iklim

Menjaga Bumi memang bukan tugas Gen Z saja. Semua pihak dari berbagai lapisan wajib terlibat. Saling bergotong-royong dan menyebar informasi dalam mengatasi perubahan iklim, akan membuat suatu perubahan bagi dunia. Tidak perlu aksi besar, memulai dari hal kecil juga akan menjadi awal baru dari penanganan krisis iklim.

Menanam pohon di pekarangan rumah atau menaruh tanaman-tanaman kecil di teras bisa jadi langkah awal dari mengatasi perubahan iklim. Karena pohon dan tanaman akan menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan oksigen lewat fotosintesis. Tanaman dan pepohonan juga bisa melawan karbon dioksida yang dikeluarkan oleh kendaraan seperti mobil dan motor. Selain itu udara yang kita hirup akan segar karena banyaknya pepohonan dan tanaman.

Menerapkan tiga R, reduce, reuse dan recycle adalah langkah yang sering dilakukan sebagian orang. Cara ini dapat membantu kita dalam mengurangi sampah plastik dari pembelian barang. Kantong plastik dan botol plastik bisa didaur ulang lagi pemakaiannya. Botol plastik kadang menjadi media pot lain dalam penanaman tanaman.

Selain itu sebisa mungkin kurangi penggunaan kendaraan pribadi untuk bepergian. Mulailah dengan jalan kaki atau naik sepeda untuk bekerja dan bersekolah. Tidak hanya sehat, tapi juga menghemat ongkos transportasi sehari-sehari. Kendaraan bermotor ini mengeluarkan banyak emisi yang tidak baik untuk lingkungan. Semakin banyak motor dan mobil yang keluar maka semakin tinggi polusi udara. Sama sekali tidak baik untuk kesehatan kita. Atau kamu juga bisa memanfaatkan angkutan umum.

Baca juga: Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?

Tidak hanya kita sebagai gen Z dan masyarakat lain yang ikut berperan. Pemerintah dan media juga menjadi bagian penting dalam mengatasi perubahan iklim.

Menurut Angga Ariestya dalam tulisannya melalui The Conversation mengatakan diskusi mengenai perubahan iklim akan semakin meluas. Pemerintah harus menyediakan wadah yang tepat agar informasi dari diskusi terkait bisa tersampaikan secara luas dengan benar. Media juga bisa ikut membantu pemerintah dalam menyampaikan informasi tersebut. Tujuannya agar semua khalayak bisa informasi penting tentang isu krisis iklim dan tergerak untuk melakukan perubahan.

Dalam hal ini, media sosial bisa jadi saluran ideal dalam kampanye isu krisis iklim, terutama untuk audiens muda. Pemerintah bisa mengajak beberapa influencer lingkungan di media sosial untuk bekerja sama mengedukasi semua orang. Sebab, biasanya Gen Z kita cenderung lebih mudah mengekor figur yang mereka anggap layak jadi contoh.

Sepanjang Juni 2023, Magdalene membuat rangkaian liputan bertema lingkungan dan perubahan iklim. Ini adalah artikel pertama kami.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *