Cubit Tetek Jangan Marah
Pelecehan seksual terjadi pada laki-laki gemuk, yang dianggap tidak seharusnya punya payudara.
Berat badan saya 85 kilogram. Saya berbadan gemuk? Sudah pasti. Dada saya agak mirip dengan payudara perempuan, mungkin seharusnya saya memakai beha atau miniset untuk menutupinya. Sementara yang bisa saya gunakan untuk menutupi dada saya yang menyerupai payudara karena hadirnya lemak-lemak yang menumpuk itu adalah kaus dalam.
Pembawaan saya juga dikenal halus seperti perempuan. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh beberapa orang yang beranggapan bahwa laki-laki harus tampak ‘jantan’.
Saya yang berbadan gemuk ini harus ekstra mati-matian untuk menghadang laki-laki yang tangan dan otaknya harus diedukasi karena gemar men-“cutek”, alias cubit tetek. Dada saya diremas dengan bebas, seolah-olah mereka melihat dada perempuan yang bisa di-grepe kapan pun.
“Cutek” tidak hanya dilakukan secara fisik, namun juga lewat komentar-komentar, baik di dunia nyata maupun di akun Instagram. Mereka berharap agar saya yang berpembawaan feminin ini kembali ke “kodrat” saya.
Satu kali, teman berkomentar, “Dadanya ngecap banget, ya, Kris.”
Kali lain, dia berkomentar lagi: “Udah bisa elo pake 36A, Kris.”
Persoalan ini mengingatkan saya ke masa SMP/SMA. Anak laki-laki akan dengan bebasnya mencubit dada temannya sesama laki-laki. Yang dicubit tidak boleh sakit hati, karena si “cutek” ini sendiri berada dalam bingkai ‘bercanda’. Dan, bentuk lelucon ini ternyata masih dimainkan.
Tetapi, semakin lama saya semakin berpikir bahwa “cutek” ini adalah awal dari glorifying sexual harrassment, alias tidak apa-apa melakukan pelecehan seksual, asal yang dilecehkan tidak sakit hati. Kalau dalam konteks sekarang, yang dilecehkan tidak boleh merasa sakit hati karena ada yang disebut ‘bercanda’, yang kini berubah menjadi sebuah simbol pemakluman.
Untuk menghindari pelecehan, katanya kita butuh sesuatu yang sifatnya ‘menutupi’. Ada beha, ada miniset, dan ada kaus dalam untuk laki-laki. Apakah beha, miniset, dan kaus dalam itu telah melakukan pekerjaannya dengan baik? Saya sendiri, yang memakai kaus dalam, masih merasa takut diremas, di-grepe, atau yang lainnya. Ketika difoto, sebisa mungkin saya harus berpose yang pas untuk menghindari penampakan ‘payudara’ tersebut, demi tidak di-“cutek” secara verbal di media sosial. Saya harus berpembawaan ‘laki-laki sejati’ agar terhindar dari “cutek” tersebut. Ini sangat menyiksa saya!
Baru saja, di Instagram, saya balas orang yang men-“cutek” saya, “Jir! Gue udah pakai kaus dalam”. Ternyata meskipun sudah ditutup, kita tidak bisa begitu saja bebas dari pelecehan. Saya tidak bisa 100 persen merdeka dari gerombolan tukang “cutek”.
Selain merupakan bentuk glorifying sexual harrassment, “cutek” ini sendiri adalah bentuk perisakan secara fisik. Perisakan ini terjadi pada orang-orang yang gemuk, khususnya pada laki-laki yang dianggap gemuk. Dan mereka yang melakukannya seolah-olah ingin mengatakan bahwa laki-laki tidak memiliki ‘payudara’ alias dada mengembang yang terbentuk dari lemak. Saya sebetulnya merasa baik-baik saja berbadan gemuk, tapi saya merasakan risihnya disebut demikian. Bagaimana jika saya menjalankan program penurunan berat badan? Apakah semata-mata karena saya ingin memenuhi persyaratan bahwa laki-laki itu tidak berpayudara dan untuk menghindari “cutek”, baik secara fisik maupun virtual?
Perisakan tetaplah perisakan. Pelecehan tetaplah pelecehan. Jangan pernah menjadikan “bercanda” sebagai alasan untuk melegitimasi perisakan dan pelecehan. Kita bentuk karakter kita sebagai manusia yang mampu menghargai sesama.