Issues

Terima Kasih, Tuhan! Aku Sudah Jadi Mantan Napi

Terasing, pulang, kembali asing. Cerita perempuan eks narapidana yang kembali ke rumah.

Avatar
  • May 11, 2022
  • 7 min read
  • 926 Views
Terima Kasih, Tuhan! Aku Sudah Jadi Mantan Napi

Katanya semua saluran televisi itu digital sekarang.

Katanya ada kue odading yang bisa bikin kita kayak Iron Man.

 

 

Katanya ada media sosial baru isinya joget joget semua

Katanya…

Semua informasi itu datang hanya melalui televisi tabung berukuran 19 inci dengan antena yang diikat tali rafia. Gambarnya pun lebih sering bergoyang-goyang. Ajaibnya, TV butut itu selalu mendadak kooperatif khusus di jam tayang sinetron. Jadilah pengetahuanku hanya sebatas kisah antara cinta dan samudra.

Empat tahun lebih aku hidup di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu, dekat Kali Banjir Kanal Timur (BKT), tetapi selalu kalah gaul dengan anak-anak BKT. Saat mereka masih nongkrong jam 9 malam sambil makan cimol di sebelah motor yang diparkir, di jam yang sama aku duduk manis di dalam kamar berisi 14 orang, menonton mereka yang sedang menonton sinetron dengan teriakan histeris ketika Samudra memegang pipi Cinta. Semudah itu membuat hati para perempuan di sini berdebar.

Ternyata waktu tinggalku di sana menjadi empat tahun satu bulan. Nasibku berputar tanpa aba-aba, sama seperti ketika aku tanpa aba-aba masuk ke dalam tempat ini. Ingin rasanya berterima kasih kepada COVID-19, karena membuat kepulanganku dipercepat beberapa bulan. Namun, rasanya seperti berkhianat kepada sesama manusia. Yang jelas aku berterima kasih kepada Tuhan atas semua jalan-Nya.

Semua “katanya” kusimpan di dalam hati dan pikiran untuk kucari tahu jawabannya nanti saat bebas. Saat harinya tiba, ketika kakiku menjejakkan langkah pertama di luar portir, aku menemukan suami menanti di dekat pagar. Ada rasa sesak yang sulit digambarkan. Rasa ingin menangis, tertawa, marah, kosong, semua jadi satu. Yang terjadi aku hanya memeluk suamiku dalam diam. 

Baca juga: Transpuan M dan Neraka Penyiksaan Transgender

Melewatkan Banyak Momen dalam Hidup Anak

Aku seperti berasal dari planet lain. Aku merasa seperti alien yang tersesat, dan merasa tidak pas. Aku hanya bisa jalan tertunduk, tidak berani menatap mata orang, segan membalas tegur sapa, dan kusadari bahwa aku malu dengan predikat mantan narapidana yang kusandang sekarang. 

Bahkan saat bertemu suami setelah sekian lama terpisah, rasa sungkan mengalahkan rindu. Membayangkan betapa hancur hidupnya ketika aku harus menjalani masa pidana. Bagaimana ia seorang diri berjuang menghidupi dan membesarkan dua anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Belum lagi omongan miring soal kasusku yang beredar di kantornya dan tanggapan keluarga besarnya. Semua cerita yang ingin kubagi menguap hilang begitu saja. 

Aku hanya bisa terdiam sepanjang perjalanan menuju rumah. Seperti paham dengan yang aku rasakan, dia menggenggam tanganku dan berkata, “Jangan bahas masa lalu lagi ya.” Aku paham, masa laluku pasti terlalu menyakitkan untuk diingat olehnya. Bukan hal mudah untuk bertahan dalam pernikahan yang sudah pincang. Mendapati dia masih setia merupakan bonus dari Tuhan, karena dari awal sudah kuikhlaskan jika dia menggugat cerai. 

Bagaimana dengan kedua anakku? Aku meninggalkan mereka di usia masing-masing tujuh tahun dan tiga tahun. Saat itu aku menitipkan mereka di rumah orang tuaku dua hari menjelang Lebaran. Aku pamit untuk urusan pekerjaan, dan anak sulungku mengatakan, “Nanti Bunda jemput kita pas Lebaran, kan?”. Aku menjawab dengan senyuman, dengan surat penetapan sebagai tersangka sudah terselip di dalam tas. 

Seiring berjalannya, karena Bunda pergi terlalu lama, dibuatlah cerita baru untuk menenangkan mereka. “Bunda sedang sekolah”, itu yang mereka tahu. Sekolah yang mereka tahu sebagai tempat perpintu besi tertutup, terisolasi dari dunia luar. Sekolah yang tidak memberikan hari libur untuk pulang ke rumah. Sekolah yang mempunyai jadwal dan batas waktu untuk berkunjung. 

Aku melewatkan banyak hal dalam hidup kedua anakku. Waktu berkunjung hanya satu jam setiap bulan sekali, atau panggilan telepon setiap hari jelas tidak cukup untuk membuat mereka merasa bahwa aku selalu ada untuk mereka. Karena aku memang tidak pernah ada untuk mereka. 

Teringat bagaimana terlukanya si sulung yang tidak diundang ke acara ulang tahun temannya hanya karena dia dianggap tidak punya ibu. Aku pun teramat sangat terluka mendengar itu. Beruntung pihak sekolah membantu dengan sangat baik untuk pendampingan psikologi anak-anakku, karena suami memutuskan untuk terbuka perihal kondisi yang aku alami. 

Ketika waktu kepulanganku tiba, aku meminta suami untuk tidak memberitahukan anak- anak soal ini, karena aku tidak mau mereka kecewa jika ternyata ada penundaan. Ketika sampai di depan rumah, rasanya seperti mimpi. Jantung berdebar begitu cepat, keringat dingin mengalir, dan semuanya menjadi-jadi ketika mendengar tawa mereka dari dalam rumah. 

Sengaja aku tidak langsung masuk ke dalam rumah. Aku minta suamiku mengajak mereka ke halaman untuk menjemput “temannya” masuk ke dalam rumah. Mereka berlari ke luar dan menghentikan langkahnya ketika melihatku. Mereka mematung sekian lama, seolah sedang memastikan yang ada di hadapan mereka adalah betul ibunya. 

“Hai,” sapaku. Tangis mereka meledak dan mereka menghambur ke pelukanku. 

Aku terus menyadarkan diri ini bukan mimpi. 

Malam ini dan seterusnya, aku akan berada di dekat mereka. 

Mereka kembali mempunyai ibu.

Baca juga: Surat dari Penjara: Duniaku 1.200 Meter Persegi

Lelah dengan Pertanyaan yang Sama

Euforia soal kepulanganku tidak hanya dirasakan keluarga inti, namun juga keluarga besar. Namun suka cita mereka sepertinya bukan tentang aku, tetapi tentang kehidupan di dalam sana. Aku lelah menanggapi jutaan pertanyaan yang sama dari kerabat: “Di sana tidurnya bagaimana?”, “Disuruh mijitin napi yang seram-seram enggak?”, “Makannya pakai apa?”, “Banyak yang lesbi ya?”. Dan seterusnya. 

Stigma masyarakat tentang napi dan penjara masih dibayangi gambaran dalam sinetron. Penjara yang ditampilkan berupa kurungan sebesar kandang di kebun binatang dengan alas tikar dan napi senior yang menatap garang minta dipijat. 

Tidurnya bagaimana? Di sana disediakan matras tebal gratis, atau kalau beruntung bisa membeli kasur bekas orang yang sudah mau pulang. Ada senioritas? Rasanya di banyak tempat di mana pun di dunia ini pasti ada senioritas, tapi cukup sekadar harus menyapa dengan sopan, tidak sampai harus pijit-pijit. Perundungan? Kalau saling ledek merupakan bagian dari perundungan, maka itu makanan sehari-hari dalam konteks bercanda. Makannya pakai apa? Jelas pakai nasi hangat dan lauk pauk sesuai standarisasi pemenuhan kebutuhan gizi. Makan tiga kali satu hari dengan cemilan dan buah satu kali sehari. Nasi kering? Nasi basi? Itu tidak ada di sana. Banyak lesbi ya? Ini pertanyaan yang paling malas aku jawab. Karena lalu kenapa kalau banyak?

Baca juga: Sutradara Dokumenter Soroti Napi Perempuan yang Hamil dan Melahirkan di Penjara

Kegamangan Setelah Keluar Penjara

Aku merasakan kebingungan di awal kepulangan. 

Terbiasa tidur dengan belasan orang, lalu berubah menjadi hanya berdua, rasanya hening dan aneh.

Terbiasa tidak pernah mengunci pintu, lalu sekarang harus bertanggung jawab mengunci pintu sendiri.

Terbiasa tidak menggunakan telepon seluler, ketika punya sendiri rasanya takut ketahuan petugas dan dihukum.

Terbiasa melihat sinetron lalu berubah menjadi tayangan drama Korea.

Terbiasa membersihkan diri dalam kamar mandi tidak berpintu, lalu kini kembali bertemu dengan kamar mandi yang kering dan berpintu, rasanya janggal.

Terbiasa hanya berkeliaran di tempat seluas 1.200 meter, lalu kini bisa melangkah bebas kemanapun. Rasanya membingungkan.

Tetapi semua kebingungan lenyap dengan kecerewetan anak-anakku, kesibukan suami, dan gonggongan anjingku. Karena inilah hidupku yang sesungguhnya. Semua berangsur kembali normal. Suamiku dapat kembali fokus dengan pekerjaannya, anak-anakku tidak lagi murung dan senang melamun. 

Aku menjadi orang yang paling sibuk di keluarga. Semua ribut meminta perhatian dariku, setelah sekian lama aku absen dari tengah mereka. Jadwalku padat, diajak ke berbagai acara kantor oleh suami, karena suami ingin aku bisa kembali bersosialisasi dengan orang lain. Anak-anak pun sibuk menceritakan dan “memamerkan” kalau Bundanya sudah selesai sekolah kepada para guru dan teman sekolahnya.

Pelajaran kehidupan selama empat tahun lebih itu membuatku memahami ulang rasa syukur dan segala macam bentuk karakteristik dan permasalahan setiap orang. Aku belajar bahwa setiap tindakan yang baik ataupun buruk akan memberikan dampak, bukan hanya kepada diri sendiri, tetapi juga kepada orang-orang di sekitar kita. 

Rasa malu akan gelar baru sebagai seorang mantan napi itu masih ada. Rasa tidak nyaman ketika orang memandang sinis ketika tahu aku baru keluar penjara itu masih ada. Tetapi pelan-pelan akan aku buktikan bahwa yang rusak bukan berarti tidak akan pernah baik.

Lalu bagaimana dengan kue odading yang bisa membuat kita jadi seperti Iron Man?

Ternyata cuma kue odading biasa, tidak ada yang spesial. Karena ternyata aku tidak berminat menjadi Iron Man, sebab syarat utamanya harus punya Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang bersih.

Yang spesial itu kalau kita mau belajar dari kesalahan dan berdamai dengan masa lalu.

 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Nicky Sylvana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *