Issues Politics & Society

#RuangAmanAnak: Luka Tak Terlihat Anak-anak di Jalur Gaza

Genosida Israel bikin anak-anak Palestina trauma berat. Ada yang sampai depresi, berniat bunuh diri, mengompol ketakutan, dan jadi penyandang disabilitas wicara dadakan.

Avatar
  • June 28, 2024
  • 7 min read
  • 1718 Views
#RuangAmanAnak: Luka Tak Terlihat Anak-anak di Jalur Gaza

Relatif lebih mudah bicara luka fisik ketimbang luka mental yang tak terlihat pada anak-anak. Delapan bulan selang serangan 7 Oktober 2023, anak-anak yang tersisa di Jalur Gaza, Palestina hidup dengan kerusakan mental yang parah. Hal ini terjadi karena mereka harus bertarung dengan duka dan maut setiap harinya, termasuk menghindari bom, kehilangan orang tercinta, dipaksa mengungsi melalui jalan-jalan yang dipenuhi puing-puing dan mayat, serta bangun dengan bagian tubuh yang mungkin tidak utuh lagi. 

“Sekarang semakin sering anak-anak di Palestina bicara soal kematian, sekarat, dan keinginan bunuh diri,” kata psikoterapis Gaza Dr Mustafa Elmasri. Kepada The New Arab ia bilang, sebagian anak Palestina lainnya berhalusinasi dan bicara sendiri dengan orang yang telah meninggal. Ada pula yang menggaruk-garuk hingga melukai kepalanya. 

 

 

Ini sejalan dengan laporan Save the Children yang mengungkap penderitaan mental anak-anak Palestina tampak dari semakin banyak yang jadi penyandang disabilitas wicara dadakan. Mereka betul-betul menolak bicara. Ada pula yang mengompol ketakutan setiap harinya. 

Anak-anak di sana hidup dalam ketakutan permanen, dengan perasaan dikhianati oleh orang dewasa atau care giver-nya. Mereka menumbuhkan persepsi bahwa dunia ini pada dasarnya berbahaya.  

Nour Masiry, pembela hak asasi manusia dan ibu yang tinggal di Gaza mengatakan pada Rampant Magazine, masa kanak-kanak adalah konsep yang tidak ada artinya bagi anak-anak di Gaza. Pendudukan yang dilakukan Israel telah menghilangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan masa kanak-kanak. Kepolosan mereka hilang, yang tertinggal hanya trauma. 

Baca Juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina 

Masa Kecil yang Dirampas Paksa 

Ammar Ammar, Kepala Komunikasi Dana Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (UNICEF) untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, dikutip dari The New Arab mengatakan, 1,1 juta populasi anak-anak di Gaza butuh dukungan kesehatan mental dan psikososial yang mendesak.  Sayang, kini anak-anak tidak memiliki akses ke layanan kesehatan mental khusus. Hanya 12 dari 36 fasilitas kesehatan yang berfungsi sebagian. Satu-satunya rumah sakit jiwa di Jalur Gaza telah hancur, dan enam klinik kesehatan jiwa lainnya di Jalur Gaza tidak dapat diakses. 

UNICEF menjalankan beberapa proyek dan kegiatan dengan penyedia layanan kesehatan mental. Mereka melatih beberapa staf di tempat penampungan untuk membantu anak-anak dan orang tua menghadapi trauma. Namun, Ammar bilang ini tidak cukup. Sebab, kerusakan mental anak-anak di Gaza sekarang adalah akumulasi trauma. 

Pada 2005 silam, mendiang Eyad El-Sarraj, pendiri Program Kesehatan Mental Komunitas Gaza pernah mengatakan, efek psikologis dari pendudukan Israel dan kekerasan yang mereka lakukan terhadap masyarakat Palestina telah menciptakan “ketidakberdayaan yang dipelajari” (learned helplessness). Tujuannya, membuat seluruh penduduk menjadi tawanan rasa takut dan kelumpuhan. 

Pada anak-anak di Gaza, learned helplessness terlihat nyata dalam laporan Save the Children pada 2022, yang memetakan dampak blokade pemerintah Israel selama 15 tahun. Para orang tua yang diwawancarai lembaga nirlaba asal Inggris ini mengatakan, anak-anak menyerah pada harapan atau ambisi masa depan. 

 Samer, ayah di Gaza bilang, anak laki-lakinya dulu pernah bercita-cita menjadi insinyur dan yang lainnya ingin menjadi polisi. Akan tetapi sekarang anaknya lebih ingin mengendarai gerobak kedelai, dan anaknya yang lain lebih ingin menjual biskuit di depan rumah. Perubahan cita-cita ini karena mereka melihat realitas suram sebagai masyarakat Palestina yang kapan saja nyawanya bakal dicabut. 

Sementara itu, Amal, ibu dari empat anak di Gaza yang berusia antara 7 dan 14 tahun mengungkapkan, jangankan punya cita-cita, anak-anaknya bahkan sudah mengalami kehancuran psikologis hingga tidak bisa berkonsentrasi pada tugas-tugas dasar lagi. 

“Mereka segera melupakan hal-hal yang telah saya sampaikan, dan tidak dapat mengingat hal-hal yang baru saja terjadi. Saya bahkan tidak bisa mengatakan kesehatan mental mereka telah memburuk. Kesehatan mental mereka telah dilenyapkan,” kata Amal. 

Dr Elmasri bilang, anak-anak di Gaza terbiasa dengan suara-suara seperti ledakan jet, drone, senapan, hingga rudal. Banyak dari mereka mengembangkan kebiasaan melihat ke atas untuk memindai langit, guna mencari serangan yang bakal datang. Sekilas ini terlihat sebagai respons alamiah dari bertahan hidup, tapi pada kenyataannya ini adalah bentuk dari trauma. 

Mosab Abu Toha, penyair Palestina asal Gaza dalam bukunya Things You May Find Hidden in My Ear pernah menggambarkan bagaimana sejak balita ia dan anak-anak Gaza lain pandai berhitung. Bukan berhitung untuk pelajaran Matematika, tapi menghitung berapa banyak saja rumah dan gedung sudah porak poranda habis dibom Israel. Anak Gaza pandai mendeteksi asap. Ini bukan asap pembakaran sampah atau pohon, tetapi asap dari bom yang dijatuhkan Israel ke pemukiman warga. 

Masa kecil yang dirampas paksa ini pernah diteliti Iman Farajallah, Doktor Psikologi, pengajar di Universitas Sofia dan Asisten Psikologi di Bay Area Psychiatric Group. Dalam penelitiannya pada 2022, Farajallah menemukan banyak anak di Gaza bergelut dengan gejala trauma fisik dan psikologis. 

Menjadi korban langsung dan tidak langsung dari misil dan tank tentara Israel membuat mereka ketakutan akan kegelapan dan mengalami ketegangan umum, kilas balik, mimpi buruk, serta isolasi. Mereka juga mengalami tekanan emosional dan gangguan mental tinggi, termasuk depresi, tindakan menyakiti diri, kesedihan, dan lainnya. 

Nour Masiry, pembela hak asasi manusia dan ibu yang tinggal di Gaza mengatakan pada Rampant Magazine, masa kanak-kanak adalah konsep yang tidak ada artinya bagi anak-anak di Gaza. Pendudukan yang dilakukan Israel telah menghilangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan masa kanak-kanak. Kepolosan mereka hilang, yang tertinggal hanya trauma. 

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel 

Bukan Trauma Biasa 

Berbagai akademisi dan lembaga yang fokus pada isu kesehatan mental berusaha mendefinisikan trauma yang dialami oleh anak-anak Gaza. Beberapa dari mereka menyebutkan anak-anak di Gaza mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau Continuous Traumatic Stress (CTS) yang dicetuskan Frank Chikane pada 1986 untuk menjelaskan bagaimana kondisi Apartheid di Afrika Selatan berdampak pada kesehatan mental anak-anak di sana. 

Namun, menurut Dr Samah Jabr, Ketua Unit Kesehatan Mental Kementerian Kesehatan Palestina trauma yang di alami anak-anak di Palestina terutama di Gaza tidak mudah diterjemahkan ke dalam definisi klinis seperti PTSD dan CTS. 

Lewat wawancaranya ekslusifnya bersama The Hindu, Dr Jabr mengungkapkan trauma dalam konteks Palestina adalah topik yang kompleks dan berlapis. Masyarakat Palestina telah terpapar oleh tekanan kronis, termasuk kesedihan, pengungsian, kesulitan ekonomi, kematian, ancaman penahanan, dan penyiksaan yang terus berlanjut. Lewat semua itu, masyarakat Palestina dihadapkan dengan situasi hancurnya aspirasi pribadi dan kerinduan kolektif akan kehidupan yang damai dan bermartabat yang kunjung usai. 

Seiring berjalannya waktu, ekspresi trauma warga Palestina pun berevolusi. Tak cuma menimbulkan respons adaptif, tetapi juga tekanan psikologis signifikan, yang memengaruhi proses kognitif, regulasi emosi, dan hubungan interpersonal mereka. Paparan trauma yang berkepanjangan, ujar Dr Jabr, juga mengubah perkembangan otak pada anak-anak dan menguras fungsi otak pada orang dewasa, berdampak pada daya ingat, perhatian, dan proses pengambilan keputusan. Hal ini dapat mengubah kepribadian, identitas, pandangan terhadap diri sendiri dan orang lain. 

Lebih dari itu, trauma yang dialami masyarakat Palestina tidak lagi bersifat individu, tetapi kolektif. Ini karena kata Dr Jabar kekerasan politik dan dinamika kekuasaan yang terjadi di kawasan ini, seperti pengungsian, pendudukan, dan penindasan terjadi pada keseluruhan komunitas. Fakta inilah kata Dr Jabr tidak mampu diakomodasi dalam kriteria diagnostik dan alat kesehatan Barat. 

“Alat kesehatan mental dan kriteria diagnostik Barat, seperti yang digunakan untuk PTSD, sering kali tidak mampu memahami dan mengatasi pengalaman komunitas non-Barat atau yang terpinggirkan. Mereka bergantung pada kerangka budaya yang tidak cukup mempertimbangkan kompleksitas nuansa sosial, politik, dan budaya, serta konteks sejarah yang membangun sifat kolektif dari trauma yang lazim terjadi di masyarakat seperti Palestina,” katanya. 

Baca Juga: Epistemisida: Saat Israel Bakar Buku, Bom Sekolah, dan Hapus Sejarah Palestina 

Apalagi, tambah Dr Jabr, situasi pendudukan Israel terhadap Palestina juga menekankan pada proses dehumanisasi. Praktik-praktik yang tidak manusiawi seperti penghinaan, pelanggaran martabat dan otonomi, dan penelanjangan paksa, ketika dikenakan pada warga Palestina dalam berbagai konteks, terutama dalam penahanan atau selama operasi militer, tidak hanya memperparah trauma individu, tetapi masyarakat Palestina secara keseluruhan. Trauma ini menyebabkan kecemasan parah, depresi, dan tekanan psikologis berkepanjangan dan pada anak-anak seperti yang sudah dilaporkan Save the Children

Karena itu, intervensi terapis apalagi yang masih menggunakan paradigma Barat tidak cukup untuk menyembuhkan trauma anak-anak Palestina. Yang dibutuhkan agar mereka bisa menyembuhkan luka hanya satu: Mengakhiri pendudukan Palestina.  

*Pada Juni 2024, Magdalene memproduksi series artikel tentang #RuangAmanAnak. Liputan ini dimaksudkan untuk mengurai hak anak, terutama yang berkaitan dengan hak atas rasa aman, baik keamanan fisik maupun mental. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *